Selasa, 15 Mei 2012

The More You Give, The More You Get

Karena hukum utama hidup memang kayak gitu: semakin banyak kamu ngasih semakin banyak kamu nerima. Ketika saya menemani panitia sebuah acara, berulang kali saya jelaskan bahwa panitia yang lebih banyak memberikan sumbangsih akan menerima manfaat lebih banyak. Kenapa? Karena dengan memberi kontribusi lebih banyak ia belajar lebih banyak. Jadi tidak usah berkeluh kesah dan bersedih hati memikirkan kawan lain yang memilih mundur dari kepanitiaan karena alasan yang tidak jelas. Terlibat dalam sebuah kepanitiaan, selain melatih kepekaan komunikasi, kematangan sikap mental, ketahanmalangan, motivasi, juga menajamkan intuisi. Jika semua itu dilatihkan dalam seminar, kamu harus mengeluarkan lebih dari Rp 5 juta untuk mengikutinya. Dan belum tentu dampaknya sebesar jika kamu terlibat dalam kepanitiaan sebuah acara. Kenapa? Karena manusia belajar banyak dengan terlibat. Kita bisa belajar dengan melihat, membaca, mendengar, tapi keterlibatan melahirkan pengalaman yang membekas. Bahkan orang yang tidak tahu teori pun kalau terlibat, pasti pada akhirnya mengerti strategi-strategi untuk menaklukkannya. Sebagai contoh, pedagang kecil saja tahu soal pengaruh kenaikan harga BBM padahal mereka tak pernah belajar itu di bangku perkuliahan. Practice make perfect. Jadi ketika kamu memberikan sumbangsih yang banyak kepada sebuah kepanitiaan, itu artinya kamu membiarkan dirimu terlibat lebih banyak sehingga mendapatkan pengalaman lebih banyak, terdewasakan lebih sering, dan bertumbuh lebih cepat. Konsepnya sebetulnya sama saja dengan sedekah. Kita bersedekah sumbangsih satu hari, akan diganti Tuhan berkali-kali lipat. Bukankah dengan menjadi panitia kamu akan belajar komunikasi, sesuatu yang harus dilakukan orang dengan membayar sejumlah uang dengan mengikuti seminar? Bukankah dengan menjadi panitia kamu belajar bertoleransi, empati, dan sabar, kualitas yang diperlukan untuk meraih sukses yang lebih besar? Bukankah itu modal yang sangat-sangat berharga? Jadi nikmatilah setiap keterlibatanmu, karena proses bertumbuh memang selalu sakit, tapi kamu tidak akan menjadi (seperti) 'kanak-kanak' lagi.

Sabtu, 31 Maret 2012

Tersenyumlah

Tapi waktu bisa menyembuhkan semua luka.

Apa yang hari ini membuat kita sedih, membikin kita menangis, jatuh, putus asa, suatu hari akan kita kenang melalui canda tawa. Barangkali terdengar terlalu utopis, tapi ingatlah lagi:

Dahulu sekali kita menangis karena jatuh sewaktu belajar berjalan, kita merengek sewaktu tersungkur saat belajar sepeda, kita meraung-raung saat berebut mainan dengan saudara atau sahabat, kita manyun dan merasa tersisihkan ketika orangtua kita tak mau membelikan mainan yang kita inginkan, tapi hari ini, ketika waktu telah mendewasakan kita—setidak-tidaknya dari segi umur—kita melihat itu dan tak merasakan kesedihan itu sama sekali bukan? Alih-alih kita merasa lucu betapa dulu kita menangis hanya karena hal-hal sepele, betapa dulu kita masih begitu kecil dan rapuh....

Jadi jika demikian, apa yang membuat kita hancur hari ini, sakit hati hari ini, bisa jadi kelak—bertahun-tahun kemudian—akan kita kenang sebagai sesuatu yang juga sepele, tak menyesakkan hati kita sama sekali.

Adalah Mawar yang menjanda pada usia yang baru menginjak 20 tahun. Kendati menjadi korban KDRT selama masa pernikahannya yang tak genap 2 tahun, dengan seorang putri cantik yang tak pernah benar-benar kenal ayahnya, dia masih belum bisa mengikhlaskan kondisinya sekarang: bukan hanya kesendiriannya, tetapi juga ketika mantan suaminya mulai dekat dengan perempuan-perempuan lain.

Tapi masalah memang sesuatu yang menguatkan kita. Seperti imun. Ia adalah racun yang bisa meningkatkan kekebalan kita terhadap masalah-masalah serupa yang bisa saja timbul kelak di kemudian hari. Hanya jika kita ikhlas menerima, ikhlas bertahan, ikhlas untuk berusaha menyelesaikan masalah itu, maka kita akan selangkah lebih maju ke arah kedewasaan.

Apa yang terjadi pada kita hari ini juga merupakan risiko, merupakan konsekuensi. Risiko dari pilihan yang kita ambil di masa lalu. Konsekuensi dari jalan yang kita pilih sebagai nasib. Jika hari ini kita jatuh, jika hari ini kita berduka, patah hati, terpuruk, putus asa, bisa jadi pilihan kita salah di masa lalu. Tak perlu disesali. Lebih baik fokuskan pada cara agar hari ini kita tidak mengulangi kesalahan yang sama atau serupa agar di masa depan, di kelak nanti, kita tak usah merasakan kepatah hatian, keberdukaan, keterpurukan, keputusasaan yang sama.

Atau bisa jadi pilihan kita sudah tepat, tetapi kita hanya... katakanlah, belum beruntung. Tidak masalah. Semua orang pernah gagal. Tidak diragukan lagi. Yang membedakan mereka hanya hasrat untuk bangkit dan bertahan. Sebagian orang memilih untuk tetap maju dan kukuh, sebagian lagi memilih menyerah dan mundur. Tidak apa-apa, semuanya murni bergantung kamu. Semua pilihan kan juga ada konsekuensinya: maju dan kukuh masih berkemungkinan untuk gagal, tapi peluang untuk sukses terbuka lebar. Sedang menyerah dan mundur sudah pasti berujung kekalahan.

