Selasa, 15 Mei 2012

The More You Give, The More You Get

Karena hukum utama hidup memang kayak gitu: semakin banyak kamu ngasih semakin banyak kamu nerima. Ketika saya menemani panitia sebuah acara, berulang kali saya jelaskan bahwa panitia yang lebih banyak memberikan sumbangsih akan menerima manfaat lebih banyak. Kenapa? Karena dengan memberi kontribusi lebih banyak ia belajar lebih banyak. Jadi tidak usah berkeluh kesah dan bersedih hati memikirkan kawan lain yang memilih mundur dari kepanitiaan karena alasan yang tidak jelas. Terlibat dalam sebuah kepanitiaan, selain melatih kepekaan komunikasi, kematangan sikap mental, ketahanmalangan, motivasi, juga menajamkan intuisi. Jika semua itu dilatihkan dalam seminar, kamu harus mengeluarkan lebih dari Rp 5 juta untuk mengikutinya. Dan belum tentu dampaknya sebesar jika kamu terlibat dalam kepanitiaan sebuah acara. Kenapa? Karena manusia belajar banyak dengan terlibat. Kita bisa belajar dengan melihat, membaca, mendengar, tapi keterlibatan melahirkan pengalaman yang membekas. Bahkan orang yang tidak tahu teori pun kalau terlibat, pasti pada akhirnya mengerti strategi-strategi untuk menaklukkannya. Sebagai contoh, pedagang kecil saja tahu soal pengaruh kenaikan harga BBM padahal mereka tak pernah belajar itu di bangku perkuliahan. Practice make perfect. Jadi ketika kamu memberikan sumbangsih yang banyak kepada sebuah kepanitiaan, itu artinya kamu membiarkan dirimu terlibat lebih banyak sehingga mendapatkan pengalaman lebih banyak, terdewasakan lebih sering, dan bertumbuh lebih cepat. Konsepnya sebetulnya sama saja dengan sedekah. Kita bersedekah sumbangsih satu hari, akan diganti Tuhan berkali-kali lipat. Bukankah dengan menjadi panitia kamu akan belajar komunikasi, sesuatu yang harus dilakukan orang dengan membayar sejumlah uang dengan mengikuti seminar? Bukankah dengan menjadi panitia kamu belajar bertoleransi, empati, dan sabar, kualitas yang diperlukan untuk meraih sukses yang lebih besar? Bukankah itu modal yang sangat-sangat berharga? Jadi nikmatilah setiap keterlibatanmu, karena proses bertumbuh memang selalu sakit, tapi kamu tidak akan menjadi (seperti) 'kanak-kanak' lagi.

Sabtu, 31 Maret 2012

Tersenyumlah

Tapi waktu bisa menyembuhkan semua luka.

Apa yang hari ini membuat kita sedih, membikin kita menangis, jatuh, putus asa, suatu hari akan kita kenang melalui canda tawa. Barangkali terdengar terlalu utopis, tapi ingatlah lagi:

Dahulu sekali kita menangis karena jatuh sewaktu belajar berjalan, kita merengek sewaktu tersungkur saat belajar sepeda, kita meraung-raung saat berebut mainan dengan saudara atau sahabat, kita manyun dan merasa tersisihkan ketika orangtua kita tak mau membelikan mainan yang kita inginkan, tapi hari ini, ketika waktu telah mendewasakan kita—setidak-tidaknya dari segi umur—kita melihat itu dan tak merasakan kesedihan itu sama sekali bukan? Alih-alih kita merasa lucu betapa dulu kita menangis hanya karena hal-hal sepele, betapa dulu kita masih begitu kecil dan rapuh....

Jadi jika demikian, apa yang membuat kita hancur hari ini, sakit hati hari ini, bisa jadi kelak—bertahun-tahun kemudian—akan kita kenang sebagai sesuatu yang juga sepele, tak menyesakkan hati kita sama sekali.

Adalah Mawar yang menjanda pada usia yang baru menginjak 20 tahun. Kendati menjadi korban KDRT selama masa pernikahannya yang tak genap 2 tahun, dengan seorang putri cantik yang tak pernah benar-benar kenal ayahnya, dia masih belum bisa mengikhlaskan kondisinya sekarang: bukan hanya kesendiriannya, tetapi juga ketika mantan suaminya mulai dekat dengan perempuan-perempuan lain.

Tapi masalah memang sesuatu yang menguatkan kita. Seperti imun. Ia adalah racun yang bisa meningkatkan kekebalan kita terhadap masalah-masalah serupa yang bisa saja timbul kelak di kemudian hari. Hanya jika kita ikhlas menerima, ikhlas bertahan, ikhlas untuk berusaha menyelesaikan masalah itu, maka kita akan selangkah lebih maju ke arah kedewasaan.

Apa yang terjadi pada kita hari ini juga merupakan risiko, merupakan konsekuensi. Risiko dari pilihan yang kita ambil di masa lalu. Konsekuensi dari jalan yang kita pilih sebagai nasib. Jika hari ini kita jatuh, jika hari ini kita berduka, patah hati, terpuruk, putus asa, bisa jadi pilihan kita salah di masa lalu. Tak perlu disesali. Lebih baik fokuskan pada cara agar hari ini kita tidak mengulangi kesalahan yang sama atau serupa agar di masa depan, di kelak nanti, kita tak usah merasakan kepatah hatian, keberdukaan, keterpurukan, keputusasaan yang sama.

Atau bisa jadi pilihan kita sudah tepat, tetapi kita hanya... katakanlah, belum beruntung. Tidak masalah. Semua orang pernah gagal. Tidak diragukan lagi. Yang membedakan mereka hanya hasrat untuk bangkit dan bertahan. Sebagian orang memilih untuk tetap maju dan kukuh, sebagian lagi memilih menyerah dan mundur. Tidak apa-apa, semuanya murni bergantung kamu. Semua pilihan kan juga ada konsekuensinya: maju dan kukuh masih berkemungkinan untuk gagal, tapi peluang untuk sukses terbuka lebar. Sedang menyerah dan mundur sudah pasti berujung kekalahan.

Oleh karena itu, jika pada akhirnya apa yang menjatuhkan kita hari ini kelak bisa kita tertawai layaknya tontonan komedi, barangkali ini waktunya bagi kita untuk tersenyum.

Tersenyumlah, walau hati kan terluka.
Tersenyumlah, wahai kau jiwaku, hadapi dunia.
[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Amnesia Sejenak

Kalau hidup ibarat kalimat, maka ia akan selalu diawali oleh ‘satu huruf’ dan diakhiri dengan ‘titik’. Awalan ‘satu huruf’ itu, yang harus ditulis secara kapital, adalah Kelahiran. Sedangkan ‘titik’ di ujung berarti akhir dari kehidupan (di dunia), yakni ‘kematian’. Mari kita bedah:

Pertama, jika ‘titik’ sama dengan ‘kematian’ dan ‘kalimat’ sama dengan ‘hidup’, maka ia sesuai dengan hukum (1) ajal, dan (2) umur, yang tidak bisa diperlambat ataupun dipercepat. Kalimat, seperti halnya hidup, hanya akan nyaman, akan pas, akan enak, akan mudah dimengerti untuk dibaca, jika posisi titiknya benar-benar di ujung kalimat. Contoh:

Budi pergi ke pasar.

Posisi titiknya berada di akhir kata ‘pasar’, sehingga jelas: bahwa orang bernama Budi pergi ke pasar. Beda dengan kalimat berikut:

Budi pergi ke. Pasar

Posisi titik berada sebelum kata pasar, membuat kalimat itu tidak dimengerti karena tidak memenuhi struktur standar kalimat.

Ini membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa kematian yang dipercepat lewat upaya bunuh diri akan membuat hidup kita, seperti halnya kalimat yang titiknya tidak tepat, tidak mudah dimengerti, tidak pas, tidak enak. Akibatnya, orang yang bunuh diri berada di awang-awang, mengambang: tak diterima di akhirat, terusir dari dunia.

