Kamis, 22 Desember 2011

Sandaran Kebahagiaan

Mawar bilang, “Kebahagiaan ditentukan oleh orang dan waktu yang tepat.” Tapi saya ingin bilang bahwa itu tidaklah terlalu tepat.

Pada tahun 2010-an, ketika kefanatikan saya terhadap Manchester United masih ‘labil dan naif’—tipikal hubungan anak-anak remaja—saya menyandarkan kebahagiaan saya pada Si Iblis Merah tersebut. Jadi, penghiburan saya waktu itu, dari stres di tempat kerja dan mood kurang baik saat menulis, ya, kemenangan dan permainan atraktif Vidic dkk. Tapi, kan yang namanya permainan, ada menang dan ada kalah. Dan MU, kendati sebuah klub besar, tetap saja toh kadang-kadang kalah. Dan menjadikan MU sandaran kebahagiaan itu bikin saya bahagia pas mereka menang, tapi bikin galau sakau saat mereka kalah. Belum lagi ejekan dari orang-orang di sekitar. Wah, ibarat sudah jatuh tertimpa Agnes Monica. #eh

Nah, pada saat itulah saya mengambil sebuah pelajaran. Bahwa kebahagiaan tidak boleh disandarkan pada sesuatu yang sifatnya fana, yang sifatnya bergerak. Karena, jika kebahagiaan disandarkan pada yang fana, maka kita akan kehilangan kebahagiaan itu ketika sandaran itu hilang. Entah misalkan, jika dia manusia, meninggal atau pergi nggak pulang-pulang seperti Bang Toyib. Atau pada sesuatu yang sifatnya bergerak seperti MU tadi. Dia kadang naik, dia kadang turun. Ini bikin kebahagiaan kita diturun-naikkan oleh hal tersebut. Oleh si “moodbuster” itu.

Masalahnya adalah, ini bisa berefek pada kegiatan kita sehari-hari. Kan nggak lucu dong, mau fokus ngerjain sesuatu, eh tiba-tiba moodnya ilang karena (1) pacar nggak ngesms, (2) klub kesayangan kalah, (3) belum bayar utang, (4) dikejar-kejar hansip #loh? Nah,terus bagaimana?

Simpel saja. Bagi saya, sandaran kebahagiaan itu cukuplah Allah dan Rasul-Nya. Ajeg dan tidak fana. Kendati Rasulullah sudah meninggal, kesempurnaannya tak lekang dimakan masa. Tuhan Selalu Ada. Lebih dekat dari urat nadi kita, dari detak jantung kita. Maka, sandaran mana lagi yang lebih baik? Tidak ada.

Saya mencoba menaruh rasa cinta saya pada MU, pada tempatnya yang pas. Agak sulit pada awalnya, tapi akhirnya saya bisa (setidaknya) untuk tetap berbahagia ketika MU menang sekaligus tidak larut dalam kesedihan saat MU kalah. Karena saya mencintai, tapi tidak menjadikan MU sebagai sumber kebahagiaan saya. Kabar baiknya, ini membantu saya untuk tidak bersikap rasis terhadap basis fan fanatik klub lain.

Menyandarkan kebahagiaan kepada Allah akan membantu kamu untuk zuhud, mudah bersyukur, sabar, dan ikhlas. Kualitas apa lagi yang dibutuhkan selain semua itu untuk bahagia? Zuhud mengajari kita untuk tidak merasa memiliki agar tidak merasa kehilangan (catat! Merasa memiliki berbeda dengan memiliki). Bersyukur membantu kita melihat sisi positif dari segala sesuatu. Sabar, membantu kita bertahan pada titik nadir. Ikhlas, membantu kita menerima dengan lapang dada. Berbahagialah, engkau, berbahagialah!

Dalam Luka (2)


Semua luka bisa sembuh, karena sifat semua luka memang tidak ada yang abadi. Jika bukan kesembuhan, maka kematian akan membebaskan luka itu. Jika bukan karena obat, tentu karena ketawakkalan dan kesabaran, sikap penerimaan yang dilandasi rasa syukur dan iman.

Tapi tidak semua luka bisa hilang, karena banyak luka yang selalu meninggalkan jejak, meninggalkan bekas. Seperti bekas-bekas borok. Seperti Billy si Pengidar Schizopernia yang bekasnya luka berasal dari penyiksaan ayah tirinya. Perhatikan: lukanya itu adalah luka anak kecil yang disiksa. Bekas lukanya adalah: perpecahan kepribadian yang membuatnya harus bergantung pada pengobatan-pengobatan medis di rumah sakit jiwa.

Tapi tidak selalu berarti buruk. Bekas luka juga bisa bermakna positif. Seseorang bilang, “Apa yang tidak membunuhmu, akan membuatmu lebih kuat.” Pun demikian juga dengan luka, dan bekas yang ditinggalkannya. Hari engkau terluka karena dikhianati, jika kau tabah dan menerima, rasa sakit yang membekas itu akan membuatmu lebih kuat. Engkau dicampakkan, hari ini, dan menangis meratap-ratap, tapi jika engkau kuat dan memperlakukan luka itu dengan sebuah sikap penerimaan penuh syukur, engkau akan lebih tegar.

Jika engkau hari ini gagal dan dicemooh, kemudian engkau bertahan, percayalah suatu saat kau takkan mudah roboh. Sekalipun badai besar menerjang. Jika engkau hari ini dihantamkan ke tanah, kemudian berbalik menerjang ke angkasa, percayalah kau akan mampu meloncat lebih tinggi.

Luka adalah impuls. Respon kita yang akan menentukan. Ketika kita merespon dengan positif, maka ia akan seumpama imunitas, ia akan seumpama racun dalam obat: bukan membunuhmu, melainkan mengobati kelemahanmu, menguatkan daya tahanmu. Tapi jika engkau merespon negatif, maka ia akan berbalik mencari racun dalam makanan: bukan mengenyangkanmu, malah membuatmu jatuh terkapar.

Berbahagialah yang pernah terluka kemudian bertahan, karena dia sedang dikuatkan!

Dalam Luka (1)

“Semua luka bisa sembuh, tapi tidak semua luka bisa hilang,” tulis Fahd Djibran suatu kali dalam akun facebooknya.

Benar. Mawar yang ini adalah teman seangkatan sewaktu SMA. Bersahabat karib dengan 4 perempuan lain yang juga sahabat saya. Baru saja putus dengan pacarnya padahal hanya hitungan hari ke pertunangan. Apalagi, 3 sahabatnya sudah menikah. Dua sudah hamil. Otomatis, dia merasa tertekan. Bukan hanya karena merasa dicampakkan, tapi juga karena merasa iri—secara tidak sadar—pada teman-temannya yang kisah cintanya happy ending.

Chatting via Blackberry massanger. Pada saya menanyakan menyoal istikharah. Saya jelaskan bahwa ada beberapa metode istikharah, mulai dari yang afdhal, yang menggunakan media yaasin, sampai yang tidak melalui mimpi tapi kurang afdhal. Namun demikian, saya menyarankan begini: shalat hajat saja.

Pada shalat hajat itu, kita minta ditunjukkan sama Allah, bukan hanya mengenai “siapa” tapi juga mengenai jalannya. Jika dia memang yang terbaik, semoga dilapangkan dan diberkahkan jalannya. Jika memang bukan, semoga hati kamu dilapangkan dan diikhlaskan sehingga bisa menerima dengan “mudah”. InsyaAllah, nantinya Allah akan membikin mudah. Mengingatkan kamu untuk syukur ketika bahagia, tapi juga merekatkan dan memeluk hati kamu ketika kamu merasa terluka.

Walaupun jodoh memang di tangan Allah, tapi pilihan hati kita ikut dipertimbangkan kok. Makanya, ajukanlah pilihan hati itu melalui shalat hajat. Jika memang bukan yang terbaik dan bisa dibaikkan agar bisa saling membaikkan kehidupan, maka baikkanlah. Tapi jika memang bukan yang terbaik dan tidak akan bisa saling membaikkan melalui Pengetahuan Allah yang Maha Luas, maka perkenankan dan tentramkan hati untuk menerima. Dan jika memang pilihan kita sesuai dengan apa yang terbaik menurut Allah, semoga pernikhannya membawa keberkahan bagi semesta alam. Sebab dua hati baik yang terikat melantunkan doa dan ucap syukur. Membawa aura positif.