Oleh karena itu, jika pada akhirnya apa yang menjatuhkan kita hari ini kelak bisa kita tertawai layaknya tontonan komedi, barangkali ini waktunya bagi kita untuk tersenyum.

Tersenyumlah, walau hati kan terluka.
Tersenyumlah, wahai kau jiwaku, hadapi dunia.
[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Amnesia Sejenak

Kalau hidup ibarat kalimat, maka ia akan selalu diawali oleh ‘satu huruf’ dan diakhiri dengan ‘titik’. Awalan ‘satu huruf’ itu, yang harus ditulis secara kapital, adalah Kelahiran. Sedangkan ‘titik’ di ujung berarti akhir dari kehidupan (di dunia), yakni ‘kematian’. Mari kita bedah:

Pertama, jika ‘titik’ sama dengan ‘kematian’ dan ‘kalimat’ sama dengan ‘hidup’, maka ia sesuai dengan hukum (1) ajal, dan (2) umur, yang tidak bisa diperlambat ataupun dipercepat. Kalimat, seperti halnya hidup, hanya akan nyaman, akan pas, akan enak, akan mudah dimengerti untuk dibaca, jika posisi titiknya benar-benar di ujung kalimat. Contoh:

Budi pergi ke pasar.

Posisi titiknya berada di akhir kata ‘pasar’, sehingga jelas: bahwa orang bernama Budi pergi ke pasar. Beda dengan kalimat berikut:

Budi pergi ke. Pasar

Posisi titik berada sebelum kata pasar, membuat kalimat itu tidak dimengerti karena tidak memenuhi struktur standar kalimat.

Ini membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa kematian yang dipercepat lewat upaya bunuh diri akan membuat hidup kita, seperti halnya kalimat yang titiknya tidak tepat, tidak mudah dimengerti, tidak pas, tidak enak. Akibatnya, orang yang bunuh diri berada di awang-awang, mengambang: tak diterima di akhirat, terusir dari dunia.

Kedua, panjang kalimat mirip dengan panjang/lama umur hidup. Ada kalimat yang hanya terdiri dari satu huruf, satu kata, bahkan sampai berderet-deret kata yang sangat panjang. Contoh kalimat yang terdiri satu huruf:

Y.

Huruf Y tersebut dinisbatkan pada kata ‘Ya’. Biasanya marak di bahasa-bahasa sms. Sedangkan contoh kalimat yang terdiri dari satu kata, ya:

Ya.

Lain lagi dengan kalimat yang sangat panjang, berikut ini:

Melalui teropong yang terpasang di atas atap, Budi menatap bintang-gemintang yang bergemerlapan—yang mengingatkannya pada mimpinya semalam: ketika seekor serigala mengaum di kejauhan sementara dia berdiri gemetar di bawah purnama—ah, purnama, ujar Budi, mendongak ke atas dan mendapati purnama itu bertengger di langit gelap.

Seperti halnya kehidupan dan umur itu sendiri. Ada yang baru di dalam kandungan sudah menemui ‘titik’ sudah mati, tapi ada juga yang berusia ratusan tahun tetap dan masih hidup. Begitulah umur hidup begitulah panjang-kalimat.

Ketiga, dengan demikian, hidup yang panjang, seperti halnya kalimat yang panjang, pastilah membutuhkan ‘koma’, membutuhkan ‘wakof’, membutuhkan ‘jeda’. Bukan untuk ‘mengakhiri’ rentetan kalimat, melainkan untuk sekedar menarik nafas, refreshing, menarik diri dari situasi untuk sekedar menenangkan diri.

David J. Lieberman menulis bahwa manusia membutuhkan rutinitas. Rutinitas membuat manusia nyaman. Tapi sesuai hukum kesetimbangan, di sela-sela rutinitas yang membikin jenuh itu, manusia juga memerlukan kontra-rutinitas: bisa berupa hari libur, liburan, atau hanya sekedar tidur dan pergi nonton—yakni jeda, yakni koma, yakni ‘wakof’, tempat untuk kita menarik nafas, menenangkan diri.

‘Jeda’ dalam hidup, atau ‘koma’ dalam kalimat inilah yang coba disampaikan Afterisya dalam ‘Amnesia Sejenak’. Yakni momen untuk menarik diri sejenak dari beban dan dinamika hidup, demi mendapatkan kembali angin segar, semangat baru, persepsi dan perspektif yang baru, sehingga dapat menjalani kelanjutan hidup dengan lebih baik.

Bukan ‘amnesia’ yang selamanya, yakni sikap untuk menghindar, untuk mundur, untuk melarikan diri dari masalah dan beban hidup. Yang pada akhirnya malah akan semakin bertumpuk, akan semakin menghimpit, akan semakin mengejar, akan semakin membikin hidup tidak tenang.

Dari metrotvnews.com diberitakan: jam kerja yang panjang rentan membikin depresi. Kenapa? Bayangkan membaca kalimat super-panjang yang tidak punya tanda koma: jangankan ngerti apa maksudnya, bacanya saja suka bikin puyeng. Jam kerja adalah salah satu stressor, pemicu stres. Jika dilakukan secara terus-menerus tanpa waktu jeda, tanpa istirahat, stresor itu akan memacu tingkat stres yang lebih parah, yang disebut depresi.

Jadi jelaslah, jeda itu perlu, jeda itu dibutuhkan. Silakan ber-amnesia untuk sejenak.

(Tutup file. Buka winamp. Stel: Amnesia Sejenak, Afterisya).