Kedua, panjang kalimat mirip dengan panjang/lama umur hidup. Ada kalimat yang hanya terdiri dari satu huruf, satu kata, bahkan sampai berderet-deret kata yang sangat panjang. Contoh kalimat yang terdiri satu huruf:

Y.

Huruf Y tersebut dinisbatkan pada kata ‘Ya’. Biasanya marak di bahasa-bahasa sms. Sedangkan contoh kalimat yang terdiri dari satu kata, ya:

Ya.

Lain lagi dengan kalimat yang sangat panjang, berikut ini:

Melalui teropong yang terpasang di atas atap, Budi menatap bintang-gemintang yang bergemerlapan—yang mengingatkannya pada mimpinya semalam: ketika seekor serigala mengaum di kejauhan sementara dia berdiri gemetar di bawah purnama—ah, purnama, ujar Budi, mendongak ke atas dan mendapati purnama itu bertengger di langit gelap.

Seperti halnya kehidupan dan umur itu sendiri. Ada yang baru di dalam kandungan sudah menemui ‘titik’ sudah mati, tapi ada juga yang berusia ratusan tahun tetap dan masih hidup. Begitulah umur hidup begitulah panjang-kalimat.

Ketiga, dengan demikian, hidup yang panjang, seperti halnya kalimat yang panjang, pastilah membutuhkan ‘koma’, membutuhkan ‘wakof’, membutuhkan ‘jeda’. Bukan untuk ‘mengakhiri’ rentetan kalimat, melainkan untuk sekedar menarik nafas, refreshing, menarik diri dari situasi untuk sekedar menenangkan diri.

David J. Lieberman menulis bahwa manusia membutuhkan rutinitas. Rutinitas membuat manusia nyaman. Tapi sesuai hukum kesetimbangan, di sela-sela rutinitas yang membikin jenuh itu, manusia juga memerlukan kontra-rutinitas: bisa berupa hari libur, liburan, atau hanya sekedar tidur dan pergi nonton—yakni jeda, yakni koma, yakni ‘wakof’, tempat untuk kita menarik nafas, menenangkan diri.

‘Jeda’ dalam hidup, atau ‘koma’ dalam kalimat inilah yang coba disampaikan Afterisya dalam ‘Amnesia Sejenak’. Yakni momen untuk menarik diri sejenak dari beban dan dinamika hidup, demi mendapatkan kembali angin segar, semangat baru, persepsi dan perspektif yang baru, sehingga dapat menjalani kelanjutan hidup dengan lebih baik.

Bukan ‘amnesia’ yang selamanya, yakni sikap untuk menghindar, untuk mundur, untuk melarikan diri dari masalah dan beban hidup. Yang pada akhirnya malah akan semakin bertumpuk, akan semakin menghimpit, akan semakin mengejar, akan semakin membikin hidup tidak tenang.

Dari metrotvnews.com diberitakan: jam kerja yang panjang rentan membikin depresi. Kenapa? Bayangkan membaca kalimat super-panjang yang tidak punya tanda koma: jangankan ngerti apa maksudnya, bacanya saja suka bikin puyeng. Jam kerja adalah salah satu stressor, pemicu stres. Jika dilakukan secara terus-menerus tanpa waktu jeda, tanpa istirahat, stresor itu akan memacu tingkat stres yang lebih parah, yang disebut depresi.

Jadi jelaslah, jeda itu perlu, jeda itu dibutuhkan. Silakan ber-amnesia untuk sejenak.

(Tutup file. Buka winamp. Stel: Amnesia Sejenak, Afterisya).


[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Epilog Antiklimaks Si Tukang Gertak

Tukang gertak itu penakut, demikian tulis David J. Lieberman dalam bukunya. Orang yang menggertak, sebenarnya tidak berani melakukan apa yang digertakannya. Ini mengejutkan. Setidaknya bagi saya.

Tapi pada saat saya membaca buku itu, salah seorang karyawan di perusahaan kakak saya, juga sedang menuntut kenaikan gaji, dengan dalih dia sudah lama bekerja di sana tapi taraf hidupnya masih belum layak.