Dan bagaimana soal calon? Bagaimana kalau saya “trauma”? Ingatlah, Rasul berkata, “Firasat (intuisi/kata hati) seorang muslim itu cahaya dari Allah.” Kata hati itu bisa jadi petunjuk dari Allah. Masalahnya adalah, seberapa bersih dan jernih hati kita untuk bisa membahasakan petunjuk Allah yang kadang hanya berupa simbol-simbol. Ibarat air jernih yang dimasukkan ke dalam gelas. Sejernih apapun air itu, jika gelasnya kotor, tetap akan membikin si petunjuk kotor. Singkat kata, jernihkanlah hatimu biar dia sanggup membahasakan petunjuk Tuhan ke dalam bahasa yang sesuai kehendak Tuhan.

Bagaimana caranya? “Hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang.” Bersihkanlah hatimu dengan perbanyak mengingat (berzikir) kepada Allah. Bukan semata bibirmu. Bukan hanya hitung-hitungan 33 dan 100 tasbih. Jika sudah begitu, hatimu akan disyukurkan ketika bahagia, dipelukrekatkan ketika terluka. Percayalah.

Strategi (untuk Membagi) Fokus


Mawar : Saya sedang menulis sebuah buku. Tapi pada saat yang bersamaan, saya juga sedang ikut dalam proyek buku bersama teman-teman saya. Bagaimana saya harus menjaga kefokusannya?

Jawab :
Saya menulis Apologia Latte (draft akhir) ketika saya menyusun skripsi. Dan bagi saya ini merupakan sebuah kemenangan besar, karena Apologia Latte selesai tepat waktu (dan pada akhirnya bisa menjadi karya fiksi terbaik ke-3 pada Nugra Jasadarma Pustaloka Perpusnas 2011) dan sidang kelulusan saya pun bernilai A+.

Banyak penulis yang gagal pada kuliahnya, seperti pula dialami banyak aktivis kampus, karena mereka tidak bisa fokus pada lebih dari satu bidang sekaligus. Padahal letak solusinya adalah pada (1) manajemen waktu. (2) Pengaturan tingkat prioritas. (3) Disiplin. (4) Total.

Manajemen Waktu: kita memiliki 24 jam sehari 7 hari seminggu dan 356 hari selama sebulan. Semuanya sama rata. Tapi kenapa pencapaian masing-masing orang berbeda, kuncinya adalah dalam bagaimana dia mengatur waktunya. Sekarang, aturlah jamnya. Aturlah kegiatan perjamnya. Satu menulis Apologia Latte dari rabu sampai minggu. Dan skripsi dari senin sampai selasa malam. Kenapa begitu? Karena skripsi akan diperiksa pada hari rabu. Ini membantu saya fokus. Dari rabu sampai minggu saya larut dalam novel dan melupakan skripsi. Dari senin sampai selasa malam saya larut dalam skripsi dan melupakan novel. Itu saja.

Pengaturan tingkat prioritas: menjelang waktu sidang, saya menyetop menulis novel dan fokus pada skripsi karena pada saat itu skripsi telah menjadi “penting dan mendesak”. Alhasil, seminggu sebelum sidang saya sudah “tenang” karena skripsi sudah selesai dan terkuasai, sehingga bisa refreshing menyelesaikan novel. Apologia Latte selesai dua hari sebelum sidang. Dua hari itu saya manfaatkan mempelajari kembali skripsi dan alhamdulillah hasilnya lebih dari ekspektasi.

Disiplin: Mengelola waktu saja + pengaturan prioritas saja tidak cukup. Anda harus disiplin. Harus setia pada pengaturan waktu + prioritas yang telah Anda terapkan. Jangan sampai malas + menunda-nunda menyebabkan keberhasilan Anda ikut tertunda.

Total : Jika Anda ingin terlibat dalam sesuatu, libatkanlah diri Anda secara penuh. Sikap setengah-setengah hanya akan membuat Anda ke titik tengah. Sesuatu yang biasa-biasa saja. Kalau memang ingin mengerjakan dua proyek menulis sekaligus, pastikan kamu total pada keduanya. Setia mengatur waktu, prioritas, dan disiplin terhadapnya.

Namun demikian, karena menulis merupakan kegiatan kreatif di mana seluruh gagasan dan diri kita diharapkan melebur ke dalamnya, untuk menghasilkan karya yang baik, maka lebih baik jika kerjakanlah satu proyek terlebih dahulu. Baru lanjut ke proyek berikutnya. Lebih baik mengerjakan SATU pekerjaan dan selesai, daripada 1000 pekerjaan tapi setengah-setengah. Jika lebih mendesak proyek yang barengan, kerjakanlah itu dulu sembari targetkan batas waktu. Jika sudah selesai, pindahlah ke proyek pribadimu.

Salam.

Ngirim Naskah ke Lebih dari Satu Penerbit, Boleh?


Mawar, Pelabuhan Ratu. Saat Ngisi Materi Pelatihan Menulis di sana.

Jawab:

Saya tidak akan menyebut boleh atau tidaknya, tapi mari kita lihat positif dan negatifnya.

Ngirim Naskah ke Satu Penerbit
Positif : Relatif aman dari risiko. Risiko apa? Ini: bayangin kalau kamu ngajuin ke 10 penerbit, terus tanpa disangka semuanya LOLOS. Tentu kamu harus nolak salah 9-nya bukan? Dan perkara ini kan bisa bikin brand image kamu ‘turun’ di mata penerbit. Dengan mengirim ke satu penerbit aja, kamu relatif aman dari risiko ini.
Negatif : Kita harus nunggu (biasanya) sampai tiga bulan sampai ada pengumuman dari Penerbit. Kalau diterima enggak masalah, nah kalau enggak diterima, nah makan waktu lebih lama lagi. Kita harus ngajuin lagi ke satu penerbit, mesti nunggu lagi. Dan seterusnya. Kebayang kan kalau naskah itu baru diterbit di penerbit ke-10 yang kamu ajuin? Mesti nunggunya juga ampe sekitar 30 bulan! Ebuset!

Nah, sekarang ngirim naskah ke lebih dari satu penerbit pada waktu yang bersamaan.
Positif : Kamu bisa ‘mengefisienkan’ waktu sekaligus memperbesar peluang untuk diterima. Bayangkan kamu ngajuin ke 3 penerbit. Dalam sekali nunggu selama 3 bulan itu, peluang kamu nggak hanya adari penerbit 1, tapi dari 2 dan juga 3. Jadi, kesempatannya lebih besar.
Negatif: Tapi ya itu tadi, kalau dari ketiga-tiganya diterima, mesti pinter-pinter kamunya untuk bilang “nggak jadi nerbitin di situ” ke si penerbit, dengan risiko ya itu, brand image kamu turun di mata penerbit yang kamu ‘tolak’ itu. Kecuali, kalau kamu sudah punya nama di bidang kepenulisan. Itu lain lagi ceritanya.

Kompromi:
Kalau begitu, untuk mengambil titik tengah dari kutub postif dan negatifnya, kalau mau ngirim lebih dari ke satu penerbit, pada waktu yang bersamaan, kirimlah ke 2 penerbit saja.  Tapi pada akhirnya semuanya bergantung kepada kamu juga.


Salam.

Ketika Lingkungan Tak Mendukung

Sewaktu saya mengisi pelatihan menulis di Pelabuhan Ratu, ada sekitar enam pertanyaan yang dilontarkan kepada saya. Saya akan mencoba menjawabnya di sini, siapa tahu, ada diantara kawan-kawan semua yang juga mengalami hal serupa.

Ujang : Saya ingin menulis, tapi lingkungan tempat saya tinggal, tidak mendukung. Apa yang harus saya lakukan?

Kita tidak bisa menunggu sampai segala sesuatunya sempurna. Alih-alih kita justru harus menyempurnakan kondisi yang serba tidak sempurna itu. Ada banyak orang yang tidak menulis hanya karena tidak punya komputer, atau tidak ada mesin tik, atau tidak ada waktu, dan hal-hal lain yang mereka keluhkan. Padahal, semua ‘keterbatasan’ itu mestinya disiasati dan bukannya dijadikan alasan untuk menyerah. Untuk mundur.

Jika lingkungan kamu memang tidak mendukung, buatlah diri kamu mendukung untuk apa yang kamu lakukan. Cintailah menulis, sehingga kamu, apapun kondisi lingkunganmu, akan hanyut dan menikmati setiap proses menulis itu, kendati di sekitarmu orang sedang ramai-ramai menertawaimu. Jika lingkungan tidak mendukung, bersikaplah seperti kafilah yang tetap berlalu kendati anjing menggonggong-gonggong.