[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Epilog Antiklimaks Si Tukang Gertak

Tukang gertak itu penakut, demikian tulis David J. Lieberman dalam bukunya. Orang yang menggertak, sebenarnya tidak berani melakukan apa yang digertakannya. Ini mengejutkan. Setidaknya bagi saya.

Tapi pada saat saya membaca buku itu, salah seorang karyawan di perusahaan kakak saya, juga sedang menuntut kenaikan gaji, dengan dalih dia sudah lama bekerja di sana tapi taraf hidupnya masih belum layak.

Sayangnya, dalam penilaian objektif saya, keinginannya untuk naik gaji tidak diimbangi dengan kenaikan disiplin kerja. Dia tetap datang siang, berprilaku indisipliner, dan terkadang berbuat curang. Yang menarik, dia selalu bersikukuh bahwa dia sudah dan selalu melakukan yang terbaik, bekerja jujur, dan lain-lain, dan lain-lain, tapi lantas tak mau tahu hal-hal menyoal keluhan konsumen karena sikap curangnya, keluhan karyawan lain karena arogansinya kalau dapat komisi dari konsumen, dan lain-lain.

Singkat cerita, pada rapat di hari terakhir bekerja sebelum cuti lebaran, si karyawan tersebut mengusulkan kenaikan gaji. Jauh-jauh hari sebelum rapat, semua karyawan sudah dia pengaruhi. Karena dia juga membicarakan ini kepada saya, maka saya tahu apa yang dia pengaruhkan. Kira-kira begini: pokoknya tenang saja, semuanya saya yang urus, saya akan berkorban demi kalian semua.

Sampai di sini, saya memprediksi ke masa depan. Begini prediksinya:
1. Jika usahanya berhasil, dia akan selalu MENGINGATKAN karyawan-karyawan lainnya bahwa kenaikan gaji itu dialah yang paling berjasa, sehingga mereka harus respek dan menghormat penuh kepada dia.
2. Tapi jika usahanya gagal, dan misal, dia dipecat, dia akan MENEROR karyawan-karyawan itu, bilang bahwa DEMI MEREKA-lah dia BERKORBAN. Dan pada akhirnya, secara langsung tidak langsung, dia akan menyuruh mereka juga untuk keluar, untuk resign.

Percakapan di ruang rapat itu lucu. Dia bersikeras ingin tahu nominal kenaikan gaji itu—selepas kakak saya menjanjikan kenaikan gaji—tapi ketika ditanya balik soal, “Boleh naik gaji, tapi datang harus pagi-pagi, harus sesuai jadwal. Istirahat siang jangan telat masuk lagi....”

Dan dia jawab, “Wah, Bos... itu tidak bisa. Saya punya anak....”

Apa yang saya prediksikan, terjadi. Karena kakak saya tak mau memberitahu nominal kenaikan gaji, dia keluar. Dia nyerocos, menumpahkan kekesalannya, kepada semua orang: kakak saya, saya, dan karyawan-karyawan. Awalnya saya tengahi, saya dengarkan, saya ladeni. Lama-lama, karena umpatannya hanya memperlihatkan ketidakdewasaan—bagaimana bisa beberapa hari yang lalu dia masih memaki-maki kakak perempuan saya, sekarang bilang begini: kenapa kakak perempuan kamu tidak membela saya di depan suaminya? Padahal saya sudah berbuat kebaikan kepadanya, saya suka nolong dia.

Sekali lagi, hanya mengingat kebaikan diri sendiri dan bersikap seolah tak pernah berbuat salah. Pandai menyalahkan orang lain dan tak mau introspeksi.

Bagi dia, ini adalah epilog antiklimaks. Tuntutannya untuk naik gaji sekaligus diberi pinjaman untuk membiayai usaha warungnya tanpa mau memantaskan diri untuk mendapatkan semua itu—dengan bekerja lebih disiplin dan datang tepat waktu—berakhir dengan keputusannya resign.

Perusahaan berjalan lebih tenteram. Berhari-hari kemudian, saya baru memahami kenapa Manchester City bisa berkembang selepas kepergian Adebayor yang tempramental itu. Bukan hanya kedatangan pemain-pemain bintang yang baru, melainkan juga kondisi ruang ganti baju yang jauh lebih kondusif.


Demikian. 


[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Mawar Si Penggemar Nasehat

Saya berteman dengan Mawar yang satu ini semenjak awal kuliah. Semenjak itu pula dia suka bercerita. Pada awalnya bukan masalah-masalah personal. Lama-lama sampai masalah remeh-temeh tumpah-ruah diceritakan. Kalau tidak di kantin dan di kelas selepas jam kuliah, berarti di sepanjang perjalanan berangkat atau pulang di dalam bus ketika kami sengaja ataupun tidak berbarengan. Atau via sms.

Lama-lama, dia mulai kecanduan, katakanlah, nasehat, kata-kata bijak. Dia mengirim pesan begini: Fan, kasih kata-kata bijak dong, lagi bete nih. Atau di saat yang lain: minta kata-kata bijak dong buat dijadiin status.

Saya jabanin. Saya usahakan sebaik mungkin. Tapi sepanjang berbulan-bulan itu, dia tak kunjung belajar dari kesalahannya. Bukan maksud saya men-judge dia, tapi dengarkanlah: sepanjang pengamatan saya, dia senang ditenangkan dengan kata-kata bijak itu, dengan nasehat itu, tapi tak pernah mau melakukan apa yang dinasehatkan dalam kata-kata bijak itu.

Selalu saja ada alasan. Susahlah, tidak mungkinlah, apapunlah. Dia selalu punya seribu satu alasan untuk menolak. Ini mirip seperti orang yang mau dengerin stasiun radio tertentu, tapi malas menyalakan radio, malas mencari frekuensi stasiun radio tersebut. Alih-alih hanya duduk meratapi ketidakbisaan dia mendengarkan siaran si Stasiun Radio tersebut, alih-alih hanya berdoa semoga tiba-tiba saja radio itu nyala dan muterin siaran di Stasiun Radio yang diimpikan.