Sayangnya, dalam penilaian objektif saya, keinginannya untuk naik gaji tidak diimbangi dengan kenaikan disiplin kerja. Dia tetap datang siang, berprilaku indisipliner, dan terkadang berbuat curang. Yang menarik, dia selalu bersikukuh bahwa dia sudah dan selalu melakukan yang terbaik, bekerja jujur, dan lain-lain, dan lain-lain, tapi lantas tak mau tahu hal-hal menyoal keluhan konsumen karena sikap curangnya, keluhan karyawan lain karena arogansinya kalau dapat komisi dari konsumen, dan lain-lain.

Singkat cerita, pada rapat di hari terakhir bekerja sebelum cuti lebaran, si karyawan tersebut mengusulkan kenaikan gaji. Jauh-jauh hari sebelum rapat, semua karyawan sudah dia pengaruhi. Karena dia juga membicarakan ini kepada saya, maka saya tahu apa yang dia pengaruhkan. Kira-kira begini: pokoknya tenang saja, semuanya saya yang urus, saya akan berkorban demi kalian semua.

Sampai di sini, saya memprediksi ke masa depan. Begini prediksinya:
1. Jika usahanya berhasil, dia akan selalu MENGINGATKAN karyawan-karyawan lainnya bahwa kenaikan gaji itu dialah yang paling berjasa, sehingga mereka harus respek dan menghormat penuh kepada dia.
2. Tapi jika usahanya gagal, dan misal, dia dipecat, dia akan MENEROR karyawan-karyawan itu, bilang bahwa DEMI MEREKA-lah dia BERKORBAN. Dan pada akhirnya, secara langsung tidak langsung, dia akan menyuruh mereka juga untuk keluar, untuk resign.

Percakapan di ruang rapat itu lucu. Dia bersikeras ingin tahu nominal kenaikan gaji itu—selepas kakak saya menjanjikan kenaikan gaji—tapi ketika ditanya balik soal, “Boleh naik gaji, tapi datang harus pagi-pagi, harus sesuai jadwal. Istirahat siang jangan telat masuk lagi....”

Dan dia jawab, “Wah, Bos... itu tidak bisa. Saya punya anak....”

Apa yang saya prediksikan, terjadi. Karena kakak saya tak mau memberitahu nominal kenaikan gaji, dia keluar. Dia nyerocos, menumpahkan kekesalannya, kepada semua orang: kakak saya, saya, dan karyawan-karyawan. Awalnya saya tengahi, saya dengarkan, saya ladeni. Lama-lama, karena umpatannya hanya memperlihatkan ketidakdewasaan—bagaimana bisa beberapa hari yang lalu dia masih memaki-maki kakak perempuan saya, sekarang bilang begini: kenapa kakak perempuan kamu tidak membela saya di depan suaminya? Padahal saya sudah berbuat kebaikan kepadanya, saya suka nolong dia.

Sekali lagi, hanya mengingat kebaikan diri sendiri dan bersikap seolah tak pernah berbuat salah. Pandai menyalahkan orang lain dan tak mau introspeksi.

Bagi dia, ini adalah epilog antiklimaks. Tuntutannya untuk naik gaji sekaligus diberi pinjaman untuk membiayai usaha warungnya tanpa mau memantaskan diri untuk mendapatkan semua itu—dengan bekerja lebih disiplin dan datang tepat waktu—berakhir dengan keputusannya resign.

Perusahaan berjalan lebih tenteram. Berhari-hari kemudian, saya baru memahami kenapa Manchester City bisa berkembang selepas kepergian Adebayor yang tempramental itu. Bukan hanya kedatangan pemain-pemain bintang yang baru, melainkan juga kondisi ruang ganti baju yang jauh lebih kondusif.


Demikian. 


[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Mawar Si Penggemar Nasehat

Saya berteman dengan Mawar yang satu ini semenjak awal kuliah. Semenjak itu pula dia suka bercerita. Pada awalnya bukan masalah-masalah personal. Lama-lama sampai masalah remeh-temeh tumpah-ruah diceritakan. Kalau tidak di kantin dan di kelas selepas jam kuliah, berarti di sepanjang perjalanan berangkat atau pulang di dalam bus ketika kami sengaja ataupun tidak berbarengan. Atau via sms.