Selain itu, untuk menyiasatinya, bergabunglah dengan komunitas menulis. Bolehlah lingkungan rumah kamu enggak mendukung, tapi carilah tempat di luar di mana kamu bisa menemukan orang-orang yang mampu mendukungmu. Bolehlah lingkungan sekolahmu enggak mendukung, tapi buatlah kamar kamu sebagai tempat yang mendukung. Gabunglah bersama komunitas menulis. Jika tidak ada, kontaklah pada para penulis, calon penulis, siapa saja! Biar tersemangati. Apalagi sekarang ada social media yang bisa kita gunakan.

Seperti pertarungan. Tak peduli apapun rintangannya—entah pedangmu yang hilang atau kamu yang merasa “belum siap”—toh kalau menang ya menang, kalau kalah ya kalah. Tidak usah mencari-cari kambing hitam.

Belas Kasih vs Waspada


Mawar : Jadi, Kang, ada temen cewek aku yang bilang kalau temennya yang cowok suka sama aku. Nah si cowok itu baru aja kehilangan ceweknya yang meninggal. Jadi masih sedih-sedih gitu. Nah, si cowok itu, Kang, yah, suka merhatiin facebook aku dan dia bilang dia pengen kenalan. Yaudah, kenalan mah kenalan aja. Eh tau-taunya, si cewek itu yah kang, pas dua hari kemudian bilang gini, “Mawar, aku minta tolong ih jadi pacarnya temen aku. Bohongan aja. Buat di facebook doang kok. Kasihan. Dia butuh penyemangat hidup. Dan dia nemuin itu di kamu.” Gimana dong, ya?

Belas kasih adalah salah satu titik lemah manusia. Tapi bukan berarti kelemahan. Kenapa? Karena setiap orang pada dasarnya enggak mau menjadi orang yang enggak “berpri kemanusiaan”, yang “enggak peduli pada orang lain”. Pada dasarnya setiap manusia adalah “putih”, “baik”. Nah, sialnya, kadangkala ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat buruk. Seperti misal orang yang pura-pura kesasar, enggak punya ongkos untuk pulang, terus aja minta sama kita. Nah, di satu sisi, kadang kita curiga kalau dia bohong. Tapi di sisi lain, kadang kita enggak tega, karena kita enggak mau dianggap tidak “membantu”.

Begitupun dalam kasus ini. Kasus yang dialami oleh Mawar (19 tahun). Faktanya: jika memang si cowok suka, kenapa enggak ngajak kenalan secara gentle? Kalau misal, karena dia masih trauma atau malu-malu, mungkin, kenapa mesti “ngotot” ingin berstatus “berpacaran dengan” padahal ketemu aja belum. Makanya, saya bilang begini:

1. Kalau kamu percaya sama orang itu sama seperti kamu percaya sama temen kamu, yo wis, temenanlah. Siapa tahu dia memang lagi down dan butuh penyemangat. Tapi hati-hati, kamu kan udah tahu kalau dia suka sama kamu. Jadi, kalau sekiranya kamu nggak mau ngasih harapan, jangan buka pintu lebar-lebar sejak awal. Bersikaplah kayak ke teman. Kasih jarak biar dia nggak salah pengertian, nggak salah berharap, sehingga nggak ngerasa kecewa lebih besar.
2. Kedua, tetap hati-hati. Bagaimanapun facebook bukannya aman dari masalah. Kan banyak kasus penculikan, pemerkosaan, berawal dari hal-hal “iseng”di facebook? Bukan menyuruh untuk berburuk sangka, tapi waspada itu kewajiban.
3. Soal ajakannya untuk sekedar berstatus dalam facebook, percayalah, jangan diikuti. Barangkali awal-awal dia akan bersikap sopan. Tapi lama-lama bisa jadi ngerasa seolah kalian jadian beneran. Belum lagi kalau kamu mengiyakan, bisa-bisa (dan ini semoga tidak), membuat dia berpikir kamu “gampang”. Dan pada akhirnya memperlakukanmu dengan sikap yang tidak baik.
Sekian. Facebookmu, harimaumu. Jaga dia dengan tali kekang yang baik, agar dia tidak berbalik memangsamu.

Salam.

Boros vs Efisien

Boros vs Efisien

Boros itu berarti:
1. Mengalokasikan uang melebihi pemasukan.
2. Tidak membatasi pengalokasian uang pada pos benda/jasa yang dibutuhkan saja.

Efisien berarti:
1. Mengalokasikan uang disesuaikan dengan pemasukan
2. Mengalokasian uang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat prioritas.
Jadi....
1. Orang yang mengalokasikan uang sebulan 2 juta, belum tentu lebih boros dibandingkan orang yang pengalokasian uang sebulannya 1 juta. Jika misalnya, yang mengalokasikan uang sebulan 2 juta itu ternyata berpenghasilan 10 juta. Sedangkan yang mengalokasikan uang sebulannya 1 juta itu ternyata berpenghasilan 1,5 juta.
2. Orang yang boros tidak (mau) mengerti bahwa dalam setiap hal selalu diharuskan adanya tingkat prioritas. Yang sederhana seperti: primer, sekunder, tersier. Primer yang harus diutamakan. Sekunder: sunnat ab’ad. Tersier: kalau nggak kebeli, nggak usah. Ini banyak anak muda yang uang bulanannya minim tapi maksain beli blackberry hanya demi label “gahoel”, bikin orangtuanya mesti ngejual sapi satu-satunya yang kalau nunggu 3 bulan lagi harganya 2 kali lipat.
3. Nah, karena itulah, setiap orang wajib mengatur aliran keuangannya, agar ‘serba tercukupi’. Kebutuhan sehari-hari, tercukupi. Tabungan, masih bisa diisi. Mau nonton di akhir pekan, ada dananya. Sehatkan kondisi keuangan kamu, biar nggak mesti besar pasak daripada tiang listrik.
4. Alokasikanlah uangmu, pada kebutuhan sesuai dengan tingkat prioritas. (1) Penting dan Mendesak. Ibarat kebelet buang air, laksanakanlah secepat mungkin atau kau mati di tempat! #eeaaa :D (2) Tidak penting mendesak. Ibarat ngupil. Tidak penting sebetulnya, apalagi kalau di depan banyak orang. Tapi kalau mendesak, daripada sesak nafas (tsaaah), ya ngupillah! (3) Penting tidak mendesak. Penting sih. Kayak saya mau beli PC Tablet. Biar bisa nulis + blogging kapanpun di manapun. Tapi karena tidak mendesak, ya sudah nunggu tabungannya terkumpul dulu. (4) tidak penting tidak mendesak. Nah, tingkat yang ini nih yang paling banyak dilakuin orang-orang boros. Misal, tukar motor kreditan ke dealer dengan motor merk sama tapi warna berbeda. Oh my gosh! Tolong! O, please! Biaya cicilannya jadi tambah mahal, tapi kok motornya ya gitu-gitu aja kan rasanya?

Efek
1. Boros membikin kondisi keuangan kamu sakit. Masih mending masih single atau jomblo atau nggak laku. Yang galau ya sendirian saja. Laper ya laper sendirian aja. Ngutang ya tanggung jawab sendiri. Nah, gimana kalau sudah menikah? Akan lebih repot lagi. Banyak berita bilang bahwa salah satu sumber pertengkaran dalam rumah tangga adalah ketidakmampuan si pasangan untuk mengelola uang. Sehingga, si uang menjadi PIHAK KETIGA. Waspadalah! Waspadalah!
2. Boros juga nggak disukai sama Tuhan. Tuhan nggak suka kita “melampaui batas”, “menghambur-hamburkan sesuatu”. Karena pada sikap itu terdapat dua sifat buruk, (1) sombong, (2) kurang bersyukur. Sombong + kurang bersyukur = .... (silakan isi sendiri).
3. Tapi jika kita efisien. Atau dalam kata lainnya “Hemat”. Kita bisa mencukupi semua kebutuhan kita secukup mungkin. Kita terhindar dari mesti ngutang (kecuali mungkin kalau kepepet bener). Kita punya tabungan buat jaga-jaga. Kita bisa melakukan aktivitas kita dengan tenang. Dan lain-lain, dan lain-lain.
4. Efisien juga memperlihatkan kerendahan hati dan kebersyukuran kita. Bahwa segalanya milik Tuhan yang diamanahkan pada kita, yang karenanya wajib kita jaga dan manfaatkan sebaik-baiknya. Sesuai kebutuhan. Sesuai kemampuan yang diamanahkan Tuhan kepada kita.
Cat: yang nggak ngerti caranya ngatur keuangan, googling saja ya! Atau beli buku-bukunya. Sudah banyak kok. 
Salam Curhat.

