Rabu, 01 Februari 2012

Pindah Frekuensi... Menuju Matang

Pindah Frekuensi... Menuju Matang

Kawan dekat saya sejak kecil, sahabat sekaligus saudara, panggil saja Ujang, cerita pada saya di salah satu pondokan di dekat rumah. Dia seorang santri di pesantren besar di Kediri. Pulang ke kampung selama libur ramadhan.

Dia bercerita: saya jauh dengan keluarga saya sekarang. Maksudnya, saya jadi nggak suka. Mungkin malah benci. Saya bisa merasa tenang belajar di pesantren. Tapi ketika pulang, setiap hari selalu saja saya berhadapan dengan kenyataan konflik yang sebenarnya nggak penting. Mamah ngobrolin kejelekan kakak ipar. Kakak ipar juga sebaliknya. Ditambah lagi keluarga saya itu suka berbohong, dan saya itu nggak suka. Makanya, untuk menenangkan diri, saya tidur di pondokan saja. Saya ke rumah cuma numpang makan.

Saya cerita: Ada beberapa faktor kenapa kamu kayak gitu, Jang, setidaknya menurut yang saya tahu sedikit-sedikit.
1. Kamu sedang berpindah frekuensi. Sekarang bayangkan radio. Untuk pindah dari satu frekuensi ke frekuensi lain, pasti ada dulu suara keresek. Nah, begitu. Dari dulu keluarga kamu, anggap saja, sudah seperti itu. Tapi kamu merasa tidak masalah karena kamu masih berada dalam frekuensi mereka. Ketika kamu mesantren, kamu belajar banyak, kamu bertumbuh. Hal yang menuntut perpindahan frekuensi secara alamiah. Dan untuk mencapai frekuensi baru yang menentramkan itu, kamu harus melewati ‘jarak’ yang bersuara ‘keresek’ itu.
2. Kamu juga sedang dalam proses adaptasi dengan frekuensi baru itu. Ibarat frekuensinya udah dapet, tapi belum tepat. Nah, itulah proses adaptasi. Kamu menyesuaikan diri. Dan yang namanya menyesuaikan itu tak selalu mudah. Apalagi dalam konteks hidup. Pasti melibatkan tarik-ulur perasaan.
3. Keluarga kamu terjebak sepenuhnya oleh cara bersikap khas sinetron yang memandang segala sesuatu serba hitam putih. Membikin saling curiga dan buruk sangka. Karena mereka tidak punya kegiatan lain selain urusan rumah tangga, maka apa yang mereka tonton itu tidak tersaring dengan baik. Akibatnya, secara tidak sadar menjadi ‘penuntun’ sikap dalam kehidupan sehari-hari. Tapi kamu, setelah mesantren, telah belajar banyak, membaca banyak buku, otomatis telah memiliki filter dan pengetahuan yang cukup. Sehingga, ketika melihat semua itu, kamu merasa jengah karena sebetulnya itu salah. Contoh: orang yang tahu kalau kantong keresek bisa merusak kelestarian dan kehijauan lingkungan, akan merasa jengah dengan orang-orang yang seenaknya menggunakan kantong keresek. Tapi yang tidak tahu atau tidak peduli mah fine-fine aja.
Dia jawab: saya hanya takut saya berdosa karena memiliki perasaan semacam ini. Kebencian ini. Padahal saya tidak menginginkanya.

Saya jawab lagi: Allah kan Maha Tahu, Allah Maha Mengerti. Yang perlu kamu lakukan sekarang, menurut saya sih, cuma, (1) memohon pertolongan Allah agar tidak terjebak dalam kebencian yang bersifat personal, jadi bencilah sama sikapnya, jangan sama orangnya, (2) agar bisa bersikap lebih arif, karena bagaimanapun kamu beruntung dapat pengetahuan yang lebih sehingga dapat melihat kesalahan ini, (3) dibawa rileks sajalah. Kalau tegang dan terlalu diporsir nanti malah semakin membikin kesal dan marah. Oke?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar