Minggu, 26 Juni 2011

Kang Irfan, Saya Benci dengan Keluarga Saya!

Mawar yang ini berteman dengan saya setelah dia membaca buku saya. Setelah berhasil mendapatkan nomor hape saya lewat sebuah usaha yang cerdik, kami saling bertukar sms. Lama kemudian, dia mulai sering share. Katakanlah, keluarganya broken home, yang membuatnya sering main malam. Suatu hari, kakeknya memukul dia sampai—menurut penuturannya, entah benar entah tidak—seluruh badannya memar-memar. Berkali-kali dia bilang, selain ingin bunuh diri, dia juga ingin kabur.

“Kakek saya mukul hanya karena saya ngebentak dia Kang. Atuda suka kesel kalau lagi nonton TV, disuruh-suruh.”

Saya mengurut dada. Berusaha menjelaskan bahwa sikapnya juga tidak baik, kendati tidak menafikan bahwa—jika memang benar—aksi pemukulan sampai memar-memar itu juga tidaklah terlalu baik. Tapi kemudian, mari kita diskusi soal kebencian ini.

Kekerasan kepada anak, kata Kak Seto dalam sebuah surat kabar, diakibatkan oleh orang tua. Kita juga lebih sering merasa kecewa kepada keluarga dibandingkan kepada teman. Kenapa bisa demikian?

Pertama, kepada keluarga, kita mengharapkan dan menuntut lebih, sehingga kita cenderung mudah kecewa. Kepada kakak misalnya, kita ‘tahu’ bahwa dia kakak kita, dan dengan demikian, secara tidak sadar kita mengharapkan sekaligus menuntut dia selalu lebih dewasa daripada kita, mau mengalah terhadap kita, dan lain-lain, dan lain-lain. Akibatnya, ketika si kakak ‘tidak sedang bersikap dewasa’ kita merasa marah.

Kedua, karena kita merasa ‘memiliki’ keluarga kita. Perasaan memiliki ini membuat kita merasa berhak mengatur-atur keluarga kita. Kasus demikian bisa terlihat dari (1) orangtua yang terlalu memaksa anaknya mengerjakan apa yang dia inginkan, memaksa anaknya jadi imitator dirinya, atau (2) kakak yang terlalu mengekang adiknya untuk mengerjakan ini dan itu, dan (3) seorang adik yang memaksa orang tua dan kakak untuk membiarkan dia melakukan apapun walaupun itu salah.

Ketika semua itu tidak terpenuhi, kita akan menuduh keluarga kita tidak adil, orang tua kita tidak adil, kakak kita tidak asyik, atau jika kamu sudah menjadi orang tua, anak kita keras kepala. Bagi anak-anak seusia remaja, hal ini akan melahirkan perasaan kecewa. Mereka akan merasa kehilangan. Kemudian merasa tidak diperhatikan, merasa sendirian, yang sejatinya akan melahirkan sebentuk kebencian.

Karena itu, komunikasi yang hangat diantara sesama keluarga mutlak diperlukan. Di era teknologi informasi seperti sekarang, dimana tontonan dan game merangsang anak muda berlaku lebih ekspresif sekaligus agresif, peran kehangatan orangtua sangat menunjung terbangunnya keseimbangan.

Dalam acara penganugerahan piala kumon dimana saya menemai keponakan saya yang menjadi 1000 siswa terbaik Kumon diantara 12.000 siswanya, filosofi belajar Lembaga Pendidikan asal Jepang itu satu: bahwa anak-anak jangan dipaksa untuk mengerjakan, tapi didorong, diberi pengertian, dan ditemani.

Pada akhirnya mungkin yang harus ada dalam keluarga adalah cinta. Percaya atau tidak, kehangatan inilah yang akan mula-mula mempengaruhi tumbuh-kembang anak-anak.

Senin, 20 Juni 2011

Kang Irfan, Bantu Saya Milih Fakultas yang Pas dong!

Bagi mereka yang baru lulus, memilih jurusan kuliah adalah momok yang agak menakutkan. Apalagi jika menyangkut masalah SNMPTN beserta segala kemungkinannya. Mawar kita yang satu ini berada dalam kondisi yang demikian: sangat berobsesi masuk fakultas kedokteran, namun agak bimbang setelah tidak lulus SNMPTN Undangan. Guru-guru di bimbelannya menyarankan, jika dia memang ingin masuk fak. Kedokteran, ambil saja pilihan yang di luar pulau Jawa, sehingga passing gradenya kecil.