Topeng Sosial


Kita tak selalu bisa menjadi diri kita sendiri. Kadang, ada momen-momen tertentu yang membuat kita, mau tidak mau, harus mengenakan topeng sosial kita. Misal, seorang yang terbiasa ngomong kasar, mau tidak mau, suka tidak suka, tetap harus berbicara sopan saat acara lamaran ke calon mertua.

Kerangka sosial? Bisa jadi benar. Tapi demi kebaikan yang lebih besar, tak ada salahnya ‘berpura-pura’ terbiasa bicara sopan dan lemah lembut. Siapa tahu jadi kebiasaan betulan.

Coba perhatikan:
Pertama, apa yang dilihat oleh orang lain tentang kita, mula-mula adalah penampilan kita. Walaupun pepatah berteriak, “Don’t judge a book by its cover”, toh tetap saja kita sering memberikan penilaian pertama dari penampilan seseorang.

Kedua, oleh karenanya, fenomena sosial psikologis ini dimanfaatkan oleh banyak perampok, dimana mereka berpakaian sangat rapi (entah itu rampok kelas kakap maupun kelas senayan).

Nah jika demikian, maka apakah salah jika kita menggunakan topeng kita sejenak, untuk maksud baik? Untuk maksud yang benar? Kita ingin meyakinkan orang tentang gagasan baik yang kita miliki, dan apakah salah jika kita mesti berpakaian rapi dan bertutur kata lembut?

Jadi, soal pertanyaan, apakah mengenakan ‘topeng sosial’ itu salah? Tidak selalu. Tergantung tujuannya. Tergantung niatnya. Tergantung kondisinya juga.

Seseorang mengenakan sarung + sorban agar saat dia ceramah, kemungkinan untuk didengarkan lebih banyak, tentu insyaAllah baik, ketimbang orang yang mengenakan sarung + sorban untuk merusak warung orang, untuk mengebom orang yang tak bersalah.

Namun demikian, ketika topeng sosial ini terus-menerus kita pakai, maka kita akan terjebak juga dalam sikap munafik. Murah senyum di permukaan padahal hati penuh dendam. Penuh perhatian di permukaan padahal hati saling membenci. Hanya peduli pada pencitraan. Kita mementingkan apa yang tampak di permukaan mengenai diri kita dan tak pernah mau menjadi sebenar-benarnya manusia.

Dan bagaimana jika kita harus berhadapan dengan orang seperti itu?
1. Jadikan cerminan bagi kita. Pelajaran hidup. Bahan introspeksi.
2. Maklumi bahwa setiap orang pada dasarnya baik, hanya saja ada yang berhasil mengimplementasikan kebaikannya itu, ada pula yang belum berhasil. Barangkali dia termasuk orang seperti itu.
3. Cobalah untuk lebih banyak mengerti ketimbang menuntut untuk dimengerti.
4. Jika memungkinkan, sadarkan dengan cara yang tidak melukai hatinya.
5. Hati-hati. Apalagi jika topeng yang dia gunakan, bisa jadi, sadar ataupun tidak sadar, mencelakakan kamu. Kita banyak mendengar bagaimana seseorang tertipu karena penampilan orang lain. Semoga kamu tidak.
Salam.

Bagaimana Menyikapi Orang Cuek


Sebenarnya aneh, saya materi soal Agent of Change yang Ahsanu Takwim, tapi dua pertanyaan di sesi tanya-jawab malah lebih seperti curhat. Tapi selalu menyenangkan bisa berbagi. Mari kita lihat. Cuek adalah kondisi dimana seseorang tidak menaruh perhatian terhadap sesuatu/seseorang. Dan atau cuek adalah kondisi dimana seseorang merasa tidak diperhatikan oleh seseorang.

Oleh karenanya, clue dari jawaban ini adalah soal: ‘kemerasaaan’ dan ‘perhatian’. Itu berarti, bisa beberapa kemungkinan:
1. Kita yang menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Misal, ketika kita sehari tidak disms temen, kita merasa dia tidak cuek, bukan? Tapi kalau yang tidak nge-sms itu pacar, kan kita langsung memvonis dia cuek? Itu karena terhadap pacar, kita menaruh ekspektasi (harapan) yang lebih. Cenderung menuntut. Bahwa dia harus lebih care, lebih sayang, lebih sering sms, lebih sering anter pulang, dan lain-lain. Hal inilah yang membuat kita selalu merasa kurang diperhatikan, kurang disayangi, kurang dikirimi sms, kurang sering dianter pulang, dan lain-lain.
2. Karena marah. Biasanya ketika marah, ada sebagian orang tertentu, yang secara sadar maupun tidak sadar, menjadi cuek. Entah itu kepada orang yang sedang dia marahi, maupun kepada orang yang tidak dia kenal sekalipun.
3. Karena sedang banyak pikiran. Ada orang yang karena banyak pikiran jadi kebawa melamun. Jadi tidak fokus. Karena itulah disangka cuek.
4. Karena tipikal wajahnya begitu. Ada orang yang memang tipikal wajahnya cuek. Padahal kalau sudah kenal, ternyata bisa lebih gokil daripada Adam Sandler.
5. Karena cinta. Eeeits, jangan salah. Perasaan cinta tak selalu bisa menghasilkan sikap romantis-bombastis-gombal-unyu lho, tapi juga kadang merangsang sikap gugup dan malu, sehingga berbalik menjadi sikap cuek. Itu lho, macem Adit di film Eiffel I’m In Love. :D
Bagaimana menyikapinya?

Tergantung kenapa dia menjadi cuek. Kemudian sesuaikan. Jika karena kamu terlalu menunut dan berharap banyak, itu artinya sudah waktunya kamu menyeimbangkan ekspektasi itu dengan lebih banyak mengerti. Jika karena dia sedang marah, itu artinya kamu harus mau memahami. Jika karena sedang banyak pikiran, itu artinya kamu bisa memberikan dia sedikit waktu untuk sendirian—atau jika dia meminta waktu untuk curhat, kamu harus siap mendengarkan. Jika karena wajahnya sudah begitu, tolong jangan paksa dia operasi plastik. Tolong! Percaya pada saya! Dan jika karena cinta... mungkin sudah waktunya kamu membuka sedikit percakapan. Intensitas percakapan bisa mencairkan kekakuan lho.

Sekian.

Kegagalan dan Proses Bertumbuh

Karena hanya orang yang tak pernah mencobalah yang tak pernah gagal. Kita semua pernah mengalami kegagalan. Dan sekarang giliran saya yang curhat kepada Ujang dan Mawar :D
Saya diminta mengisi dua acara saat OSPEK di sebuah universitas. Acara pertama adalah sesi kuliah dimana saya membawakan materi tentang “Menjadi Agent of Change yang Ahsanu Takwim” dan yang kedua adalah acara “Renungan”.

Pada acara pertama saya sukses. Alhamdulillah. Respon yang bagus semenjak mulai sampai akhir. Bahkan sampai ada yang minta nomor handphone. Minta izin share masalah hidup. Tapi di acara kedua, saya kehilangan feel, saya kehilangan ‘sentuhan’. Saya berdiri di tengah orang-orang itu dan merasa bodoh. Tak ada seorangpun yang tersentuh, tentu saja. Karena bagaiamana bisa? Toh saya sendiri tidak merasa ‘in’ dengan apa yang saya sampaikan.

