Rabu, 15 Februari 2012

Maramaramara! (Manajemen Kemarahan)

Marah adalah salah satu jenis emosi. Termasuk ke dalam golongan emosi negatif. Biasanya merupakan respon atas sesuatu yang tidak menyenangkan.

Marah juga merupakan sikap. Ketika kita memilih untuk bersikap marah sebagai reaksi atas sesuatu yang menimpa kita—biasanya yang mengesalkan. Terlepas dari bijak ataukah tidak, tepat ataukah tidak, marah tetaplah sebuah sikap.

Pola implementasi kemarahan bisa bermacam-macam: mulai dari yang saling diem-dieman, cakar-cakaran, unfollow di twitter, memutuskan pertemanan di facebook, saling sindir di status BBM, saling menghujat dan meneriakkan kata-kata kasar, mereject telepon, tak membalas sms, membanting hape, bahkan sampai berantem, tawuran, bunuh diri atau bahkan... perang.

Setiap orang pernah marah. Hanya saja, berbeda. Bukan semata dalam pola impelentasi seperti sudah saya jelaskan di atas, tapi juga soal ‘tingkat kecepatan’ dalam hal naik-darah atau naik-pitam. Berdasarkan tingkat kecepatan ini, menurut hemat saya, manusia dapat dikategorikan ke dalam 4 kuadran:

1. Lambat marah cepat turun: orang ini sabar banget. Dia nggak mudah kepancing emosi. Tapi sekalinya kepancing emosi, dia bisa cepat ‘turun’ lagi. Lambat marah, tapi cepet baikan lagi. Inilah kualitas paling tinggi. Sabar sekaligus Pemaaf.
2. Lambat marah lambat turun: orang ini sabar, sebetulnya. Dia santai dan tidak gampang terpancing emosi. Tapi sekalinya terpancing emosi, sembuhnya susah. Ngambeknya lama. Pendendam. Tipe jenis ini, kadang-kadang bahkan saat orang lain sudah minta maaf juga, masih saja sakit hati. Si sabar yang pendendam.
3. Cepat marah cepat turun: orang ini mudah sekali terpancing emosi. Jangankan dibacok, kena senggol dikit aja bisa langsung memutilasi. Oke, oke, oke, terlalu ekstrim memang. Tipe ini sering kita juluki: Pemarah tapi Pemaaf.
4. Cepat marah lambat turun: nah ini yang kacau. Dia cepat naik darah, tapi lama banget buat turun lagi. Sudah mah pemarah, pendendam lagi. Biasanya orang jenis ini bikin nggak nyaman dalam pergaulan. Kenapa? Karena dia tidak bisa bijak menyikapi perbedaan—yang kadang-kadang menimbulkan gesekan. Inilah dia si Pemarah Pendendam.

Selain itu, marah juga merupakan sebuah aksi. Yang mana, selain melahirkan reaksi, juga akan menghasilkan efek samping. Efek samping itu ada dua: eksternal dan internal. Yang bersifat eksternal seperti:
1. Merusak silaturahmi. Tidak sedikit yang dulunya sahabatan tiba-tiba jadi musuhan hanya karena satu momen di mana mereka marah-marahan dan masih belum bisa saling memaafkan.
2. Dijauhi. Tidak ada seorangpun yang nyaman dengan orang yang gampang marah. Risiko dari sifat ini adalah dijauhi, dikucilkan. Ingat, salah satu tujuan manusia menjalin persahabatan, pertemanan, adalah untuk saling mendamaikan, membahagiakan, mengisi kekosongan dalam hati masing-masing. Orang yang gampang marah (dan juga termasuk yang gampang tersinggung), seringkali mempermasalahkan hal-hal sepele sehingga merusak nilai-nilai kedamaian, kebahagiaan, dan ‘keutuhan’ yang coba dijalin.
Sedangkan efek-samping yang bersifat internal adalah efek samping yang biasa muncul dalam bentuk emosi dalam diri seseorang. Emosi ini hadir setelah marah. Biasanya sesaat setelah marah. Setidaknya ada tiga jenis.
1. Orang yang setelah marah, selalu merasa BENAR. Terlepas dari apakah dia memang benar ataukah tidak. Perasaan ini seperti hasrat untuk membuktikan, untuk membenarkan, kemarahan kita. Misalnya kita berkata begini: wajarkan saya marah? Toh dia yang salah! Nah, masih mending kalau secara objektif memang kita yang benar. Lha kalau udah mah kita salah, terus marah-marah, terus merasa (paling) benar lagi. Wuidih, ‘hebat’ banget kan yang begitu?
2. Orang yang setelah marah, merasa MALU. Pernah saya baca kalimat bijak begini, “Kemarahan selalu berakhir dengan rasa malu.” Ini karena setelah ada waktu-jeda setelah kita marah, kita merasa telah lepas-kontrol, sehingga merasa telah bersikap buruk. Kearifan hati dan pengetahuan, sikap mental dan lingkungan, turut berperan dalam hal ini. Berbahagialah, karena rasa malu sebagian dari iman.
3. Orang yang setelah marah, merasa BERSALAH. Tak peduli apakah dia salah ataukah tidak, kemarahan membuatnya merasa bersalah. Kenapa? Karena dia merasa bahwa kemarahannya, kelepas-kontrolannya telah/sedang menyakiti hati orang lain. Dan salah ataukah tidak orang tersebut, menyakiti hati mereka adalah sikap tak terpuji. Dan dia merasa bersalah untuk itu.