Saya: Sebentar, jadi untuk pilihan 1, apa saja?
Dia: Fak. Kedokteran Kang sama Fak. Kedokteran gigi. Tapi Fak. Kedokteran gigi sebenarnya tidak terlalu sreg. Pengennya kedokteran. Tapi takut, Kang.
Saya: Terus pilihan kedua?
Dia: Mungkin ngambil STAN, atau Biologi UPI, atau MIPA ITB.
Saya: Nah, menurut saya, lebih baik pilihan 1 adalah memang yang sesuai kehendak hati kita, misalkan Fak. Kedokteran UNPAD. Nah, di pilihan yang kedua baru aja pilihan yang sesuai dengan hati namun passing gradenya agak kecil.
Dia: Tapi bagaimana kalau tidak lulus?
Saya: Daripada maksain diri karena takut nggak lulus terus milih Fak. Kedokteran Gigi. Hayo? Nah, bagaimana kalau ternyata nanti hasil SNPMTN-nya malah lulus? Hayo? Rugi kan? Pasti nyesel kenapa nggak milih kedokteran.
Dia: iya juga sih....
Saya: Kan kamu masih agak ketakutan gara-gara nggak lulus SNPMTN Undangan, makanya jadi nggak yakin. Coba deh kondisikan dulu hatinya. Inget-inget prestasi yang pernah diraih, bagaimana itu semua “MUNGKIN” kemudian yakinin dalam hati bahwa jika semua prestasi itu “MUNGKIN” kenapa masuk ke Kedokteran menjadi “TIDAK MUNGKIN?”
Dia: itu selalu kang, selalu aku lakuin....
Saya: Bagus. Kalau begitu, menurut saya, lebih baik pilihan 1 Fak. Kedokteran. Risiko terburuknya jelas, tidak lulus. Tapi lihat kemungkinan terbaiknya? Daripada maksain di Fak. Kedokteran gigi dengan setengah hati. Toh risiko terburuknya tetap saja sama, tidak lulus. Nah, baru di pilihan dua, kamu harus lebih selektif. Mana diantara semua itu yang kamu inginkan?
Dia: Hmm, biologi UPI atau MIPA ITB.
Saya: Nah, nggak apa-apa, ayo silakan milih.  Lagipula, kalau risiko terburuknya nggak lulus, kan kamu masih bisa ikutan tahun depan, bukan?
Dia: Iiih si Akang mah....
Saya: ahahahaha

Cat: Setiap pilihan mengandung risiko, tapi tidak semua risiko itu bersifat ‘tak terukur’. Beberapa risiko memang ‘terukur’, sehingga kita tidak perlu lantas menjadi takut mengambil risiko yang semacam itu. Konon, kata orang bijak, orang-orang sukses adalah mereka yang berani mengambil risiko (yang terukur). Namun demikian, kesuksesan dalam keberanian mengambil risiko itu disertai pula dengan strategi agar risiko yang besar itu tidak menjadi hambatan, alih-alih justru jembatan kita meraih kesuksesan.  Selamat memilih, selamat menentukan pilihan.

Kang Irfan, Apakah Saya Harus Terus Mengalah?

Mawar: Pacar saya kadang egois, saya selalu terpaksa mengalah, diam saja daripada terjadi pertengkaran. Tapi gara-gara itu, saya sering merasa tertekan, sampai akhirnya menangis dan menangis sendirian.

Hubungan antarmanusia, dalam skala dan jenis apapun, sangat dipengaruhi oleh kualitas komunikasi. Karena itu, barangkali yang diperlukan disini adalah kesalingmengertian. Sikap keterbukaan adalah hal yang mutlak dilakukan. Mengalah memang baik, tapi jika dilakukan dengan keterpaksaan sampai ‘makan hati’, malah akan membuat cinta yang mestinya membahagiakan malah menyengsarakan.

Oleh karenanya, diperlukan sikaf asertif yang memadai. Kamu harus bisa mengkomunikasikan setiap masalah, setiap kesalahpahaman, sehingga kedua pihak bisa saling mengerti. Daripada dipendem malah jadi bumerang, sewaktu-waktu. Memang kadang kita balik bertanya dengan sengit, “Tapi pacar saya egois, dia nggak mungkin bisa ngerti!”