Sepanjang perjalanan pulang saya merenungi kegagalan itu. Ini beberapa alibi saya:
1. Faktor psikologis akibat molor waktu. Ibarat kita kelewat lapar. Saya bersiap untuk acara pukul 5 sore. Tapi panitia ngaret sehingga saya baru mulai ba’da maghrib. Sejak awal saya memang sudah kehilangan ‘semangat’.
2. Ruangan yang terlalu lebar. Lebarnya ruangan itu membuat ‘jarak’ saya dengan ‘audience’ terlalu jauh. Sehingga, saya kehilangan nuansa bercerita, pendengar juga kehilangan nuansa untuk mendengar seksama seperti seorang sahabat.
3. Lampu. Survei membuktikan, renungan lebih bagus kalau dilaksanakan dalam kondisi gelap. Dan hanya mengenakan lilin sebagai penerang. Ini lebih membangkitkan nuansa. Pada saat renungan, panitia tak menyiapkan lilin sehingga membiarkan nyala lampu tetap ada (walau sudah disiasati dengan memadamkan sebagian).
4. Musik pengiring. Saat saya sukses menyentuh hati audience pada acara ‘renungan’ dua tahun silam, selain dibantu ‘ruangan lebih kecil’ dan ‘lilin + lampu padam’ saya juga dibantu akustikan lagu Bunda. Saya jadi dapet nuansanya, audience juga. Pada malam itu hanya menggunakan rekaman dari gadget. Nuansanya kurang ngena.
Namun demikian, saya heran kenapa saya terus-menerus kepikiran soal itu. Dalam hal ini, saya juga menduga beberapa hal:
1. Kesuksesan disesi kuliah membuat saya bahagia sekaligus ‘terbang’. Jadi, ketika ‘jatuh’ di acara kedua, saya merasa lebih sakit.
2. Karena saya terlalu jumawa untuk mengakui bahwa saya hanya manusia biasa yang tak selalu sempurna. Bahwa saya hanya manusia biasa yang kadang salah dan bisa terlihat sangat bodoh.
3. Saya, walaupun selalu merasa diri berani tampil apa adanya, ternyata hanya seorang yang selalu riskan tentang apa yang dipikirkan oranglain tentang dirinya. Jadi mungkin bukan kegagalannya yang membuat saya merasa galau, tapi kenyataan bahwa saya khawatir tentang kemungkinan orang-orang itu menertawakan saya di belakang.
4. Karena saya perfeksionis. Sebetulnya saya masih beruntung karena tidak sampai kehabisan kata-kata, gemetar, atau sampai berlaku bodoh. Alih-alih saya masih bisa tenang, berbicara santai, dan bahkan ikut salam-salaman dahulu. Tapi itu tetap terasa tidak cukup! Orang-orang lain lebih hebat daripada saya, jadi ‘ketenangan’ itu tak bisa dijadikan alasan untuk merasa ‘tidak gagal’.
Nah, dengan itu, saya memutuskan bahwa:
1. Saya harus share ini kepada Ujang dan Mawar agar saya bisa turut mengeluarkan, setidaknya, sebagian unek-unek di hati saya. Agar saya bisa fokus melanjutkan naskah novel saya.
2. Saya harus mencari kesibukan lain, agar pikiran saya tidak berfokus dan melulu memikirkan dan meratapi kegagalan itu.
3. Saya harus menginsafi, bahwa, seperti yang saya sampaikan ketika sesi kuliah, proses bertumbuh itu melibatkan rasa sakit, melibatkan kegagalan. Tapi siapa diantara kita yang tak ingin naik kelas? Setidaknya, dengan kegagalan ini, saya tahu masih harus banyak belajar dan memperbaiki diri, masih harus terus menggali potensi.
4. Bahwa pada akhirnya, mereka semua toh akan melupakannya. Semua tragedi hanya perlu waktu sampai bisa berubah jadi parodi. Lagipula, bukankah bukan hanya sekali ini saya pernah gagal dan terlihat memalukan di depan banyak orang? Tapi bukankah dengan itu saya semakin kuat dan bisa bersikap tenang?
5. Nah, kira-kira begitu. Postingan berikutnya saya akan menjawab dua pertanyaan yang ditanyakan audience di sesi kuliah yah... makasih Ujang, Mawar, dan juga kau! 

Senin, 03 Oktober 2011

Buanglah Curhat Pada Tempatnya #2

Buanglah Curhat pada Tempatnya 2

Berbekal rasa risih ketika seorang teman menceritakan kakaknya yang kabur karena dimarahi orang tuanya, dengan suara keras di dalam angkot yang penuh penumpang, akhirnya saya memutuskan bahwa curhat memang harus pada tempatnya.

Syarat utama untuk bercurhat ria, wahai Mang Ujang dan Ceu Mawar, adalah: harus selektif, jangan ke semua orang. Jangan teriak-teriak pake speaker mesjid apalagi sampai nyewa sound system. Sebaiknya, bercurhat rialah kepada orang yang:
1. dapat menjaga kepercayaan dan rahasia
2. bersedia mendengarkanmu sepenuh hati
3. dapat/setidak-tidaknya berusaha memberimu solusi.
Karena bercurhat ria secara sembarangan bisa berakibat sefatal membuang kulit pisang di tengah jalan: selain juga membahayakanmu (siapa tahu ada anak presiden jatuh gara-gara nginjek itu kulit pisang), juga bisa membahayakan orang lain. Tapi, alasan yang lebih ‘intelek’ (yah, anggap gitu ya,  ) adalah:
1. Tidak semua orang bisa kita percaya dan dapat menjaga kepercayaan. Curhat kepada orang seperti ini bisa membuat apa yang asalnya lebih baik dirahasiakan, malah jadi berita gosip macem infotainment. NB: orang-orang comel termasuk jenis ini, kayaknya....
2. Beberapa orang, mungkin akan menjadikan curhatanmu, yang bisa jadi sebagiannya adalah umpat kemarahanmu kepada seseorang, sebagai senjata untuk menyerangmu balik, ketika dia marah padamu. Apa kamu pernah mendengar seseorang berkata, “Awas, nanti aku bilang sama Pak Ucok kalau kamu nyebut kepala botaknya kayak bola plastik.” Menceritakan rahasia kita, kemarahan kita, pada jenis orang seperti ini juga berakibat fatal.
3. Juga, efek kalau kita curhat ke semua orang, atau ke sangat banyak orang adalah, pada akhirnya, mempermalukan diri sendiri. Pernah kamu liat orang yang marah-marah saat nyeritain seseorang yang dia benci? Bukankah kamu ngeliat dia jadi BERLEBIHAN dan malah membuatnya terlihat BURUK? Bagaimanapun, pengendalian diri itu penting loh.
4. Dan yang lebih penting, tidak semua orang mau mendengarkan. Ini tidak selalu berarti orang itu TIDAK BAIK. Tapi bisa jadi karena dia SEDANG SIBUK. Kan bagaimanapun, kita harus saling menghargai menghormati, bukan? Sebetulnya, saya punya seorang kawan yang bernama Mawar, yang kalau mau curhat, bbm awalnya berbunyi, “Fan, lagi sibuk ga?” 
5. Tidak semua orang mampu memberi solusi. Ini berarti dua hal: dia sama sekali tak mampu memberi solusi atau dia tak mampu memberi solusi yang menang-menang. Kemungkinan pertama, satu komentar saja: terlaaaaaaaalu! Untuk jenis kedua: berarti kawan curhat kamu itu seorang yang belum mampu berpikir jernih. Kan kadang ada yang gini pas kawannya curhat diputusin pacar. “Udah, jangan nangis, santet ajah. Biar mampus sekalian tuh orang. Sini uangnya, aku mau beli pulsa dulu. Mama aku lagi di kantor polisi....”

Buanglah Curhat Pada Tempatnya


“Kenapa kita harus curhat?” Kata Kang Ujang dan Ceu Mawar. Karena eh karena, ada beberapa hal:
1. Curhat bisa bikin kita lebih plong. Ibarat buang air besar. Kebayang kan gimana rasanya kalau terus-terusan ditahan?
2. Bisa bantu kita lihat masalah lebih jelas. Kenapa? Karena dengan bercurhat ria, kita sebetulnya dengan meretrospeksi, mereka-ulang masalah kita, sehingga biasanya, secara sadar dan tidak sadar, kita bisa melihat sisi yang sebelumnya nggak kita sadari pas lagi galau.
3. Dengan bercurhat ria, kita bisa dapat sudut pandang baru. Kan yang namanya manusia, dalam ‘melihat’ sesuatu, selalu dipengaruhi perspektif dan persepsi. Keduanya mempengaruhi apa yang kita ‘lihat’. Dengan bercurhat ria, kamu akan mendapat perspektif dan persepsi baru. Sehingga membuat bisa melihat masalahmu dengan lebih jelas. Deal? Yang belum tahu perspektif dan persepsi itu apa, silakan dicek di mbah google. :D
4. Dengan bercurhat ria, siapa tahu kita bisa dapat solusi. Kan salah satu tujuan kita curhat emang untuk itu, bukan?
5. Dengan bercurhat ria, siapa tahu kamu ditraktir nonton. #eh

Tapi tahu manfaatnya saja tidaklah cukup. Ada syaratnya lho. Mau tahu apa? Cek postingan berikutnya ya....