Demikian sementara postingan tentang “Marah”. Tiba-tiba kepikiran soal ini saat lagi ngobrol dan share bareng Falo. Hehehehe

[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Rabu, 01 Februari 2012

Pindah Frekuensi... Menuju Matang

Pindah Frekuensi... Menuju Matang

Kawan dekat saya sejak kecil, sahabat sekaligus saudara, panggil saja Ujang, cerita pada saya di salah satu pondokan di dekat rumah. Dia seorang santri di pesantren besar di Kediri. Pulang ke kampung selama libur ramadhan.

Dia bercerita: saya jauh dengan keluarga saya sekarang. Maksudnya, saya jadi nggak suka. Mungkin malah benci. Saya bisa merasa tenang belajar di pesantren. Tapi ketika pulang, setiap hari selalu saja saya berhadapan dengan kenyataan konflik yang sebenarnya nggak penting. Mamah ngobrolin kejelekan kakak ipar. Kakak ipar juga sebaliknya. Ditambah lagi keluarga saya itu suka berbohong, dan saya itu nggak suka. Makanya, untuk menenangkan diri, saya tidur di pondokan saja. Saya ke rumah cuma numpang makan.

Saya cerita: Ada beberapa faktor kenapa kamu kayak gitu, Jang, setidaknya menurut yang saya tahu sedikit-sedikit.
1. Kamu sedang berpindah frekuensi. Sekarang bayangkan radio. Untuk pindah dari satu frekuensi ke frekuensi lain, pasti ada dulu suara keresek. Nah, begitu. Dari dulu keluarga kamu, anggap saja, sudah seperti itu. Tapi kamu merasa tidak masalah karena kamu masih berada dalam frekuensi mereka. Ketika kamu mesantren, kamu belajar banyak, kamu bertumbuh. Hal yang menuntut perpindahan frekuensi secara alamiah. Dan untuk mencapai frekuensi baru yang menentramkan itu, kamu harus melewati ‘jarak’ yang bersuara ‘keresek’ itu.
2. Kamu juga sedang dalam proses adaptasi dengan frekuensi baru itu. Ibarat frekuensinya udah dapet, tapi belum tepat. Nah, itulah proses adaptasi. Kamu menyesuaikan diri. Dan yang namanya menyesuaikan itu tak selalu mudah. Apalagi dalam konteks hidup. Pasti melibatkan tarik-ulur perasaan.
3. Keluarga kamu terjebak sepenuhnya oleh cara bersikap khas sinetron yang memandang segala sesuatu serba hitam putih. Membikin saling curiga dan buruk sangka. Karena mereka tidak punya kegiatan lain selain urusan rumah tangga, maka apa yang mereka tonton itu tidak tersaring dengan baik. Akibatnya, secara tidak sadar menjadi ‘penuntun’ sikap dalam kehidupan sehari-hari. Tapi kamu, setelah mesantren, telah belajar banyak, membaca banyak buku, otomatis telah memiliki filter dan pengetahuan yang cukup. Sehingga, ketika melihat semua itu, kamu merasa jengah karena sebetulnya itu salah. Contoh: orang yang tahu kalau kantong keresek bisa merusak kelestarian dan kehijauan lingkungan, akan merasa jengah dengan orang-orang yang seenaknya menggunakan kantong keresek. Tapi yang tidak tahu atau tidak peduli mah fine-fine aja.
Dia jawab: saya hanya takut saya berdosa karena memiliki perasaan semacam ini. Kebencian ini. Padahal saya tidak menginginkanya.

Saya jawab lagi: Allah kan Maha Tahu, Allah Maha Mengerti. Yang perlu kamu lakukan sekarang, menurut saya sih, cuma, (1) memohon pertolongan Allah agar tidak terjebak dalam kebencian yang bersifat personal, jadi bencilah sama sikapnya, jangan sama orangnya, (2) agar bisa bersikap lebih arif, karena bagaimanapun kamu beruntung dapat pengetahuan yang lebih sehingga dapat melihat kesalahan ini, (3) dibawa rileks sajalah. Kalau tegang dan terlalu diporsir nanti malah semakin membikin kesal dan marah. Oke?