Perhatikan: orang yang pacaran, biasanya ‘mengharapkan’ dan ‘menuntut’ lebih kepada pasangannya, sehingga kita rentan merasa ‘kecewa’. Kita tidak menuntut banyak pada teman, sehingga ketika sikap dia bernilai 7 bagi kita, kita tak merasa kecewa. Tapi berbeda dengan pacar, kita menuntut mereka untuk dapat bernilai 10, nilai sempurna, sehingga sedikit saja salah, kita merasa kecewa, tidak diperhatikan, dicuekin, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Memang ada kalanya kita harus mengalah, bersabar, tapi itu tidak sama artinya dengan membiarkan masalah terpendam dalam hati kita. Yang sewaktu-waktu bisa menjadi bumerang bagi kita dan hubungan kita. Kira-kira begitu.

Kang Irfan, Pacar Saya Posesif!

Mawar: Duuuuh pusing deh, kemana-mana ga boleh, kumpul sama temen harus selalu bareng dia. Pasword facebook juga dia yang pegang, alasannya takut saya macem-macem ceunah?

Saya: hmm, memang cerita yang seperti ini klasik. Tapi coba perhatikan: sikap posesif biasanya lahir (atau timbul) dari perasaan takut kehilangan. Perasaan takut kehilangan biasanya lahir dari perasaan memiliki. Jadi dalam beberapa hal, segalanya memang berjalan alamiah. Karena itu, barangkali, agar kita tidak menjadi posesif, kita harus sadar bahwa cinta adalah menyoal memberi, dan bahwa kekasih kita bukanlah seseorang yang kita miliki, melainkan lebih daripada itu, seseorang yang kita beri kasih sayang. Memang ‘keikhlasan’ semacam ini, bahwa cinta adalah saling memberi dan bukannya saling memaksa, saling merenggut, menjadi agak sulit, bahkan bagi sebagian orang terkesan utopis. Letto bilang dalam salah satu lagunya, “Merasa kehilangan hanya akan ada, bila kau pernah merasa memilikinya.”

Posesif sendiri, akibatnya, bisa digambarkan dalam sebuah percobaan fisika sederhana: menekan mangkuk terbalik ke dalam air. Semakin keras kamu menekan mangkuk itu, semakin keras pula usaha sang mangkuk dalam melawan. Kan begitu? Nah posesif juga demikian: semakin posesif seorang kekasih, semakin mendorong pasangannya untuk ‘melawan’. Perlawanan itu bisa berupa, kemudahan terjadi perselisihan, atau bahkan perselingkuhan.

Apalagi jika dalam hubungan itu terjadi kegiatan-kegiatan yang sebetulnya, baik secara moral agama maupun budaya ketimuran kita, dilarang. Semakin ‘jauh’ batas wilayah itu dilewati, akan semakin rentan pula hadirnya gejala yang lebih buruk dari sekedar posesif, yakni paranoid state. Ketika misalnya, kamu ‘biasa’ berciuman dengan pacar kamu, maka ketika dia bersama teman-teman cowoknya, akan ada pikiran begini: dengan saya saja dia biasa ciuman, bagaimana kalau begitu juga dia dengan kawan-kawannya?

Nah, kamu boleh menganalogikannya ke dalam hal yang lebih jauh.

Apa yang dialami Mawar, dialami juga oleh banyak pasangan belia. Tapi entah dengan yang terjadi padamu. Apa juga begitu?

Kang Irfan, Menurut Ramalan Saya Tidak Akan Berjodoh dengan Pacar Saya. Bagaimana ini?

Dua orang yang curhat kepada saya mengenai masalah ini. Mawar I, dia berkata telah diramal oleh dua orang sekaligus, pertama tukang sol sepatu misterius, dan kedua sahabat neneknya yang sedikit berlabel paranormal. Sedangkan Mawar 2, yang cenderung mudah terpengaruh, merasa kesal, saat seorang lelaki dewasa, sahabat keluarganya, berkata bahwa jika dia menikah dengan pacarnya yang sekarang, dia akan hidup melarat.