Minggu, 18 September 2011

SWOT Gitu Loh (Bag. 4) #Threat


Sedangkan threat atau halangan, ancaman, rintangan, adalah sesuatu yang sering kita kambinghitamkan untuk kegagalan atau kekalahan kita.

Misal, suatu hari Ujang si Santri saya bonceng. Dalam boncengan itu dia bercerita, “Mang Haji, sayah mah mau ngaji juga susah bener. Harus bolak-balik ke rumah buat ngurus keponakan sayah yang masih bayi. Orangtuanya jadi TKI. Makanya oranglain sudah hafal bait mana, sayah mah masih belum juga.”

Padahal, kita semua memiliki rintangan sendiri-sendiri. Kalau kita berpikir rintangan hidup kita telah secara tidak adil membuat kita kalah, berarti kita kurang berjuang keras. Kita bisa menyalahkan orangtua kita yang miskin sehingga kita gagal. Tapi orang yang kaya juga bisa menyalahkan kurangnya perhatian orangtua sehingga mereka terjebak narkoba.

Kalau rintangan kita berupa jarak yang jauh ke sekolah, berarti kita harus bangun lebih pagi. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Kalau rintangan kita berupa tidak mampu beli buku, berarti kita harus jadi pengunjung tetap dan rutin perpustakaan daerah. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Kalau rintangan kita berupa lingkungan yang tidak kondusif, maka mau tidak mau kita kuat melawan arus.

Kalau boleh main ibarat, threat itu kayak lawan kita di arena gladiator. Mungkin satu hari kita ‘beruntung’ mendapat lawan yang kurus kering belum makan satu bulan, tapi siapa tahu esok lusa kita mendapat lawan raksasa bertubuh gagah bertanduk menjangan. Tapi siapapun lawan yang ‘dipilihkan’ untuk kita, kita tetap harus mampu mengalahkannya jika tetap ingin HIDUP.

Dalam banyak kisah sukses, salah satu kiat menyiasati rintangan itu adalah menjadikannya kesempatan. Melawan seorang yang bertubuh tegap bak raksasa bertanduk menjangan memang tidak bisa dengan sebuah pukulan langsung. Mungkin kita harus berlari ke sudut-sudut tertentu, membuat dia pusing mencari-cari kita, berbalik dan terus berbalik sampai urat lututnya putus. Siapa tahu bisa demikian. (sebenarnya, trik tadi terinspirasi dari film Samurai X, hihihi).

Lagipula, rintangan adalah kesempatan kita menguji kemampuan diri, kemantapan hati, keteguhan jiwa. Rintangan adalah kesempatan bagi kita menaikkan level diri, kelas diri. Rintangan adalah kesempatan kita untuk berjuang lebih keras dari yang kita pikir mampu kita lakukan. Apapun rintangannya, minumnya tetap air putih sajaaah. Ahaha.

SWOT Gitu Lho (Bag. 3) #Opportunity


Seperti kata teori konvergensi: karakter seseorang itu dipengaruhi oleh potensi bawaan dan lingkungan. Jadi, dalam ‘menemukan’ cita-cita yang ‘sesuai’, selain harus mengenal diri kita sendiri dengan baik, kita harus juga bisa melihat ‘lingkungan’, faktor-faktor eksternal di luar diri kita.

Dalam konteks faktor eksternal, dalam postingan ini, kita akan membahas opportunity.

Opportunity berarti kesempatan. Sedangkan kesempatan seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang menguntungkan, mendukung, dan menggembirakan kita. Kesempatan juga sering dikaitkan dengan pintu atau peluang meraih kesuksesan, mencapai satu target tertentu.

Misal, bagi seorang maling, pintu rumah yang tidak dikunci dan ditinggalkan pemiliknya adalah ‘kesempatan’ dia untuk mencuri. Atau, tawaran untuk memimpin sebuah kelompok atau berbicara di depan umum, bagi orang-orang tertentu, adalah kesempatan untuk melatih karakter dan kekuatan mental.

Tapi, wajah-wajah kesempatan tidak selalu dapat dilihat dengan jelas. Lebih sering tersembunyi. Kekurangcepatan kita atau kekurangmampuan kita dalam melihat wajah-wajah itu menyebabkan kita akrab dengan kata ‘kehilangan kesempatan’ ‘menyesal’ ‘hanjakal’ ‘coba dulu saya gini... pasti gitu....’ ‘Sayang sekali saya tidak menghafal tadi malam....’

Lebih jauh lagi, menyoal kesempatan, manusia terbagi ke dalam tiga golongan:
1. Orang yang menyia-nyiakan kesempatan. Mereka yang menyia-nyiakan waktu dan kesehatan, umur dan uang, otak dan hati.
2. Orang yang menunggu kesempatan datang. Mereka yang duduk diam menunggu menang lotere tapi lupa caranya membeli kupon lotere.
3. Orang yang membuat, mengkondisikan, agar kesempatan itu datang. Dia tahu bahwa perubahan sikap, bisa mendatangkan perubahan nasib. Jika pintu tak jua tersedia, dia akan membuatnya. Jika pintu masih saja ditutup, dia akan berusaha membukanya.

Menyoal kesempatan ini, hadist Rasulullah bisa dengan tepat kita jadikan penutup: ingatlah lima perkara sebelum lima perkara. Muda sebelum tua. Kaya sebelum miskin. Lapang sebelum sempit. Sehat sebelum sakit. Hidup sebelum mati.

Hari ini adalah hadiah, adalah kesempatan. Manfaatkan apapun yang kamu miliki, jadikan semuanya pijakan, jadikan semuanya kesempatan kamu untuk terus memperbaiki diri sehingga kamu layak untuk menjadi apapun yang kamu inginkan.

SWOT Gitu Lho! (Bag. 2) #Weakness


Sekarang, mari kita sedikit kritis. Apa saja sifat, watak, sikap kamu yang kamu rasa menjadi kekuranganmu?

Apakah kamu termasuk seorang yang pandai tapi malas? Ataukah seorang yang hebat tapi suka menunda? Apakah kamu seorang yang mudah marah, ataukah justru pribadi yang sering mengeluh? Bagaimana dengan kesempatan yang datang—apakah kamu termasuk orang yang bilang, “Ya, saya pikir saya bisa!” Kendati kamu masih ragu mengenai itu? Ataukah kamu termasuk orang yang bilang, “Ah saya tidak bisa, tidak pantas, biar orang lain saja....”

Apakah kamu termasuk seorang yang pandai menerima kritik ataukah fasih mencibir orang? Ataukah kamu seorang yang selalu mau belajar dan bukannya seorang yang mudah puas? Bagaimana ketika ada halangan atau rintangan, apakah kamu akan menyiasatinya ataukah mundur?

Sekarang, katakan pada saya, apakah kamu sudah tahu akan menjadi seperti apa satu tahun ke depan? Dua tahun kemudian? Besok lusa? Ataukah mungkin kamu bisa katakan pada saya, bahwa kamu lebih menyukai menyimpan dendam ketimbang duduk tenang menyelesaikan masalah?

Weakness adalah segala macam hal-hal yang mendorongmu untuk menjadi yang “kurang” atau “standar”. Apakah dirimu masih akrab dengan kata “kurang beruntung” “kurang pandai” “kurang cepat” “kurang sigap” “kurang fokus” “kurang ngotot”? Atau barangkali dirimu itu masih akrab dengan kata “yah standarlah” “biasa-biasa saja” “sama saja” “nggak bagus” “imitasi” “emas sepuhan”.

Jika kamu masih akrab dengan kata “kurang” dan “standar” itu artinya ada sesuatu yang mesti kamu perbaiki. Jika kurang bersyukur berarti tingkatkanlah saldo syukur kamu setiap waktu. Jika tabungan amalnya masih standar, perbanyaklah ibadah biar ‘bunga’ dari ibadahnya berlipat ganda.

Kemampuan kita mengenali kelebihan mendorong kita untuk memanfaatkannya! Sedangkan kemampuan kita mengenali kekurangan diri sendiri mendorong kita memperbaikinya.

Kemudian, kemampuan kita mengenali kelebihan dan kekurangan diri kita sendiri akan mendorong kita untuk menyiasati keduanya agar menjadikan kita pribadi unggul, satu diantara seribu, ahsani takwim, insan kamil, sebaik-baik manusia.

Jika sudah begitu, kamu bisa melihat lebih jelas cita-cita yang “sesuai” dengan diri kamu. Dan, kemudian, yang kita perlukan adalah melihat dua faktor eksternal—opportunity dan threat. Pada posting berikutnya yaa.... 

