Minggu, 18 September 2011

SWOT Gitu Loh (Bag. 4) #Threat


Sedangkan threat atau halangan, ancaman, rintangan, adalah sesuatu yang sering kita kambinghitamkan untuk kegagalan atau kekalahan kita.

Misal, suatu hari Ujang si Santri saya bonceng. Dalam boncengan itu dia bercerita, “Mang Haji, sayah mah mau ngaji juga susah bener. Harus bolak-balik ke rumah buat ngurus keponakan sayah yang masih bayi. Orangtuanya jadi TKI. Makanya oranglain sudah hafal bait mana, sayah mah masih belum juga.”

Padahal, kita semua memiliki rintangan sendiri-sendiri. Kalau kita berpikir rintangan hidup kita telah secara tidak adil membuat kita kalah, berarti kita kurang berjuang keras. Kita bisa menyalahkan orangtua kita yang miskin sehingga kita gagal. Tapi orang yang kaya juga bisa menyalahkan kurangnya perhatian orangtua sehingga mereka terjebak narkoba.

Kalau rintangan kita berupa jarak yang jauh ke sekolah, berarti kita harus bangun lebih pagi. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Kalau rintangan kita berupa tidak mampu beli buku, berarti kita harus jadi pengunjung tetap dan rutin perpustakaan daerah. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Kalau rintangan kita berupa lingkungan yang tidak kondusif, maka mau tidak mau kita kuat melawan arus.

Kalau boleh main ibarat, threat itu kayak lawan kita di arena gladiator. Mungkin satu hari kita ‘beruntung’ mendapat lawan yang kurus kering belum makan satu bulan, tapi siapa tahu esok lusa kita mendapat lawan raksasa bertubuh gagah bertanduk menjangan. Tapi siapapun lawan yang ‘dipilihkan’ untuk kita, kita tetap harus mampu mengalahkannya jika tetap ingin HIDUP.

Dalam banyak kisah sukses, salah satu kiat menyiasati rintangan itu adalah menjadikannya kesempatan. Melawan seorang yang bertubuh tegap bak raksasa bertanduk menjangan memang tidak bisa dengan sebuah pukulan langsung. Mungkin kita harus berlari ke sudut-sudut tertentu, membuat dia pusing mencari-cari kita, berbalik dan terus berbalik sampai urat lututnya putus. Siapa tahu bisa demikian. (sebenarnya, trik tadi terinspirasi dari film Samurai X, hihihi).

Lagipula, rintangan adalah kesempatan kita menguji kemampuan diri, kemantapan hati, keteguhan jiwa. Rintangan adalah kesempatan bagi kita menaikkan level diri, kelas diri. Rintangan adalah kesempatan kita untuk berjuang lebih keras dari yang kita pikir mampu kita lakukan. Apapun rintangannya, minumnya tetap air putih sajaaah. Ahaha.

SWOT Gitu Lho (Bag. 3) #Opportunity


Seperti kata teori konvergensi: karakter seseorang itu dipengaruhi oleh potensi bawaan dan lingkungan. Jadi, dalam ‘menemukan’ cita-cita yang ‘sesuai’, selain harus mengenal diri kita sendiri dengan baik, kita harus juga bisa melihat ‘lingkungan’, faktor-faktor eksternal di luar diri kita.

Dalam konteks faktor eksternal, dalam postingan ini, kita akan membahas opportunity.

Opportunity berarti kesempatan. Sedangkan kesempatan seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang menguntungkan, mendukung, dan menggembirakan kita. Kesempatan juga sering dikaitkan dengan pintu atau peluang meraih kesuksesan, mencapai satu target tertentu.

Misal, bagi seorang maling, pintu rumah yang tidak dikunci dan ditinggalkan pemiliknya adalah ‘kesempatan’ dia untuk mencuri. Atau, tawaran untuk memimpin sebuah kelompok atau berbicara di depan umum, bagi orang-orang tertentu, adalah kesempatan untuk melatih karakter dan kekuatan mental.

Tapi, wajah-wajah kesempatan tidak selalu dapat dilihat dengan jelas. Lebih sering tersembunyi. Kekurangcepatan kita atau kekurangmampuan kita dalam melihat wajah-wajah itu menyebabkan kita akrab dengan kata ‘kehilangan kesempatan’ ‘menyesal’ ‘hanjakal’ ‘coba dulu saya gini... pasti gitu....’ ‘Sayang sekali saya tidak menghafal tadi malam....’