Kan konyol!

Padahal, hidup kan aksi. Ada usaha yang harus kita perbuat. Ada ikhtiar untuk menyempurnakan doa dan tawakkal kita. Jika kita ingin mendengarkan I Radio misalnya, nyalakanlah radio dan pusatkan frekuensinya di 105,1 fm. Dan seterusnya, dan seterusnya. Tanpa usaha itu, siaran I Radio takkan terdengar.

Apa menggemari nasehat salah?

Tidak juga. Yang salah adalah ketika kita tak mau mengambil sikap untuk mengikuti yang dinasehatkan, untuk mencoba yang disarankan. Boleh jadi kita tahu 1001 nasehat agar bisa menjadi pengusaha sukses, tapi bisa saja kita kalah oleh orang yang tak pernah tahu satupun nasehat untuk sukses, tapi setiap hari dia gigih memperjuangkan mimpi-mimpinya.

Jadi, selamat melakukan AKSI. Selamat merangsang alam semesta untuk BEREAKSI.

Demikian. 


[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Batasan Itu Membebaskan

Salah satu pelajaran PPKN yang membekas dalam ingatan saya adalah: kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Atau dengan kata lain: kebebasan yang saling menghomati, yang saling bertanggung jawab.

Kebebasan yang memiliki batasan. Kehidupan yang memiliki peraturan.

Apakah batasan membatasi kita? Secara kasat mata, iya. Apakah itu mengganggu? Secara sepintas, iya. Apakah peraturan bikin kita tak bebas bergerak? Secara sekilas, tentu saja. Apakah itu bikin senewen? Tentu saja! Tapi jika ditelusuri lebih dalam, batasan dan/atau peraturan itu sebetulnya menentramkan hati, menenangkan jiwa.

Perhatikan:
1. Salah satu alasan nyaman berkendara di jalanan adalah karena ada batas-batas tertentu yang harus dipatuhi, yang tidak boleh dilampaui. Yang jika dilanggar akan berakibat kecelakaan. Seperti marka jalan agar dua arus kendaraan tak saling bertabrakan. Atau lampu merah, tanda P dicoret, tanda S, tanda penunjuk jalan, dll. Semuanya membatasi kita dalam berkendara agar kita SELAMAT agar kita sama-sama NYAMAN.

2. Pernikahan adalah aturan yang Tuhan tetapkan dalam rangka menentramkan kebutuhan kasih sayang kita dengan pasangan. Dengan pernikahan, Tuhan memberikan batasan-batasan tertentu kepada kita. Dengan tujuan agar kita memiliki kehidupan yang harmonis dan stabil. Bayangkan jika hidup kita tak ada aturan pernikahan: anak-anak yang lahir tak jelas siapa ayahnya, kita bisa saling menyakiti hati orang lain karena kita saling berebut pasangan. Belum lagi risiko AIDS. Dan lain-lain, dan lain-lain. Kita jadi tak tahu malu lagi seperti halnya binatang. Sebenarnya bisa saja kita merasa nyaman dengan itu. Tapi karena manusia dianugerahi akal, maka akal ini lama-lama akan mengkritisi juga, akan memperlihatkan ketidaknyamanannya itu. Pada akhirnya, kita merasa kosong, hampa, seperti segala kebahagiaan hilang begitu saja.
Demikian. 

[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Laksana Kuda Pacuan

Sebagai mahasiswa ekonomi, kuping saya sudah kebal, sudah fasih, sudah kebas mendengar kata: persaingan. Bahwa gara-gara kebutuhan manusia yang tidak terbatas sedangkan kemampuan dan sumber daya terbatas, maka lahirlah persaingan. Walaupun kemudian disempurnakan oleh salah seorang ekonom dengan: kerjasama. Bahwa keterbatasan sumber daya tak melulu membuat kita bersaing, alih-alih itu justru bekerjasama.

Salah satu tanda bahwa dalam hidup ada persaingan, baik yang sehat maupun yang enggak, adalah adanya motivasi berprestasi (need of achievement) dan motivasi berkuasa (need of power).

Jika boleh bermain analogi, hidup itu laksana kuda pacuan. Dia harus berpacu di lintasan untuk menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Untuk menjadi SANG JUARA. Karena kita adalah kuda pacuan itu, maka jika kita ingin menjadi SANG JUARA, aturannya jelas:

1. Yakin terhadap kemampuan diri. Ini berarti yakin dan teguh untuk mengerahkan kemampuan terbaik. Tidak menyerah sebelum berjuang habis-habisan. Tidak juga menyerah untuk akhirnya berbuat curang kepada kuda pacuan yang lain. Tidak juga menjadi minder dan merasa rendah diri dan merasa terintimadasi oleh kuda pacuan yang lain, yang misalnya, pernah menjadi juara atau dijagokan atau yang menurut banyak orang... lebih baik dari kita.

2. Berfokus pada diri sendiri. Jika ada dua kuda berlari di sebuah arena pacuan. Yang satu fokus pada usaha mengerahkan kemampuan terbaik, sedang yang satu lagi, sibuk memerhatikan posisi kuda lain—sambil takut kalau-kalau dia kesusul atau dia terlalu ketinggalan. Jika posisi kedua kuda itu awalnya sama, saya jamin, kuda yang berfokus pada usahanya sendiri dan tidak memusingkan posisi kuda lain, akan tiba lebih dulu di garis finish. Kenapa? Karena tenaganya terpusat pada usahanya untuk melaju secepat mungkin. Sedangkan kuda yang satu lagi, tenaganya terbuang percuma karena dia kehilangan FOKUS—bahkan kadang-kadang kehilangan KEPERCAYAAN DIRI juga.