SWOT Gitu Loh! (Bag. 1) #Strenght


Mawar ini berusia 17 tahun. Tiba-tiba saja berkata pada saya begini, “Saya tiba-tiba nangis pagi ini, karena saya sadar saya tidak tahu ingin jadi siapa kelak nanti. Apa itu cita-cita? Cita-cita kamu apa, Fan?”

Saya menjelaskan panjang lebar mengenai cita-cita saya yang tak kesampaian: menjadi kiper Manchester United, menjadi pemeran Rangga, menang 1 miliyar di kuis Who Wants to Be a Millionaire, Keliling Dunia Maya, Berfoto bareng Asmirandah, Duet dengan Christina Aguilera, Salaman dengan Mahmud Ahmadinejad, dan lain-lain, dan lain-lain.

Tanpa tertarik dengan selera humor saya, Mawar itu lanjut bertanya, “Bagaimana caranya saya harus punya cita-cita?”

Ada beberapa, jawab saya, kini agak serius. Tapi untuk sekarang, saya jelaskan SWOT aja ya....

SWOT adalah kependekan dari Strength, Weakness, Opportunity dan Threat. Dua kata pertama (Strenght dan Weakness) adalah faktor internal. Sedangkan Opportunity dan Threat adalah faktor eksternal.

Strenght dan Weakness
Begini, untuk punya cita-cita, yang katakanlah “sesuai” dengan “diri” kita, kita harus tahu dulu siapa diri kita sebetulnya. Untuk tahu siapa diri kita, mula-mula kita harus bisa “melihat” apa saja kelebihan/kekuatan/potensi (strenght) kita, dan apa saja kelemahan/kekurangan (weakness) kita.

Kelebihan/kekuatan/potensi biasanya diwakili oleh kata-kata hebat ini: bakat, minat, keterampilan. Bakat adalah sesuatu yang kita miliki secara alamiah, bawaan sejak lahir. Sedangkan minat adalah satu/lebih hal/bidang tertentu yang kita sukai. Sedangkan keterampilan adalah kemahiran yang lahir karena belajar.

Sekarang, tuliskan minimal sepuluh bakat yang kamu rasa kamu miliki. Hal-hal, kelebihan-kelebihan yang kamu rasa memang kamu miliki sejak lahir. Ada seseorang yang memang terlahir untuk menjadi pemain sepak bola. Apakah kamu salah satunya? Atau mungkin kamu akan menjadi Riri Riza generasi baru? Ayo, jangan takut, jangan ragu. Jujurlah, jujur saja. Apa sebetulnya bakat yang kamu miliki?

Kemudian, tuliskan minimal sepuluh minat kamu. Minat berhubungan dengan ‘rasa cinta’ dan ‘nyaman’. Kamu meminati basket karena kamu mencintai olah raga itu dan merasa nyaman ketika berada di lapangan, mendribling bola dst. Atau mungkin kamu termasuk orang yang merasa hidup hanya ketika menulis puisi? Emm, bagaimana kalau ternyata kamu selalu merasa nyaman ketika bekerja mengatur sebuah pertunjukkan, memerah keringat memastikan semua orang puas dengan hasil kerjamu? Tuliskan, tuliskan saja semuanya. Keluarkan!

Setelah itu, tuliskan keterampilan yang kamu miliki. Apakah kamu sudah bisa menyetir? Bagus, tuliskan! Atau bagaimana dengan mendesain foto atau memproduksi gambar-gambar komik? Bisa jadi. Masukkan saja! Nah, soal menulis partitur lagu, apakah kamu juga terampil? Oh ya? Bagus. Tuliskan saja, tuliskan saja!

Nah, sampai di sini, melihat satu-persatu bakat kita, minat kita, keterampilan kita, akan membantu kita melihat dengan jelas cita-cita yang “sesuai” dengan kita. Saya tidak punya bakat menulis tapi saya suka menulis apakah saya bisa jadi seorang penulis? Tentu saja. Kerjakan apa yang kamu sukai, belajar sambil jalan, mau otodidak atau ikut workshop tak mengapa, lama-lama kamu pasti jadi penulis—asal tetap yakin. Saya punya bakat sepak bola tapi tidak tahu harus bagaimana. Cobalah ikut ekstrakurikuler sepak bola, masuk sekolah sepak bola kalau bisa. Dekatkan seseringmungkin diri kamu ke ‘jalur’ sepak bola, insya Allah akan ada jalan. Saya terampil mengolah foto dan menggambar. Kalau begitu, buka kesempatan menjadi seorang desainer grafis! Jangan ragu-ragu!

Tapi, saya tidak tahu apa bakat saya, saya tidak tahu apa minat saya, saya juga tidak merasa punya keterampilan!

Kalau begitu, kamu perlu memberi lebih banyak kepercayaan kepada dirimu sendiri. Jangan terlalu rendah menilai diri. Jangan terlalu kritis. Apresiasi saja. Itu sudah cukup. Sekarang, silakan tuliskan!

Senin, 08 Agustus 2011

Cemburu Menguras Bak Mandi (2): 5 Tips Mengatasi Cemburu

Cemburu Menguras Bak Mandi (2): Tips Menangani Cemburu

Ini dia lima solusi jitu menangani cemburu:
1. Berbaik sangka. Sikap ini, selain berpahala karena merupakan sunnah nabi, juga menentramkan hati. Ketika sang ayah lebih banyak di kantor daripada di rumah, sang anak diajar berbaik sangka bahwa itu semua demi keluarga. Ketika ada sms masuk nyasar, kita berbaik sangka bahwa itu memang benar-benar nyasar. Ketika tidak diajak korupsi, berbaik sangkalah bahwa kolegamu di partai menghendakimu masuk surga.
2. Saling menjaga kepercayaan. Setia. Dalam konteks yang luas. Setia sebagai makhluk rahmatan lil alamiin. Setia sebagai kepala keluarga yang hangat dan bertanggung jawab. Setia sebagai suami/istri yang saling memuliakan pasangan. Setia sebagai sahabat. Kesetiaan mendatangkan kedamaian, tidak melahirkan perasaan bersalah. Ketika kita menjaga kepercayaan oranglain pada kita, moral kita akan merasa nyaman, hati kita akan tentram. Sebaliknya, ketika kita berkhianat, maka... bukan hanya orang yang percaya pada kita saja yang disakiti, tapi juga diri kita sendiri.
3. Carilah kesibukan. Mereka yang sibuk, memiliki pekerjaan, tujuan hidup, mimpi-mimpi, akan membuat pikiran mereka ikut pula sibuk berpikir, merancang rencana dan strategi, mengantisipasi halangan, menyiasati rintangan, sehingga dia (si pikiran) itu tidak memiliki waktu untuk menyerang ke dalam, menyerang diri kita sendiri. Akibatnya, ketika ada sesuatu yang merangsang kita untuk cemburu, kita tidak akan memiliki cukup waktu untuk ‘menghayatinya’ sehingga rangsangan itu tidak membuat kita terlampau cemburu.
4. Berbeda dengan orang yang pikirannya tidak punya kesibukan. Ketika rangsangan itu datang, pikirannya akan berfokus pada rangsangan itu, menghayatinya, bahkan tak jarang menambah-nambahinya, sehingga dia bergelut dengan rasa sakitnya sendiri, dengan kecemburuannya sendiri.
5. Disarankan pula, setiap kali cemburu untuk menguras bak mandi. Setidaknya ada beberapa rujukan mengenai hal ini:
a. Didasarkan pada lagu Vidi Aldiano, “Cemburu Menguras Hati”. Oleh karena itu, ketika cemburu menguras isi hati Anda, Anda kuraslah pula isi bak mandi Anda biar kedua-duanya bersih.
b. Didasarkan pada lagu Padi “Terbakar Cemburu”. Bahwa cemburu itu bersifat membakar, jadi kuraslah bak mandi agar airnya bisa memadamkan api cemburu itu.
c. Didasarkan pada wejangan dan sosialisasi pemerintah, bahwa menguras bak mandi secara teratur menjaga Anda dari kudas, kutu air, panu, dan demam berdarah. Karena itu, selamatkanlah diri Anda dan keluarga. Ingat, penyakit tidak datang karena ada niat dari si kuman, melainkan karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah!