Jawaban saya sederhana, (1) ramalan itu bisa disebut prediksi. Dalam beberapa hal ramalan atau dalam bahasa Inggrisnya “Forecasting” memang biasa dilakukan dalam rangka mengantisipasi keserbamungkinan di masa yang akan datang. Perusahaan-perusahaan juga melakukan yang demikian. Dalam taraf kecil, kita juga melakukan. Misalkan, awan mendung, kemudian kita memprediksi bahwa hujan akan turun, dengan demikian kita pergi bekerja membawa payung. Jadi prediksi adalah praduga kita mengenai kemungkinan di masa depan berdasarkan fakta-fakta yang terjadi hari ini. Tapi catat: segalanya belum tentu seratus persen benar, oke?

Nah, kedua, ramalan hanya akan menjadi kenyataan bila kita memilih untuk mempercayainya. Adalah bagus sekaligus menarik pemaparan Deddy Corbuzier dalam bukunya Mantra mengenai pembahasan ramalan seperti ini. Dia bilang, seseorang yang diramalkan akan berjodoh dengan bule, pada akhirnya melalui pilihan-pilihan (baik yang sadar maupun a-sadar) akan cenderung berusaha untuk mewujudkan ramalan tersebut. Jadi ketika dia “percaya” bahwa jodohnya adalah orang bule, maka dia hanya akan “melihat” orang bule dan bukannya produk lokal sebagai incaran jodohnya. Begitulah, maka kemungkinan menjadi kenyataan menjadi besar. Bukan karena ketepatan ramalannya, melainkan karena keyakinan si orang tersebut bahwa jodohnya memang seorang bule. Ini yang harus diperhatikan, oke?

Ketiga, apa yang bisa kita ambil dari kejadian ini? Setidak-tidaknya sebuah hal mendasar mengenai moral: jangan berlebihan dalam menjalin hubungan percintaan itu, karena belum tentu dia memang yang terbaik. Batasan-batasan yang ditetapkan—entah oleh agama maupun norma—memang ditujukan agar tercipta kedamaian dalam diri kita semua. Laki-laki pandai menjanjikan pernikahan, jadi sebelum itu benar-benar terwujud, jangan seratus persen percaya, jangan lantas menyerahkan segala-galanya.

Mawar: tapi bagaimana kalau ternyata benar?

Saya: Setidak-tidaknya begini sajalah, imbangi dengan doa: ya Allah, Engkau Maha Mengetahui mengenai ramalan itu. Sepenuhnya aku berserah. Jika dia memang yang terbaik buatku, aku bersyukur. Tapi jika bukan, lapangkan dan terangkan hatiku agar bisa menerima keputusan-Mu. Karena yang baik menurut-Mu, baik pula menurutku. Dan begitu juga sebaliknya. Namun demikian, jika aku boleh sedikit berharap, tentu akan membahagiakan jika siapa yang terbaik menurut-Mu, adalah yang terbaik pula menurut-Ku. Amien.

Begitulah.

Sabtu, 18 Juni 2011

Kang Irfan, Emang Kalau Nangis itu Cengeng ya?

Kang Irfan, Emang Kalau Nangis itu Cengeng ya?

Mawar: Kang Irfan, emang kalau kita dapet masalah trus nangis, nggak boleh ya? Apalagi kalau cowok. Gitu ya?

Saya: Ah nggak juga. Saya kadang juga suka nangis. Rasulullah saja suka nangis. Kenapa nangis dilarang? Begini: saya selalu berpendapat kalau ketika kita tertimpa masalah, kita sebetulnya menghadapi dua hal. “Masalah” itu sendiri dan “Efek dari Masalah” kita.

Ambil contoh: putus dengan pacar.

Masalah: putus dengan pacar.

Efek: Sedih, Kecewa, Marah.

Nah, nangis memang tidak akan mengubah keadaan, atau tidak akan menyelesaikan masalah. Kita bukan Nobita dan Doraemon juga hanya tokoh khayalan. Jadi satu-satunya cara menyelesaikan masalah adalah menghadapi masalah kita, menyusun strategi agar kita bisa mengalahkannya!

Namun demikian, menangis juga berfungsi dalam hal menetralisir atau paling tidak mengurangi efek dari masalah itu. Misalkan, kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan kita bisa sedikit ternetralisir dengan tangisan itu. Beberapa kali teman perempuan curhat kepada saya mengenai hal-hal semacam ini, dan saya selalu membiarkan mereka menangis. Cenderung menyuruh. Dengan begitu, kadang-kadang setelah lelah menangis, dia berkata, “Yah, mungkin memang belum jodoh....” Dan seterusnya.

Efek masalah itu seperti kabut, membuat kita tidak bisa melihat dengan JELAS masalah kita. Dengan tangis, kabut itu perlahan surut dan masalahpun terlihat JELAS. Hanya saja, sebagai catatan, jangan hanya lantas usaha kita berhenti di prosesi “MENANGIS(I)” saja. Alih-alih, prosesi menangis harus dijadikan tumpuan untuk kita mendapat kekuatan lebih dalam menyelesaikan masalah.

Jeane Webster bilang, “Boleh menangis, tapi tentukan batas waktunya. Jika batas waktu itu telah habis, maka kita harus komit terhadap diri sendiri untuk tidak lagi menangis dan mulai menghadapi masalah kita, apapun itu.” Karena, hidup harus terus berjalan.... Bagaimana menurutmu?

Kang Irfan, Ortu Saya Cerai, Saya Harus Ikut Siapa?

Ujang: Fan, teman saya curhat kalau ortunya cerai. Terus dia tanya sama saya, dia harus ikut siapa?

Saya: Memang selalu agak dilematis. Sebelum membantu memberi saran, saya harus tahu terlebih dahulu, (1) latar belakang penyebab perceraian, (2) kecenderungan hati teman Kang Ujang lebih kepada ayah ataukah ibu, (3) efek kalau temannya itu (mari kita anggap Mawar) memlih ayah atau memilih ibu, apa? Baik bagi salah satu orangtuanya, maupun dia sendiri.

Karena, dengan tahu latar belakang penyebab perceraian, kita akan tahu siapa diantara kedua orang tua Mawar yang lebih siap mengasihi, menyayangi, dan mengayomi Mawar. Jika perceraian diakibatkan suami yang selingkuh atau suka memukuli misalkan, tentu Mawar lebih baik ikut ibunya. Atau kedua, kata hati Mawar. Bagian ini menyangkut hadist Rasul, bahwa firasat seorang mukmin adalah cahaya Allah (Mukhtarol Hadist). Barangkali ‘sejalan’ juga dengan teori Otak Tengah yang sekarang ramai dan kontroversial itu, ataupun mengenai konsep intuisi. Bisa dicek gi google ya tentang keduanya... hehehe

Pada poin ketiga, kita akan melihat mana yang kira-kira bisa menjadi pilihan yang sama-sama menguntungkan. Hal ini bisa dilihat dari efek pemilihan itu. Untuk mengetahui efek atau ‘kemungkinan efek’ itu kita bisa tahu dari cerita mengenai latar belakang perceraian, watak orang tua, budaya keluarga, konteks lingkungan. Dan hal itu saya perlu melakukan anamnesis terlebih dahulu. Ngobrol lebih jauh. Bagaimana?

Setelah menunggu beberapa lama, Kang Ujang membalas sms saya: Kang Irfan, kata dia, lebih baik dia ikut saya ceunah, daripada ikut kedua orang tuanya. Hahahaha.

Saya: beuuuuuuuh, nanti terjadi hal-hal yang diinginkan dong?

Ujang: ahahahaha....

Masalah ini belum terpecahkan. Tapi semoga kawan dapat mengambil manfaat. Salam.

Minggu, 12 Juni 2011

Kang Irfan, Saya Nembak Cewek Tapi Digantung

Ujang: saya sudah menyatakan cinta saya dan kemudian dia tidak menolak juga tidak mengiyakan, hanya bilang masih trauma. Dan hati saya terasa hampa.

Dear Ujang
Pertama, wajar kalau kamu ngerasa hampa, karena bagaimanapun cinta bertepuk sebelah tangan adalah hal yang mengiriskan hati dan perasaan. Kehampaan itu lebih disebabkan oleh ketidakterpenuhinya hasrat hati kamu. Ibarat tepuk tangan, dia hanya akan mengeluarkan suara jika dilakukan oleh lebih dari satu belah tangan. Satu belah tangan menepuk tanpa disambut tangan yang satu lagi tak menghasilkan apa-apa, hanya kekosongan.

Namun begitu, kedua, ini bisa jadi ujian. Perempuan itu ingin diperjuangkan. Mereka ingin dianggap berharga. Mereka ingin dicintai dan dimengerti. Mereka ingin melihat kesungguhan kita. Karena itu, yang harus kamu lakukan adalah bahwa kamu bisa memberikan kesungguhan itu. Bahwa dia tidak akan salah pilih. Cinta dan komitmen harus seiring sejalan. Perselingkuhan atau pelanggaran terhadap komitmen akan menjadi rasa sakit yang bisa jadi tak bisa hilang.

Seorang lelaki haruslah mampu membuktikan komitmennya. Dan bukti cinta dan komitmen seorang lelaki terhadap seorang perempuan, katanya sih, adalah ketika lelaki itu siap menikah dengan si perempuan. :-) Bagaimana menurutmu?

Kang Irfan, Kenapa Sih Hidup Saya Kayak Gini?

Dear Mawar,

Yang harus kita sadari bahwa sifat hidup itu sederhana: kita tidak bisa mengubah skenario dasar kehidupan kita, namun soal bagaimana skenario itu berkembang dan berakhir, kita punya 'kekuasaan' untuk mengubahnya. Dalam beberapa hal, kita cenderung menjadi tidak arif. Kita hanya 'melihat' hal-hal yang kelihatan 'baik' dan 'bagus' dan 'hebat' pada kehidupan orang lain, sehingga kita cenderung iri dan tidak mensyukuri skenario dasar kehidupan kita.

Ah ya, lupa, yang termasuk skenario dasar itu adalah: siapa orang tua kita, apa jenis kelamin kita, bagaimana bentuk wajah kita, sifat dasar kita, bakat alami kita, lingkungan kita, dan seterusnya. Dalam penentuan skenario dasar itu kita tidak memiliki kekuasaan memilih. Namun demikian, satu hal yang pasti, bahwa ketika Tuhan memilihkan satu skenario kehidupan untuk salah seorang hamba-Nya, itu sudah melalui perhitungan yang Maha Matang: Dia menentukan 'kita' sebagai 'kita' karena kita hanya akan mampu hidup sebagai 'kita'.

Karena setiap hidup adalah tantangan, maka keharusan kita hanyalah menjawab dan mengalahkan tantangan itu. Selalu meratapi apa yang 'tidak sesuai menurut kita' dalam hidup kita hanya akan membuat kita jalan di tempat, bahkan cenderung mundur. Perhatikan, setiap pemenang, setiap juara berhasil mengalahkan 'tantangan' dan 'lawan' mereka, tak peduli seperti apapun tantangan itu.

Seorang santri pernah curhat sama saya: aduh Kang, saya mah susah ngapalin alfiah karena harus ngurus keponakan saya. Dalam hati, saya bilang: saya juga harus bekerja setiap hari dan nyuri-nyuri waktu untuk mengaji di sela kesibukan saya juga menulis buku. Tapi saya bisa, karena saya mau, karena saya ngotot. Jadi bukankah daripada terus mempermasalahkan 'kenapa sih masalah ini harus terjadi sama saya?' atau 'kenapa sih hidup saya kayak gini?' bukankah lebih baik, 'Nah, apa yang harus saya lakukan agar saya bisa mengalahkan tantangan ini?' Dua pertanyaan pertama hanya menimbulkan keluh kesah. Pertanyaan terakhir mendorong kamu menemukan cara, menemukan strategi, menemukan jalan. :-)

Semangat menghidupi kehidupan!

Jumat, 10 Juni 2011

Kang Irfan, Setelah Menikah Saya Jadi Punya Banyak Hutang.

Dear Ujang,

Memang pernikahan bukanlah semata mengenai menyatukan dua sejoli. Tapi lebih dari itu, juga menyatukan dua kepribadian, dua dunia, dua karakter, dua kebiasaan, persamaan dan perbedaan. Bahkan, jika dirunut lebih jauh juga menyangkut perbedaan karakter keluarga, karakter masyarakat tempat tinggal, dan seterusnya. Dari semua masalah yang biasa terjadi dalam pernikahan, masalah yang dimulai dari makhluk bernama UANG, memang tidak kalah memusingkan.

Buktinya, banyak orang yang bercerai karena masalah ekonomi. Entah karena lupa diri gara-gara kebanyakan uang ataupun tak kuat sabar karena keserbakurangan uang. Karena itu, penting untuk mengkomunikasikan masalah uang dengan baik antara pasangan suami istri. Keterbukaan dan kejujuran serta kerjasama pengelolaan uang memang mutlak diperlukan.

Pada kasus Kang Ujang yang satu ini, dia menggunakan seluruh penghasilannya untuk membiayai keluarga, sedangkan penghasilan istri tidak disentuh sama sekali. Selain itu, pengelolaan uang juga tidak menggunakan prinsip pengelolaan uang yang sehat, sehingga wajar apabila Kang Ujang sampai harus gali lubang dan kesulitan menutupnya.