3. Berlarilah dengan cara kita sendiri, jika itu bikin kita nyaman dan bisa berlari lebih cepat. Kadang-kadang saya menemukan, termasuk pada diri saya sendiri, ada godaan untuk ‘meniru’ cara lari orang lain hanya karena melihat mereka SUKSES dengan cara mereka itu. Padahal ketika dipikir lagi, ada perbedaan antara kami, dan cara lari itu belum tentu cocok bagi saya. Ibaratnya: atlet sepak bola dan atlet bulu tangkis yang sama-sama ingin SUKSES butuh cara lari yang beda, walaupun filosofinya sama. Kedua, merasa terbentur dengan kelaziman, dengan mainstream. Misalnya, cara kita nggak lazim, cara kita beda dengan kebanyakan. Padahal, banyak yang membuktikan bisa sukses dengan melakukan perubahan, perbedaan, ketaklaziman itu. Kalau bicara soal melawan mainstream, saya selalu ingat bagaimana Pak Tung Dasem Waringin nyawer uang dari helikopter demi promosi bukunya. Nyeleneh, gokil, sekaligus keren!

[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]

Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Kena Getahnya

Kena Getahnya

Kali ini curhat Mawar agak mellow. Begini: Mawar dengan Ujang terlibat dalam sebuah kepanitiaan. Nah, selama proses pemersiapan acara, si Ujang sering nggak ikut kumpul. Apalagi bantu-bantu. Padahal jabatan si Ujang lumayan penting. Tapi eh dasar, Pak Ketua Panitia malah lebih sering memarahi Mawar daripada Ujang. Memang Ujang juga sering kena damprat, tapi Mawar yang lebih ditekan. Nah bagaimana?

Begini ya Mbak Mawar. Ini menurut saya lho yah:
1. Kita tidak bisa memaksa orang untuk bersikap ‘benar’ dan ‘tepat’ karena setidaknya tiga hal: (1) setiap orang punya hak untuk bersikap, (2) kewajiban kita hanya saling mengingatkan, (3) karena tolok ukur benar dan tepat itu kadang-kadang jadi subjektif berdasarkan penilaian kita sendiri. Poin yang ketiga ini bisa digambarkan dalam contoh begini: menurut saya sih, seharusnya dia tidak pake kemeja, melainkan kaos oblong.

Nah, menurut si “saya” sikap si “dia” dalam mengenakan kameja adalah salah, padahal belum tentu demikian. Barangkali si “dia” punya pemahaman dan pertimbangan yang lain sehingga menurut dia ini sudah benar. Nah, dalam kasus si Ketua Panitia ini, ada dua kemungkinan: (1) dia kurang arif dalam memandang persoalan sehingga marah tidak pada tempatnya, tidak tepat sasaran, sehingga tidak efektif. Atau (2) karena dia punya pemahaman dan pertimbangan lain.

Misalnya: dengan memarahi Mawar dia berharap Mawar akan membantu dia ‘menyadarkan’ si Ujang, sehingga si Ujang akan merasa ‘bersalah’ pada Mawar dan akan memacunya untuk lebih rajin.

2. Karena itulah, sikap kita sebaiknya tidak berhenti pada tahap mengeluhkan. Tapi lebih dari itu, menjadikannya lahan untuk kita mematangkan, mendewasakan diri kita. Kena getahnya? Barangkali benar. Tapi tak apa.

Jadikanlah ajang belajar. Misalnya dengan: (1) menarik pelajaran bahwa kemarahan tidak tepat sasaran itu salah besar. Jadi kita harus pandai mengatur emosi dan memainkan tugas untuk memberi reward dan punishment. (2) Mendorong kita untuk belajar berani berpendapat. Pada dua hal, yaitu, satu, menyuarakan bahwa sikap ketua panitia itu salah—jika kita memang meyakini itu.

Dan utarakan pendapat kamu dengan sebaik mungkin, sehingga dapat diterima dengan jembar hati dan kendur saraf. Kedua, melatih diri dalam mengkomunikasikan ‘dampratan itu’ kepada Ujang agar dia, tidak hanya mau mendengarkan dengan hati, tapi juga bereaksi untuk memperbaiki kerusakan yang telah dia perbuat.

3. Saat paskibra, saya dan kawan-kawan sering dihukum saat latihan gara-gara mereka yang nggak ikut latihan. Akibatnya sering saya bertanya: kok kami yang rajin yang dihukum, yang nggak pada latihan malah enak-enakan.

Tapi kemudian terilhami dari penjelasan Ibu Rita—guru konseling sekaligus pembina kami waktu itu—saya berpikir bahwa alasan dibalik semua itu adalah agar korsa dan kebersamaan dan persatuan kami terjaga. Jika kami tidak dibegitukan, barangkali kami akan saling tak acuh, jadi egois, jadi mementingkan diri sendiri—yang penting saya benar, nggak peduli yang lain salah. Di paskibra, satu salah, semua kena hukuman.

Lebih jauh saya berpikir, dalam Islam bukankah gitu juga? Jika di satu tempat terdapat orang yang berbuat dosa, dan orang-orang di tempat itu tidak ‘mengingatkannya’ atau paling tidak ‘mengingkarinya dalam hati’, maka dia juga kecipratan dosa. Apakah Allah curang? Tidak. Justru Allah mendidik kita untuk saling peduli, saling memerhatikan, saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.

Demikian kira-kira. 
[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]

Kamis, 29 Maret 2012

Meluapkan Aspirasi

Jadi bagi kawan-kawan yang memilih berdemo sebagai jalan yang baik dan benar untuk menyampaikan aspirasi, maka berdemolah dengan tertib dan aman. Hormati pula hak-hak kaum yang tidak sependapat. Jamin keselamatan dan kenyamanan bagi masyarakat atau perusahaan yang tidak bersalah. Percayalah, walaupun niat dan tujuannya baik, kalau prosesnya buruk, akan buruk pula hasilnya.


Rekan-rekan mahasiswa jangan mau dipolitisir, jangan mau dijadikan pion catur yang menguntungkan oknum politikus atau partai tertentu. Jika ingin berjuang, berjuanglah atas dan untuk rakyat, yang karenanya tidak boleh merusak fasilitas umum apalagi menjarah dan mengganggu ketertiban.


Anda boleh dan berhak merasa benar, tapi marilah sama-sama menghormati kebenaran yng dipercayai oleh oranglain. Jika menurut Anda BBM naik itu melanggar konstitusi, belum tentu secaa de facto memang demikian. Kajian mengenai kenaikan BBM kan tidak semuanya negatif.


Dan yang lebih penting, bertindaklah atas sesuatu yang Anda ketahui duduk perkaranya, karena mengambil kesimpulan tanpa analisis hanya akan menghasilkan kesimpulan yang keliru. Jadi jika Anda merasa kalau kenaikan BBM itu salah karena teman bilang salah, Anda mungkin harus kembali meninjau ulang keyakinan Anda.


Sekali lagi jangan mudah terprovokasi, karena sekali Anda merusak nama baik Anda, maka masyarakat bisa tidak lagi 'mempercayai' Anda. Saya percaya kawan-kawan mahasiswa mampu berpikir objektif bersikap dewasa. Tapi itu masih tidak menutup kemungkinan tidak adanya kepentingan politis yang menumpang tenar--disadari ataupun tidak oleh mahasiswa.


Semoga Indonesia menjadi lebih baik.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Jumat, 02 Maret 2012

Melawan Nasib Buruk

Nasib buruk itu seperi ruangan yang gelap. Untuk bisa keluar dari sana, kita perlu lebih dari sekedar berdoa, kita perlu lebih dari sekedar meratap. Kita harus melangkahkan kaki kita harus mencari pintu keluar, harus menyalakan sebatang lilin--atau apapun.

Naib buruk itu seperti candu, ia menjebak ita dalam sikap mengasihani diri dan perasaan negatif, dan piiran negatif. Akibatnya kita selamanya terjeba di dalam nasib buruk karena segala yang negatif hanya menarik yang negatif.

Nyatanya, seperti halnya Mawar, banyak orang yang tidak/belum bisa keluar atau memperbaiki nasib 'buruk'nya, bukan karena Tuhan menginginkan demikian, melainkan karena dia terlanjur:

1. Menikmati rasa sakit dan galau dan sakit hati dan ketidakbahagiannya itu. Menjadi melodramatis, sentimental. Dalam bahasa gaulnya: belum move on.
2. Menerima nasib buruk itu sebagai bagian dari takdir yang seolah tak bisa diubah. Mereka lebih bisa menerima dengan sabar, ketimbang melawan untuk mengubah nasib menjad baik, menjadi penuh syukur. Seolah-olah mereka tidak berhak!

Saya sering menemui banyak orang miskin yang yakin sepenuhnya bahwa dia tidak bisa kaya. Saya sering menemukan orang yang yakin bahwa bahagia bukanlah haknya. Tapi di sisi lain, ia meratap, ia mengeluh, ia berdoa agar kaya, agar bahagia. Tapi Tuhan kok seperti tidak mau mendengar?

Kembali lagi ke dalam keyakinan. Apa yyang kita yakini, akan menjadi doa, akn menjadi penarik dari kenyataan yang kita dapatkan. Bukan menyoal situasi yang kita hadapi, melainkan cahaya harapan yang kita tumbuhkan dalam hati kita. Sehingga segelap apapun ruangan yang melingkupi kita, kita masih akan tetap bisa melihat.

Jangan biarkan nasib buruk menjadikan Anda seperti pecandu!

Rabu, 15 Februari 2012

Maramaramara! (Manajemen Kemarahan)

Marah adalah salah satu jenis emosi. Termasuk ke dalam golongan emosi negatif. Biasanya merupakan respon atas sesuatu yang tidak menyenangkan.

Marah juga merupakan sikap. Ketika kita memilih untuk bersikap marah sebagai reaksi atas sesuatu yang menimpa kita—biasanya yang mengesalkan. Terlepas dari bijak ataukah tidak, tepat ataukah tidak, marah tetaplah sebuah sikap.

Pola implementasi kemarahan bisa bermacam-macam: mulai dari yang saling diem-dieman, cakar-cakaran, unfollow di twitter, memutuskan pertemanan di facebook, saling sindir di status BBM, saling menghujat dan meneriakkan kata-kata kasar, mereject telepon, tak membalas sms, membanting hape, bahkan sampai berantem, tawuran, bunuh diri atau bahkan... perang.

Setiap orang pernah marah. Hanya saja, berbeda. Bukan semata dalam pola impelentasi seperti sudah saya jelaskan di atas, tapi juga soal ‘tingkat kecepatan’ dalam hal naik-darah atau naik-pitam. Berdasarkan tingkat kecepatan ini, menurut hemat saya, manusia dapat dikategorikan ke dalam 4 kuadran:

1. Lambat marah cepat turun: orang ini sabar banget. Dia nggak mudah kepancing emosi. Tapi sekalinya kepancing emosi, dia bisa cepat ‘turun’ lagi. Lambat marah, tapi cepet baikan lagi. Inilah kualitas paling tinggi. Sabar sekaligus Pemaaf.
2. Lambat marah lambat turun: orang ini sabar, sebetulnya. Dia santai dan tidak gampang terpancing emosi. Tapi sekalinya terpancing emosi, sembuhnya susah. Ngambeknya lama. Pendendam. Tipe jenis ini, kadang-kadang bahkan saat orang lain sudah minta maaf juga, masih saja sakit hati. Si sabar yang pendendam.
3. Cepat marah cepat turun: orang ini mudah sekali terpancing emosi. Jangankan dibacok, kena senggol dikit aja bisa langsung memutilasi. Oke, oke, oke, terlalu ekstrim memang. Tipe ini sering kita juluki: Pemarah tapi Pemaaf.
4. Cepat marah lambat turun: nah ini yang kacau. Dia cepat naik darah, tapi lama banget buat turun lagi. Sudah mah pemarah, pendendam lagi. Biasanya orang jenis ini bikin nggak nyaman dalam pergaulan. Kenapa? Karena dia tidak bisa bijak menyikapi perbedaan—yang kadang-kadang menimbulkan gesekan. Inilah dia si Pemarah Pendendam.

Selain itu, marah juga merupakan sebuah aksi. Yang mana, selain melahirkan reaksi, juga akan menghasilkan efek samping. Efek samping itu ada dua: eksternal dan internal. Yang bersifat eksternal seperti:
1. Merusak silaturahmi. Tidak sedikit yang dulunya sahabatan tiba-tiba jadi musuhan hanya karena satu momen di mana mereka marah-marahan dan masih belum bisa saling memaafkan.
2. Dijauhi. Tidak ada seorangpun yang nyaman dengan orang yang gampang marah. Risiko dari sifat ini adalah dijauhi, dikucilkan. Ingat, salah satu tujuan manusia menjalin persahabatan, pertemanan, adalah untuk saling mendamaikan, membahagiakan, mengisi kekosongan dalam hati masing-masing. Orang yang gampang marah (dan juga termasuk yang gampang tersinggung), seringkali mempermasalahkan hal-hal sepele sehingga merusak nilai-nilai kedamaian, kebahagiaan, dan ‘keutuhan’ yang coba dijalin.
Sedangkan efek-samping yang bersifat internal adalah efek samping yang biasa muncul dalam bentuk emosi dalam diri seseorang. Emosi ini hadir setelah marah. Biasanya sesaat setelah marah. Setidaknya ada tiga jenis.
1. Orang yang setelah marah, selalu merasa BENAR. Terlepas dari apakah dia memang benar ataukah tidak. Perasaan ini seperti hasrat untuk membuktikan, untuk membenarkan, kemarahan kita. Misalnya kita berkata begini: wajarkan saya marah? Toh dia yang salah! Nah, masih mending kalau secara objektif memang kita yang benar. Lha kalau udah mah kita salah, terus marah-marah, terus merasa (paling) benar lagi. Wuidih, ‘hebat’ banget kan yang begitu?
2. Orang yang setelah marah, merasa MALU. Pernah saya baca kalimat bijak begini, “Kemarahan selalu berakhir dengan rasa malu.” Ini karena setelah ada waktu-jeda setelah kita marah, kita merasa telah lepas-kontrol, sehingga merasa telah bersikap buruk. Kearifan hati dan pengetahuan, sikap mental dan lingkungan, turut berperan dalam hal ini. Berbahagialah, karena rasa malu sebagian dari iman.
3. Orang yang setelah marah, merasa BERSALAH. Tak peduli apakah dia salah ataukah tidak, kemarahan membuatnya merasa bersalah. Kenapa? Karena dia merasa bahwa kemarahannya, kelepas-kontrolannya telah/sedang menyakiti hati orang lain. Dan salah ataukah tidak orang tersebut, menyakiti hati mereka adalah sikap tak terpuji. Dan dia merasa bersalah untuk itu.

Demikian sementara postingan tentang “Marah”. Tiba-tiba kepikiran soal ini saat lagi ngobrol dan share bareng Falo. Hehehehe

[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Rabu, 01 Februari 2012

Pindah Frekuensi... Menuju Matang

Pindah Frekuensi... Menuju Matang

Kawan dekat saya sejak kecil, sahabat sekaligus saudara, panggil saja Ujang, cerita pada saya di salah satu pondokan di dekat rumah. Dia seorang santri di pesantren besar di Kediri. Pulang ke kampung selama libur ramadhan.

Dia bercerita: saya jauh dengan keluarga saya sekarang. Maksudnya, saya jadi nggak suka. Mungkin malah benci. Saya bisa merasa tenang belajar di pesantren. Tapi ketika pulang, setiap hari selalu saja saya berhadapan dengan kenyataan konflik yang sebenarnya nggak penting. Mamah ngobrolin kejelekan kakak ipar. Kakak ipar juga sebaliknya. Ditambah lagi keluarga saya itu suka berbohong, dan saya itu nggak suka. Makanya, untuk menenangkan diri, saya tidur di pondokan saja. Saya ke rumah cuma numpang makan.

Saya cerita: Ada beberapa faktor kenapa kamu kayak gitu, Jang, setidaknya menurut yang saya tahu sedikit-sedikit.
1. Kamu sedang berpindah frekuensi. Sekarang bayangkan radio. Untuk pindah dari satu frekuensi ke frekuensi lain, pasti ada dulu suara keresek. Nah, begitu. Dari dulu keluarga kamu, anggap saja, sudah seperti itu. Tapi kamu merasa tidak masalah karena kamu masih berada dalam frekuensi mereka. Ketika kamu mesantren, kamu belajar banyak, kamu bertumbuh. Hal yang menuntut perpindahan frekuensi secara alamiah. Dan untuk mencapai frekuensi baru yang menentramkan itu, kamu harus melewati ‘jarak’ yang bersuara ‘keresek’ itu.
2. Kamu juga sedang dalam proses adaptasi dengan frekuensi baru itu. Ibarat frekuensinya udah dapet, tapi belum tepat. Nah, itulah proses adaptasi. Kamu menyesuaikan diri. Dan yang namanya menyesuaikan itu tak selalu mudah. Apalagi dalam konteks hidup. Pasti melibatkan tarik-ulur perasaan.
3. Keluarga kamu terjebak sepenuhnya oleh cara bersikap khas sinetron yang memandang segala sesuatu serba hitam putih. Membikin saling curiga dan buruk sangka. Karena mereka tidak punya kegiatan lain selain urusan rumah tangga, maka apa yang mereka tonton itu tidak tersaring dengan baik. Akibatnya, secara tidak sadar menjadi ‘penuntun’ sikap dalam kehidupan sehari-hari. Tapi kamu, setelah mesantren, telah belajar banyak, membaca banyak buku, otomatis telah memiliki filter dan pengetahuan yang cukup. Sehingga, ketika melihat semua itu, kamu merasa jengah karena sebetulnya itu salah. Contoh: orang yang tahu kalau kantong keresek bisa merusak kelestarian dan kehijauan lingkungan, akan merasa jengah dengan orang-orang yang seenaknya menggunakan kantong keresek. Tapi yang tidak tahu atau tidak peduli mah fine-fine aja.
Dia jawab: saya hanya takut saya berdosa karena memiliki perasaan semacam ini. Kebencian ini. Padahal saya tidak menginginkanya.

