Rabu, 06 Juli 2011

Pada Usia Seperti Saya, Wajar Tidak Kalau Saya Merasa Tidak Diperhatikan Keluarga?

Keluarga adalah pilar penting kehidupan. Tumbuh kembang seorang anak, sangat bergantung pada sikap keluarga dalam mendidiknya. Secara umum, keluarga yang hangat dan penuh kasihlah yang pada akhirnya membantu si anak mendapatkan ‘kestabilan’ mental dalam pergaulan. Anak-anak yang sering dibentak akan mengalami tekanan batin, sehingga kadang terkucil dari pergaulan. Anak-anak yang tidak pernah diberi perhatian, cenderung mencari perhatian di luar. Dari prolog singkat itu, kita sampai pada pertanyaan kawan saya, Mawar, berusia 22-23 tahun. Begini, “Saya pikir keluarga tidak akan menyakiti. Tapi ternyata sama saja. Saya memutuskan untuk kabur!”

“Saya tidak akan melarang kamu untuk kabur, karena itu sepenuhnya hak kamu. Hanya saja, seberapa buruk pun kondisi di rumah, di luar juga belum tentu aman. Saya cuma berharap, langkah apapun yang mau kamu ambil, sudah kamu hitungkan masak-masak risikonya. Bagaimanapun, kan nantinya kamu juga yang ngejalanin hidup kamu, bukan?”

Keesokan harinya, Mawar curhat lagi. Dia tidak jadi kabur, seperti yang saya duga. Dan kemudian bilang: saya tidak jadi kabur, tapi di rumah juga semakin tidak nyaman. Ibu sama ade pada pergi maen, pulang-pulang udah pada kenyang, tapi saya nggak pernah diajakin. Curhat sama pacar saya, dia bilang saya pundungan, kayak anak kecil. Apa benar begitu?”

“Tidak, kan pada dasarnya setiap orang, usia berapapun memiliki kebutuhan untuk ‘disadari’ bahkan ‘dihargai’ keberadaannya. Apalagi oleh keluarga. Karena itu, wajar kalau kamu ngerasa tidak diperhatikan, kalau kamu ngerasa dikucilkan. Yang menjadikan itu sikap yang kekanak-kanakkan adalah ketika, karena perasaan keterkucilan semacam itu, kita jadi mogok makan, nggak mau ngomong, dll. Padahal, kejadian semacam itu bisa kita jadikan pelajaran untuk lebih dewasa. (Bukankah kita semua belajar dari ‘rasa sakit’?)

Coba perhatikan ini: sebetulnya kita tidak memiliki apapun di dunia ini. Bahkan ‘diri’ kita pun milik Tuhan. Jadi apalagi keluarga kita? Mereka juga hanyalah orang-orang ‘asing’. Yang lewat takdir Tuhan memiliki kekerabatan sangat dekat dengan kita. Pada akhirnya, kita hanya harus menyadari bahwa kita tidak boleh terlalu menuntut dan mengharapkan lebih kepada siapapun, termasuk kepada keluarga kita sendiri. Karena bagaimanapun, bahagia tidak boleh digantungkan pada sikap atau tindakan orang lain. Misal, kita hanya akan merasa bahagia kalau keluarga kita memerhatikan kita. Jangan!

Kita harus lebih bisa belajar mensyukuri apa yang ada ketimbang memaksa orang lain untuk melakukan apapun yang kita minta (tanpa rasionalitas). Pada akhirnya, kita harus belajar untuk lebih dewasa. Orang lain boleh menyakiti kita, tapi usahakan kita lebih banyak memberikan kebahagiaan kendati kemuramdurjaan. Orang boleh tak jujur dan adil, tapi menjadi orang yang baik—secara moral—selalu menjadi pilar utama kebahagiaan.

Itu!

Salam 

Doa Saya Hanya Ingin Bahagia, Tapi Allah Malah Memberi Saya Lebih Banyak Air Mata

Tuhan berjanji bahwa jika kita berdoa, Dia pasti mengkabulkan. Tapi doa yang bagaimana? Mari kita lihat:

Pertama-tama, mari kita sadari bahwa ketika kita berdoa ingin bahagia, sebetulnya hati kita lebih takut untuk sedih, lebih takut untuk terluka. Akibatnya, yang ‘bergerak’ dengan kekuatan yang lebih hebat bukanlah doa yang kita ucapkan dan pikirkan, melainkan ‘ketakutan’ dalam hati yang kita rasakan. Itulah kenapa ketika kita berdoa ingin juara 1, kita malah kalah sejak babak awal.

Karena itu, berdoa harus diiringi perasaan tulus ikhlas, tawakkal, mangga teh teuing. Kecemasan dan ketegangan, bahwa doa kita jangan-jangan tidak akan dikabulkan, hanya akan membuat kecemasan dan ketegangan itu menjadi kenyataan. Karena itu, kakak saya dulu berkata, “Berdoa itu seperti ini saja, Fan: Ya Allah, aku sudah belajar dan menghafal dengan serius. Kini aku serahkan pada-Mu. Aku berharap bisa mendapat rengking 1, tapi Kau lebih Tahu apa yang Baik untukku. Tapi semoga ya Allah, apa yang baik menurutku, juga baik menurut-Mu. Amiin.”

Emha Ainun Najib, cendekiawan Muslim asal Jogja itu menawarkan sebuah persepsi baru. Doa, yang dalam pemahaman sederhana berarti meminta, memohon, dia tawarkan sebagai sebuah bentuk penyapaan. Memang, salah satu padanan kata dari doa—dawa’a—berarti menyapa. Jadi, ketika kita berdoa, ujarnya, anggaplah kita sedang menyapa Tuhan, dengan demikian Tuhan pun akan balas menyapa kita. Bukankah menyapa berarti ‘memberi sapaan’ sedangkan Allah berjanji bahwa yang memberi ‘satu’ akan dibalas ‘sepuluh kali lipat’?

Senada dengan persepsi ini, Erbe Sentanu berkata bahwa ketika kita berdoa, kondisikanlah hati kita seolah segalanya sudah terjadi. Jika kita ingin bisa masuk UNPAD, kondisikanlah hati kita seolah kita sudah berada di sana, seolah apa yang kita ‘minta’ sudah dikabulkan. Dengan perasaan semacam itu, kita akan menjadi lebih tenang dan yakin (bahwa segalanya akan terwujud) sehingga peluang keterwujudannya pun semakin besar.

Ini sejalan dengan hadist Nabi, bahwa doa-doa akan didengarkan, kecuali doa dari hati yang lalai. Hati yang lalai adalah hati yang tidak khusyu ketika berdoa, atau hati yang justru ‘meminta’ kebalikan dari apa yang kita ucapkan. Contohnya seperti tadi, mulut berkata ingin kaya, tapi hati sangat takut jatuh miskin. Maka, tak heran jika yang kedua yang terjadi.

Atau jika tidak, ketidakdikobulan doa, bisa jadi karena: kita tidak memahami cara berdoa yang baik (misalkan tidak diawali dengan bismillah dan hamdallah dan syahadatain dan shalawat) atau karena terhalang dosa-dosa kita (dan dengan demikianlah Allah menyayangi hamba-hamba-Nya). Memang kadang kita bertanya, “Si Anu melakukan dosa lebih besar daripada saya, tapi kenapa doanya dikabulkan?” Sekarang, anggap jika Si Anu memang melakukan dosa lebih besar daripada kita, walau belum tentu benar. Tapi anggap saja seperti itu, tapi kenapa doanya dikabulkan? Usahanya sukses? Karena Tuhan kadang membiarkan orang-orang yang (akibat ketidakmauannya bertobat) telah disesatkan-Nya untuk lebih sesat lewat kesuksesannya itu. Hal ini yang dinamakan istidraj.

Namun begitu, terkadang pengkabulan Allah terhadap doa-doa kita memang unik. Seperti halnya Mawar kita yang satu ini, yang ingin bahagia. Bukankah seseorang bisa (memaknai) arti bahagia setelah merasakan ‘kedukaan’? Bukankah jika seseorang ingin menjadi tentara yang hebat, dia harus dilatih dalam medan dan latihan yang menguras tenaga secara fisik dan mental? Bukankah untuk menjadi pandai kita harus melewati serangkaian proses belajar yang tidak mengenakkan dan ujian-ujian? Bisa jadi air mata, kekesalan dan kedukaan yang menimpa kita, selepas doa kita hanya untuk bahagia, adalah cara Tuhan membuka mata hati kita, sehingga kita bisa lebih mensyukuri dan merasakan kehadiran-Nya dalam hati kita. Kebahagiaan bukankah sesuatu yang terjadi atau menimpa kita. Kebahagiaan adalah bagaimana kita menyikapi segala sesuatu dengan penuh rasa syukur dan ikhlas.

Apa yang kita pikir ‘nasib buruk’ hari ini, bisa jadi adalah pintu yang disediakan Tuhan untuk ‘nasib baik’ esok hari. Tetaplah berprasangka baik pada Tuhan, karena rahmat-Nya melampaui segala sesuatu.

Depresi Terselubung dan Terapinya

Mawar yang satu ini adalah sahabat saya. Memang sudah sejak beberapa waktu yang lalu dia mengeluhkan kesemakinhilangan antusiasme dan minatnya, kemudahan dia merasa marah dan iri kepada teman-temannya yang lebih dulu bekerja, merasa gagal, dan merasa selalu kalah. Pada akhirnya, dia merasa tidak nyaman karena dia mulai sering merasa suudzan. Perasaan ini kemudian melahirkan semacam ketertekanan baru: merasa dikhianati. Seorang temannya yang bekerja di sebuah bank tempat lamaran Mawar kita ini ditolak, ‘secara misterius’ tak pernah lagi membalas sms dan menjawab telepon si Mawar. Kemudian, seorang temannya yang lain, yang justru memasukkan orang lain alih-alih Mawar ke tempat dia bekerja.

“Menurutmu, aku harus gimana?”

“Mengetahui apa yang terjadi pada kita sudah separuh langkah dari solusi. Jadi, yang perlu kita lakukan adalah mengetahui apa sebetulnya yang menimpamu,” ujar saya. Berdasarkan hasil anamnesis di atas, Mawar kita kemungkinan terserang depresi terselubung. Dari beberapa tekanan batin yang dia rasakan, beberapa diantaranya sangat khas dengan depresi terselubung.

Apa saja memangnya ciri-ciri orang yang terserang depresi terselubung? Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen (2005: 216), ciri-ciri orang yang terserang depresi terselubung adalah: kehilangan antusiasme, penurunan aktivitas fisik dan mental secara perlahan namun pasti, merasa kecil hati dan patah hati, kerja terasa menguras tenaga padahal tidak seberapa, kehilangan minat, alienasi, dan merasa bahwa kegagalan yang dia alami adalah kesalahan di masa lalunya.

Pada kondisi-kondisi tertentu, gejala ini bisa membuat kita mengalami self devaluation. Atau dalam istilah sederhananya: rendah diri. Dan pada pertemuan saya beberapa hari semenjak curhat pertamanya, gejala kerendahdirian itu dapat saya lihat dari sorot matanya. Serius!

Kenapa Mawar kita ini sampai terserang depresi terselubung?

Perhatikan: skripsinya adalah skripsi yang mendapat pujian paling banyak dari dosen paling killer di kampus, bahkan sidangnya hanya berkisar 10 menit saja! Namun kemudian, yang lebih cepat dapat pekerjaan justru yang skripsinya dapat ngorder atau hasil contekan. Mula-mula memang tak terlampau dia pedulikan, tapi lama-lama dia mulai merasa tertekan. Apalagi, beberapa lamaran yang dia layangkan ke bank-bank ditolak.

Tekanan ini mencapai puncaknya ketika kawannya—yang selama ini sama-sama berjuang mencari pekerjaan dengannya—justru mendapat pekerjaan. Ini membuatnya merasa kalah, gagal, sehingga pada akhirnya menghancurkan mentalnya. Apalagi, seperti diungkapkan David J. Lieberman, Ph.D dalam bukunya “Agar Siapa Saja Mau Melakukan Apa Saja Untuk Anda”, bahwa orang menganggur lebih berkemungkinan terserang gejala neurotis. Hal ini disebabkan pikirannya tak terfokus pada pekerjaan atau masalah, sehingga ‘menyerang’ ke dalam dirinya sendiri. (Sebagai catatan: Mawar kita yang satu ini sebetulnya memiliki warung, tapi merasa menganggur karena penghasilannya yang ‘belum seaman’ penghasilan karyawan bank).

Lalu, apa yang mestinya dilakukan?

Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen (dan beberapa penambahan alakadarnya dari saya) yang perlu dilakukan adalah:
1. Joging atau berjalan kaki pada pagi hari. Untuk merilekskan pikiran dan badan. Diperkuat oleh David J. Lieberman, Ph.D bahwa kondisi fisiologis (fisik) yang lentur dan tidak kaku/tegang, bisa ‘melenturkan’ kondisi hati/emosi yang sedang negatif. Jadi, jalan-jalan santai bisa membuat kita lebih segar, baik secara fisik maupun mental.
2. Apalagi kalau jalan-jalan santai itu dilakukan di tempat-tempat yang memiliki lanskap alam yang indah. Menghirup udara pagi yang segar, mendengarkan riak air sungai yang jernih, seperti diungkapkan dalam salah satu postingan Erbe Sentanu (Penulis “Quantum Ikhlas”), bisa membantu kita masuk ke kondisi ikhlas.
3. Mencoba melakukan hobi/sesuatu yang disenangi, agar pikiran kita punya fokus dan sesuatu yang harus dia ‘pikirkan’. Sehingga dia tidak menyerang ke ‘dalam diri kita’. Jika kita tahu harus mengejar sebuah bus, tentu kita tidak akan berkeluh kesah kepanasan seperti orang yang hanya berdiri diam di tengah lapangan, bukan?
4. Sujud syukur. Terapi terakhir ini yang—salah satunya—membantu saya melewati masa-masa sulit saya selama beberapa tahun. Sujud syukur setidaknya melatih kita untuk lebih fasih melihat hal-hal baik ketimbang hal-hal buruk, sehingga apapun yang terjadi, kita bisa tetap merasa penuh berkah dan berkelimpahan.
5. Menulis. Menulis adalah terapi yang baik. Menuliskan apa yang membuat kita merasa tertekan, bisa membantu meredakan ketegangan psikis dari masalah tersebut. Kadang malah bisa membantu kita melihat jalan keluar.
6. Namun demikian, kadang self devaluation, yang terlanjur hadir akibat depresi terselubung itu bisa membuat kita terus ‘terpenjara’ dalam ‘perasaan kegagalan’ kita, sehingga pada akhirnya, secara alamiah membuat kita terus-menerus gagal. Untuk itu, kamu harus membangun kembali mental juara kamu! Mental penaklukkan. Taklukkanlah hal-hal kecil kemudian belajarlah untuk yakin bahwa, jika hal itu bisa ditaklukkan, tentu hal yang lebih besar bisa. Kenapa tidak, bukan?

Salam 