Lebih jauh lagi, menyoal kesempatan, manusia terbagi ke dalam tiga golongan:
1. Orang yang menyia-nyiakan kesempatan. Mereka yang menyia-nyiakan waktu dan kesehatan, umur dan uang, otak dan hati.
2. Orang yang menunggu kesempatan datang. Mereka yang duduk diam menunggu menang lotere tapi lupa caranya membeli kupon lotere.
3. Orang yang membuat, mengkondisikan, agar kesempatan itu datang. Dia tahu bahwa perubahan sikap, bisa mendatangkan perubahan nasib. Jika pintu tak jua tersedia, dia akan membuatnya. Jika pintu masih saja ditutup, dia akan berusaha membukanya.

Menyoal kesempatan ini, hadist Rasulullah bisa dengan tepat kita jadikan penutup: ingatlah lima perkara sebelum lima perkara. Muda sebelum tua. Kaya sebelum miskin. Lapang sebelum sempit. Sehat sebelum sakit. Hidup sebelum mati.

Hari ini adalah hadiah, adalah kesempatan. Manfaatkan apapun yang kamu miliki, jadikan semuanya pijakan, jadikan semuanya kesempatan kamu untuk terus memperbaiki diri sehingga kamu layak untuk menjadi apapun yang kamu inginkan.

SWOT Gitu Lho! (Bag. 2) #Weakness


Sekarang, mari kita sedikit kritis. Apa saja sifat, watak, sikap kamu yang kamu rasa menjadi kekuranganmu?

Apakah kamu termasuk seorang yang pandai tapi malas? Ataukah seorang yang hebat tapi suka menunda? Apakah kamu seorang yang mudah marah, ataukah justru pribadi yang sering mengeluh? Bagaimana dengan kesempatan yang datang—apakah kamu termasuk orang yang bilang, “Ya, saya pikir saya bisa!” Kendati kamu masih ragu mengenai itu? Ataukah kamu termasuk orang yang bilang, “Ah saya tidak bisa, tidak pantas, biar orang lain saja....”

Apakah kamu termasuk seorang yang pandai menerima kritik ataukah fasih mencibir orang? Ataukah kamu seorang yang selalu mau belajar dan bukannya seorang yang mudah puas? Bagaimana ketika ada halangan atau rintangan, apakah kamu akan menyiasatinya ataukah mundur?

Sekarang, katakan pada saya, apakah kamu sudah tahu akan menjadi seperti apa satu tahun ke depan? Dua tahun kemudian? Besok lusa? Ataukah mungkin kamu bisa katakan pada saya, bahwa kamu lebih menyukai menyimpan dendam ketimbang duduk tenang menyelesaikan masalah?

Weakness adalah segala macam hal-hal yang mendorongmu untuk menjadi yang “kurang” atau “standar”. Apakah dirimu masih akrab dengan kata “kurang beruntung” “kurang pandai” “kurang cepat” “kurang sigap” “kurang fokus” “kurang ngotot”? Atau barangkali dirimu itu masih akrab dengan kata “yah standarlah” “biasa-biasa saja” “sama saja” “nggak bagus” “imitasi” “emas sepuhan”.

Jika kamu masih akrab dengan kata “kurang” dan “standar” itu artinya ada sesuatu yang mesti kamu perbaiki. Jika kurang bersyukur berarti tingkatkanlah saldo syukur kamu setiap waktu. Jika tabungan amalnya masih standar, perbanyaklah ibadah biar ‘bunga’ dari ibadahnya berlipat ganda.

Kemampuan kita mengenali kelebihan mendorong kita untuk memanfaatkannya! Sedangkan kemampuan kita mengenali kekurangan diri sendiri mendorong kita memperbaikinya.

Kemudian, kemampuan kita mengenali kelebihan dan kekurangan diri kita sendiri akan mendorong kita untuk menyiasati keduanya agar menjadikan kita pribadi unggul, satu diantara seribu, ahsani takwim, insan kamil, sebaik-baik manusia.

Jika sudah begitu, kamu bisa melihat lebih jelas cita-cita yang “sesuai” dengan diri kamu. Dan, kemudian, yang kita perlukan adalah melihat dua faktor eksternal—opportunity dan threat. Pada posting berikutnya yaa.... 

SWOT Gitu Loh! (Bag. 1) #Strenght


Mawar ini berusia 17 tahun. Tiba-tiba saja berkata pada saya begini, “Saya tiba-tiba nangis pagi ini, karena saya sadar saya tidak tahu ingin jadi siapa kelak nanti. Apa itu cita-cita? Cita-cita kamu apa, Fan?”