Lama-lama, dia mulai kecanduan, katakanlah, nasehat, kata-kata bijak. Dia mengirim pesan begini: Fan, kasih kata-kata bijak dong, lagi bete nih. Atau di saat yang lain: minta kata-kata bijak dong buat dijadiin status.

Saya jabanin. Saya usahakan sebaik mungkin. Tapi sepanjang berbulan-bulan itu, dia tak kunjung belajar dari kesalahannya. Bukan maksud saya men-judge dia, tapi dengarkanlah: sepanjang pengamatan saya, dia senang ditenangkan dengan kata-kata bijak itu, dengan nasehat itu, tapi tak pernah mau melakukan apa yang dinasehatkan dalam kata-kata bijak itu.

Selalu saja ada alasan. Susahlah, tidak mungkinlah, apapunlah. Dia selalu punya seribu satu alasan untuk menolak. Ini mirip seperti orang yang mau dengerin stasiun radio tertentu, tapi malas menyalakan radio, malas mencari frekuensi stasiun radio tersebut. Alih-alih hanya duduk meratapi ketidakbisaan dia mendengarkan siaran si Stasiun Radio tersebut, alih-alih hanya berdoa semoga tiba-tiba saja radio itu nyala dan muterin siaran di Stasiun Radio yang diimpikan.

Kan konyol!

Padahal, hidup kan aksi. Ada usaha yang harus kita perbuat. Ada ikhtiar untuk menyempurnakan doa dan tawakkal kita. Jika kita ingin mendengarkan I Radio misalnya, nyalakanlah radio dan pusatkan frekuensinya di 105,1 fm. Dan seterusnya, dan seterusnya. Tanpa usaha itu, siaran I Radio takkan terdengar.

Apa menggemari nasehat salah?

Tidak juga. Yang salah adalah ketika kita tak mau mengambil sikap untuk mengikuti yang dinasehatkan, untuk mencoba yang disarankan. Boleh jadi kita tahu 1001 nasehat agar bisa menjadi pengusaha sukses, tapi bisa saja kita kalah oleh orang yang tak pernah tahu satupun nasehat untuk sukses, tapi setiap hari dia gigih memperjuangkan mimpi-mimpinya.

Jadi, selamat melakukan AKSI. Selamat merangsang alam semesta untuk BEREAKSI.

Demikian. 


[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Batasan Itu Membebaskan

Salah satu pelajaran PPKN yang membekas dalam ingatan saya adalah: kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Atau dengan kata lain: kebebasan yang saling menghomati, yang saling bertanggung jawab.

Kebebasan yang memiliki batasan. Kehidupan yang memiliki peraturan.

Apakah batasan membatasi kita? Secara kasat mata, iya. Apakah itu mengganggu? Secara sepintas, iya. Apakah peraturan bikin kita tak bebas bergerak? Secara sekilas, tentu saja. Apakah itu bikin senewen? Tentu saja! Tapi jika ditelusuri lebih dalam, batasan dan/atau peraturan itu sebetulnya menentramkan hati, menenangkan jiwa.

Perhatikan:
1. Salah satu alasan nyaman berkendara di jalanan adalah karena ada batas-batas tertentu yang harus dipatuhi, yang tidak boleh dilampaui. Yang jika dilanggar akan berakibat kecelakaan. Seperti marka jalan agar dua arus kendaraan tak saling bertabrakan. Atau lampu merah, tanda P dicoret, tanda S, tanda penunjuk jalan, dll. Semuanya membatasi kita dalam berkendara agar kita SELAMAT agar kita sama-sama NYAMAN.