Saya jawab lagi: Allah kan Maha Tahu, Allah Maha Mengerti. Yang perlu kamu lakukan sekarang, menurut saya sih, cuma, (1) memohon pertolongan Allah agar tidak terjebak dalam kebencian yang bersifat personal, jadi bencilah sama sikapnya, jangan sama orangnya, (2) agar bisa bersikap lebih arif, karena bagaimanapun kamu beruntung dapat pengetahuan yang lebih sehingga dapat melihat kesalahan ini, (3) dibawa rileks sajalah. Kalau tegang dan terlalu diporsir nanti malah semakin membikin kesal dan marah. Oke?

Senin, 23 Januari 2012

Balada si Buruk Rupa


Balada si Buruk Rupa

Dua bulan yang lalu, dua pembantu di rumah kakak saya resign. Setelah mencari ke sana-kemari, akhirnya kakak saya mendapatkan kembali dua orang pembantu. Satu, sekitar 20 tahunan. Yang satu lagi, sekitar 40 tahunan. Dua-duanya perempuan. Bukan tentang yang 20 tahunan kita akan sharing, tapi soal yang berumur 40 tahunan ini.

Sejak pertama kali datang, yang dia sampaikan pada kakak saya adalah curhatan bahwa wajahnya “rusak” sebagai ekses dari uji coba seenak udel pada produk-produk kecantikan. Atau bahasa sederhananya: korban iklan. Pada saat mendengar itu, saya menduga bahwa Mawar kita yang satu ini mengalami devaluasi diri, penurunan nilai diri, kepercayaan diri, karena merasa tidak cantik, sehingga orang-orang, menurut dia, pasti tidak akan suka pada dia.

Benar saja. Selain selalu berusaha mengesankan diri—yang merupakan ciri dari orang yang tidak percaya diri—di hadapan kami, ia juga selalu menunduk menyembunyikan wajah. Kadang-kadang sampai menggunakan kerudung untuk menutupi pipinya. Padahal, kami tidak mempermasalahkan soal jerawat, komeda, dan kawan-kawannya itu, karena toh kecantikan bukan semata menyoal itu.

Tapi di sinilah letak hukum alam, sunnatullah, gaya tarik menarik. Law of attraction-nya Rhonda Byrne. Perhatikan:

1. Dia MERASA jelek, merasa buruk rupa. “JELEK” dan “MERASA JELEK” itu berbeda. Orang yang “JELEK” jika merasa yakin pada dirinya sendiri, merasa percaya pada dirinya sendiri, mensyukuri apa yang dimiliki, pasti akan terlihat “CAKEP”, “TAMPAN”, “CANTIK”. Tapi jika “MERASA JELEK”, walaupun “CAKEP-CANTIK-TAMPAN” kalau tetap merasa “JELEK” ya kelihatan “JELEK”. Nah, yang gawat adalah kalau sudah mah “JELEK” “MERASA JELEK” lagi.
2. Kemerasa jelekan ini membuat dia TAKUT kalau-kalau orang lain akan mencibirnya, menjauhinya, menertawakannya. Ke-TAKUT-an ini membuat dia CURIGA orang lain memang mencibir, menjauhi, menertawakannya. Lama-lama ke-CURIGA-an ini membikin dia meyakinkan diri bahwa sikap orang lain itu memang dalam rangka mencibir, menjauhi, menertawakannya.
3. Akibatnya, dia MERASA semakin RENDAH DIRI. Semakin “MERASA JELEK”. Jika sudah akut begini, apapun yang diyakinkan oleh orang lain, dia biasanya sulit menerima, dan kadang merasa orang lain MENGASIHANInya. Jika tidak bikin dia SAKIT HATI bisa juga membikin MARAH.
4. Di sisi lain, KETAKUTANNYA bahwa orang lain mencibirnya, menjauhinya, menertawakannya, secara alamiah (law of attraction) akan semakin ‘membuat’ orang lain memang terdorong untuk mencibirnya, menjauhinya, dan menertawakannya.
Pada hari ketika dia memutuskan berhenti bekerja, dia menangis sejak pagi. Dari alasan yang dia ceritakan dan yang selama ini kami alami, jelaslah bagi saya bahwa dia terjebak dalam devaluasi diri yang dia alami.

Memang bukan salah dia sepenuhnya. Pertama, seperti halnya banyak perempuan lain, dia terjebak dalam kampanye cantik versi iklan produk kecantikan. Kedua, karena tidak mendapat bekal pendidikan yang cukup, ia kekurangan filter untuk mengolah informasi dalam iklan sehingga malah berbalik menjadi penyebab kerendahdirian. Ketiga, faktor kedewasaan dan penerimaan diri yang kurang. Kira-kira begitu. Terima kasih. Salam.

Irfan L. Sar
@IrfanLSar

(Kawan-kawan yang mau curhat atau share soal apapun sila kirim email ke kcurhat@rocketmail.com atau nge-wall ke Fans Page Facebook "Kotak Curhat". Rahasia terjamin)