Beberapa saran yang bisa disampaikan adalah:
1. Komunikasikan dengan istri, bagaimana sebaiknya pengelolaan uang bersama. Sehingga tidak timbul perselisihan gara-gara penghasilan suami yang dipakai habis, sedangkan penghasilan istri tidak bisa disentuh sama sekali. Kesepakatan dari poin ini bisa sangat mempengaruhi. Entah apakah kesepakatan itu berupa (1) penghasilan suami saja yang digunakan dan penghasilan istri tidak boleh, (2) penghasilan bersama dikelola bersama secara terbuka, ataukah (3) penghasilan istri saja yang dipakai dan yang suami tidak boleh, yang penting kesepakatan itu harus dirasa adil oleh kedua belah pihak (win win solution).

2. Kelolalah uang dalam rumah tangga dengan menggunakan prinsip keuangan yang sehat. Normalnya, hanya 80% saja dari total penghasilan yang 'boleh' digunakan untuk keperluan sehari-hari dan cicilan-cicilan. Sisa 20% ditabung atau diinvestasikan sesuai kebutuhan. Kamu bisa menggunakan jasa perencana keuangan jika kamu merasa tidak mampu mengaturnya sendirian. Atau bisa juga dengan membeli buku-buku perencanaan keuangan (saat ini banyak yang beredar dengan menggunakan bahasa populer sehingga mudah dimengerti), atau bisa cek di beberapa website seperti: www.perencanakeuangan.com atau www.danareksaonline.com atau keuangankeluarga.blogspot.com.

3. Kamu harus cerdas memilih kebutuhan dan keperluan hidup. Karena kebutuhan itu terbagi ke dalam empat jenis:
(1) Penting dan Mendesak seperti kebutuhan makan dan minum
(2) Tidak Penting tapi Mendesak seperti membeli boneka  untuk kado ulang tahun.
(3) Penting dan Tidak Mendesak seperti kebutahan dana pendidikan anak.
(4) Tidak Penting Tidak Mendesak seperti ganti motor.

Lebih jelas bisa tengok di http://books.google.co.id/books?id=Gu290Clg6G8C&pg=PA12&lpg=PA12&dq=kebutuhan+tidak+penting+mendesak&source=bl&ots=09U0_nC7J7&sig=W_u_dCoQOW3tHYMnIyZiKRh24oM&hl=id&ei=aizyTeurF4j4rQeDrZX6Bw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CDsQ6AEwBg#v=onepage&q=kebutuhan%20tidak%20penting%20mendesak&f=false

Nah, bagaimana menurut kamu? :-)

Kang Irfan, Kenapa Mesti Kotak Curhat?

Karena awalnya, sejak kecil saya selalu menjadi 'tempat sampah' teman-teman saya. Pada beberapa kasus saya ikut memberikan saran dan solusi dari masalah-masalah mereka. Ini terjadi tidak hanya saat saya SD, tapi juga berlanjut sewaktu SMP dan kemudian SMA sampai sekarang.

Memang rata-rata masalah yang diceritakan kepada saya bukanlah masalah-masalah besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak, melainkan masalah-masalah sehari-hari. Namun demikian, ketika saya kemudian  menyadari bahwa banyak dari curhatan mereka menyangkut hal yang sama, saya berpikir bahwa alangkah baiknya jika saya membuat blog yang khusus untuk berbagi mengenai hal-hal ini.

Semua tokoh penanya akan diwakili oleh Ujang (untuk laki-laki) dan Mawar (untuk perempuan), lebih untuk menjaga privasi mereka. Lebih dari itu, memang pada akhirnya solusi yang saya sampaikan barangkali tidak sesuai bagi kamu, tapi setidak-tidaknya kita semua senang berbagi. Setidak-tidaknya saya ingin berbagi. Jika memang sesuai, tentu akan sangat membahagiakan.

Saya membuka kesempatan bagi siapapun untuk share dalam blog ini dengan mengirimkan curhatannya ke email 'resmi' blog ini: www.kcurhat@rocketmail.com Jika saya bisa, saya akan ikut berbagi pengalaman dan solusi mengenai masalah kamu. Jika tidak, semoga saya bisa menemukan orang yang bisa. :-)

Oke, Cheers.