2. Pernikahan adalah aturan yang Tuhan tetapkan dalam rangka menentramkan kebutuhan kasih sayang kita dengan pasangan. Dengan pernikahan, Tuhan memberikan batasan-batasan tertentu kepada kita. Dengan tujuan agar kita memiliki kehidupan yang harmonis dan stabil. Bayangkan jika hidup kita tak ada aturan pernikahan: anak-anak yang lahir tak jelas siapa ayahnya, kita bisa saling menyakiti hati orang lain karena kita saling berebut pasangan. Belum lagi risiko AIDS. Dan lain-lain, dan lain-lain. Kita jadi tak tahu malu lagi seperti halnya binatang. Sebenarnya bisa saja kita merasa nyaman dengan itu. Tapi karena manusia dianugerahi akal, maka akal ini lama-lama akan mengkritisi juga, akan memperlihatkan ketidaknyamanannya itu. Pada akhirnya, kita merasa kosong, hampa, seperti segala kebahagiaan hilang begitu saja.
Demikian. 

[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Laksana Kuda Pacuan

Sebagai mahasiswa ekonomi, kuping saya sudah kebal, sudah fasih, sudah kebas mendengar kata: persaingan. Bahwa gara-gara kebutuhan manusia yang tidak terbatas sedangkan kemampuan dan sumber daya terbatas, maka lahirlah persaingan. Walaupun kemudian disempurnakan oleh salah seorang ekonom dengan: kerjasama. Bahwa keterbatasan sumber daya tak melulu membuat kita bersaing, alih-alih itu justru bekerjasama.

Salah satu tanda bahwa dalam hidup ada persaingan, baik yang sehat maupun yang enggak, adalah adanya motivasi berprestasi (need of achievement) dan motivasi berkuasa (need of power).

Jika boleh bermain analogi, hidup itu laksana kuda pacuan. Dia harus berpacu di lintasan untuk menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Untuk menjadi SANG JUARA. Karena kita adalah kuda pacuan itu, maka jika kita ingin menjadi SANG JUARA, aturannya jelas:

1. Yakin terhadap kemampuan diri. Ini berarti yakin dan teguh untuk mengerahkan kemampuan terbaik. Tidak menyerah sebelum berjuang habis-habisan. Tidak juga menyerah untuk akhirnya berbuat curang kepada kuda pacuan yang lain. Tidak juga menjadi minder dan merasa rendah diri dan merasa terintimadasi oleh kuda pacuan yang lain, yang misalnya, pernah menjadi juara atau dijagokan atau yang menurut banyak orang... lebih baik dari kita.

2. Berfokus pada diri sendiri. Jika ada dua kuda berlari di sebuah arena pacuan. Yang satu fokus pada usaha mengerahkan kemampuan terbaik, sedang yang satu lagi, sibuk memerhatikan posisi kuda lain—sambil takut kalau-kalau dia kesusul atau dia terlalu ketinggalan. Jika posisi kedua kuda itu awalnya sama, saya jamin, kuda yang berfokus pada usahanya sendiri dan tidak memusingkan posisi kuda lain, akan tiba lebih dulu di garis finish. Kenapa? Karena tenaganya terpusat pada usahanya untuk melaju secepat mungkin. Sedangkan kuda yang satu lagi, tenaganya terbuang percuma karena dia kehilangan FOKUS—bahkan kadang-kadang kehilangan KEPERCAYAAN DIRI juga.

3. Berlarilah dengan cara kita sendiri, jika itu bikin kita nyaman dan bisa berlari lebih cepat. Kadang-kadang saya menemukan, termasuk pada diri saya sendiri, ada godaan untuk ‘meniru’ cara lari orang lain hanya karena melihat mereka SUKSES dengan cara mereka itu. Padahal ketika dipikir lagi, ada perbedaan antara kami, dan cara lari itu belum tentu cocok bagi saya. Ibaratnya: atlet sepak bola dan atlet bulu tangkis yang sama-sama ingin SUKSES butuh cara lari yang beda, walaupun filosofinya sama. Kedua, merasa terbentur dengan kelaziman, dengan mainstream. Misalnya, cara kita nggak lazim, cara kita beda dengan kebanyakan. Padahal, banyak yang membuktikan bisa sukses dengan melakukan perubahan, perbedaan, ketaklaziman itu. Kalau bicara soal melawan mainstream, saya selalu ingat bagaimana Pak Tung Dasem Waringin nyawer uang dari helikopter demi promosi bukunya. Nyeleneh, gokil, sekaligus keren!

[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]

Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)