Saya menjelaskan panjang lebar mengenai cita-cita saya yang tak kesampaian: menjadi kiper Manchester United, menjadi pemeran Rangga, menang 1 miliyar di kuis Who Wants to Be a Millionaire, Keliling Dunia Maya, Berfoto bareng Asmirandah, Duet dengan Christina Aguilera, Salaman dengan Mahmud Ahmadinejad, dan lain-lain, dan lain-lain.

Tanpa tertarik dengan selera humor saya, Mawar itu lanjut bertanya, “Bagaimana caranya saya harus punya cita-cita?”

Ada beberapa, jawab saya, kini agak serius. Tapi untuk sekarang, saya jelaskan SWOT aja ya....

SWOT adalah kependekan dari Strength, Weakness, Opportunity dan Threat. Dua kata pertama (Strenght dan Weakness) adalah faktor internal. Sedangkan Opportunity dan Threat adalah faktor eksternal.

Strenght dan Weakness
Begini, untuk punya cita-cita, yang katakanlah “sesuai” dengan “diri” kita, kita harus tahu dulu siapa diri kita sebetulnya. Untuk tahu siapa diri kita, mula-mula kita harus bisa “melihat” apa saja kelebihan/kekuatan/potensi (strenght) kita, dan apa saja kelemahan/kekurangan (weakness) kita.

Kelebihan/kekuatan/potensi biasanya diwakili oleh kata-kata hebat ini: bakat, minat, keterampilan. Bakat adalah sesuatu yang kita miliki secara alamiah, bawaan sejak lahir. Sedangkan minat adalah satu/lebih hal/bidang tertentu yang kita sukai. Sedangkan keterampilan adalah kemahiran yang lahir karena belajar.

Sekarang, tuliskan minimal sepuluh bakat yang kamu rasa kamu miliki. Hal-hal, kelebihan-kelebihan yang kamu rasa memang kamu miliki sejak lahir. Ada seseorang yang memang terlahir untuk menjadi pemain sepak bola. Apakah kamu salah satunya? Atau mungkin kamu akan menjadi Riri Riza generasi baru? Ayo, jangan takut, jangan ragu. Jujurlah, jujur saja. Apa sebetulnya bakat yang kamu miliki?

Kemudian, tuliskan minimal sepuluh minat kamu. Minat berhubungan dengan ‘rasa cinta’ dan ‘nyaman’. Kamu meminati basket karena kamu mencintai olah raga itu dan merasa nyaman ketika berada di lapangan, mendribling bola dst. Atau mungkin kamu termasuk orang yang merasa hidup hanya ketika menulis puisi? Emm, bagaimana kalau ternyata kamu selalu merasa nyaman ketika bekerja mengatur sebuah pertunjukkan, memerah keringat memastikan semua orang puas dengan hasil kerjamu? Tuliskan, tuliskan saja semuanya. Keluarkan!

Setelah itu, tuliskan keterampilan yang kamu miliki. Apakah kamu sudah bisa menyetir? Bagus, tuliskan! Atau bagaimana dengan mendesain foto atau memproduksi gambar-gambar komik? Bisa jadi. Masukkan saja! Nah, soal menulis partitur lagu, apakah kamu juga terampil? Oh ya? Bagus. Tuliskan saja, tuliskan saja!

Nah, sampai di sini, melihat satu-persatu bakat kita, minat kita, keterampilan kita, akan membantu kita melihat dengan jelas cita-cita yang “sesuai” dengan kita. Saya tidak punya bakat menulis tapi saya suka menulis apakah saya bisa jadi seorang penulis? Tentu saja. Kerjakan apa yang kamu sukai, belajar sambil jalan, mau otodidak atau ikut workshop tak mengapa, lama-lama kamu pasti jadi penulis—asal tetap yakin. Saya punya bakat sepak bola tapi tidak tahu harus bagaimana. Cobalah ikut ekstrakurikuler sepak bola, masuk sekolah sepak bola kalau bisa. Dekatkan seseringmungkin diri kamu ke ‘jalur’ sepak bola, insya Allah akan ada jalan. Saya terampil mengolah foto dan menggambar. Kalau begitu, buka kesempatan menjadi seorang desainer grafis! Jangan ragu-ragu!

Tapi, saya tidak tahu apa bakat saya, saya tidak tahu apa minat saya, saya juga tidak merasa punya keterampilan!

Kalau begitu, kamu perlu memberi lebih banyak kepercayaan kepada dirimu sendiri. Jangan terlalu rendah menilai diri. Jangan terlalu kritis. Apresiasi saja. Itu sudah cukup. Sekarang, silakan tuliskan!