Cemburu Menguras Bak Mandi (1): 10 Fakta Menarik tentang Cemburu


Cemburu Menguras Bak Mandi (1): Sepuluh Fakta Menarik tentang Cemburu

Ini dia sepuluh fakta menarik mengenai cemburu.
1. Cemburu biasanya menjadi bukti kalau kita ‘mencintai’ sesuatu/seseorang. Misal, seorang anak yang cemburu pada orangtuanya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Atau seorang politikus yang cemburu saat ‘tidak diajak’ korupsi berjamaah oleh rekan separtainya. Atau seorang perempuan yang sampai naik darah dan jerawatan hanya karena sms yang nyasar ke handphone pacarnya (mirip lagu “bang sms siapa itu bang” itu lho...). Hal-hal semacam itu, ketidaksenangan itu, ketidakmauterimaan itu, merupakan ekses dari adanya perasaan mencintai dalam diri kita.
2. Cemburu tidak peduli pada fakta. Mau faktanya A atau B, kalau sudah cemburu apa mau dikata. Karena itu, cemburu dapat dikatakan membuat seseorang keras kepala. Kalau kawan lagi cemburu buta, biasanya nasehat orang lain terdengar seperti omong kosong.
3. Cemburu merupakan pertarungan dalam pikiran. Pertarungan ini melibatkan tarik-ulur perasaan dalam hati. Oleh karenanya sangat menggelisahkan dan rentan menimbulkan perselisihan. Pertaruangan dalam pikiran ini juga tarik-ulur perasaan dalam hati, akan melahirkan sebentuk persepsi, cara pandang, cara bersikap. Inilah yang menyebabkan fakta apapun yang terjadi, kalau persepsi yang dibentuk sudah begitu, ya susah. Misal, Mawar marah besar pada Ujang sampai bertekad bunuh diri hanya karena Ujang mengomentari status Minah, mantan Ujang yang ada di kampung.
4. Cemburu itu melelahkan. Benar. Karena cemburu merupakan pertarungan dalam diri kita sendiri (dalam pikiran dan hati), maka walaupun kita tidak bergerak kemanapun, cemburu tetap akan menguras tenaga kita. Mau tidur susah, mau makan nggak nafsu, mau nelepon gengsi, mau baikan... tahan harga, mau marah-marah... capek, mau ngelabrak... ujung-ujungnya malu, mau neror... repot sendiri jadinya (apalagi kalau nggak diladenin). Huh! Bete!
5. Apakah cemburu mempengaruhi kesehatan? Ya! Karena cemburu mempengaruhi kondisi psikis kita, maka kondisi psikis kita akan mempengaruhi kondisi tubuh kita. Misal, seorang pesakitan yang rajin tersenyum berpeluang lebih cepat sembuh ketimbang seorang pesakitan yang cemberut terus-terusan. Hayoh!
6. Cemburu bisa menimbulkan sikap paranoid. Karena Mawar cemburu pada Minah, maka Mawar selalu paranoid kalau si Ujang pulang ke kampung halaman. Walaupun di kampung, Ujang sibuk nyawer dan menampilkan organ tunggal, toh Mawar curiga kalau Ujang pasti ngedeketin Minah. Hancurlah minah! Seorang Mawar, sahabat saya, bahkan harus menelepon pacarnya tiap 1 jam sekali, tidak boleh bekerja, dan tidak boleh sms-an dengan cowok. Lihatlah!
7. Cemburu bisa mendatangkan lapangan pekerjaan. Tidak percaya? Cek saja! Banyak pria/wanita yang rela tidak dibayar, bekerja sebagai ADMIN facebook/twitter pasangannya, hanya karena takut pada aktivitas pasangannya di dunia maya. Pekerjaan ini terbilang menyenangkan. Karena, selain hanya memblokir pertemanan orang-orang yang ngecengin, menolak friend request, melabrak yang ngajak chatting tapi centil, mengupload foto saat berduaan, mengganti status hubungan menjadi “menikah” atau “bertunangan”. Dan lain-lain.
8. Cemburu itu manusiawi. Benar. Karena hanya manusia yang diberi akal sekaligus nafsu, maka hanya manusia yang merasakan tarik-ulur antara dua kutub itu—akal dan nafsu itu. Cemburu bisa menunjukkan perasaan cinta kita. Cemburu juga bisa menjadi dinamika yang menyenangkan dalam hidup kita.
9. Cemburu memiliki dua kekuatan utama. Pertama, perasaan (dan pikiran di dalamnya). Kedua, prasangka. Kedua kekuatan ini merupakan ‘energi’. Semakin besar kumparan ‘energi’nya, semakin besar pula ‘daya tarik’nya terahdap apa yang ditakutkan oleh perasaan, apa yang diprasangkakan. Misal, Mawar yang cemburu pada Minah, bisa jadi malah mendorong Ujang—secara tak sadar, secara alamiah dalam konteks kinerja Hukum Tarik-Menarik Alam Semesta—membuat Ujang akan menemui Minah. Ingat ini: kita cenderung lebih tertarik pada apa yang dilarang. Hehehe.
10. Jadi, cemburu membuat kita sudah jatuh ketiban genteng pula. Sudah mah perasaan kita galau, kemungkinan apa yang kita takutkan terjadi juga besar. Jadi, bagi kamu yang dengan sengaja/tidak sengaja menimbulkan kecemburuan dalam diri orang lain—entah itu anak kita, adik kita, pasangan kita—sebaiknya ikut pula memadamkan apinya.

Rabu, 06 Juli 2011

Pada Usia Seperti Saya, Wajar Tidak Kalau Saya Merasa Tidak Diperhatikan Keluarga?

Keluarga adalah pilar penting kehidupan. Tumbuh kembang seorang anak, sangat bergantung pada sikap keluarga dalam mendidiknya. Secara umum, keluarga yang hangat dan penuh kasihlah yang pada akhirnya membantu si anak mendapatkan ‘kestabilan’ mental dalam pergaulan. Anak-anak yang sering dibentak akan mengalami tekanan batin, sehingga kadang terkucil dari pergaulan. Anak-anak yang tidak pernah diberi perhatian, cenderung mencari perhatian di luar. Dari prolog singkat itu, kita sampai pada pertanyaan kawan saya, Mawar, berusia 22-23 tahun. Begini, “Saya pikir keluarga tidak akan menyakiti. Tapi ternyata sama saja. Saya memutuskan untuk kabur!”

“Saya tidak akan melarang kamu untuk kabur, karena itu sepenuhnya hak kamu. Hanya saja, seberapa buruk pun kondisi di rumah, di luar juga belum tentu aman. Saya cuma berharap, langkah apapun yang mau kamu ambil, sudah kamu hitungkan masak-masak risikonya. Bagaimanapun, kan nantinya kamu juga yang ngejalanin hidup kamu, bukan?”

Keesokan harinya, Mawar curhat lagi. Dia tidak jadi kabur, seperti yang saya duga. Dan kemudian bilang: saya tidak jadi kabur, tapi di rumah juga semakin tidak nyaman. Ibu sama ade pada pergi maen, pulang-pulang udah pada kenyang, tapi saya nggak pernah diajakin. Curhat sama pacar saya, dia bilang saya pundungan, kayak anak kecil. Apa benar begitu?”

“Tidak, kan pada dasarnya setiap orang, usia berapapun memiliki kebutuhan untuk ‘disadari’ bahkan ‘dihargai’ keberadaannya. Apalagi oleh keluarga. Karena itu, wajar kalau kamu ngerasa tidak diperhatikan, kalau kamu ngerasa dikucilkan. Yang menjadikan itu sikap yang kekanak-kanakkan adalah ketika, karena perasaan keterkucilan semacam itu, kita jadi mogok makan, nggak mau ngomong, dll. Padahal, kejadian semacam itu bisa kita jadikan pelajaran untuk lebih dewasa. (Bukankah kita semua belajar dari ‘rasa sakit’?)

Coba perhatikan ini: sebetulnya kita tidak memiliki apapun di dunia ini. Bahkan ‘diri’ kita pun milik Tuhan. Jadi apalagi keluarga kita? Mereka juga hanyalah orang-orang ‘asing’. Yang lewat takdir Tuhan memiliki kekerabatan sangat dekat dengan kita. Pada akhirnya, kita hanya harus menyadari bahwa kita tidak boleh terlalu menuntut dan mengharapkan lebih kepada siapapun, termasuk kepada keluarga kita sendiri. Karena bagaimanapun, bahagia tidak boleh digantungkan pada sikap atau tindakan orang lain. Misal, kita hanya akan merasa bahagia kalau keluarga kita memerhatikan kita. Jangan!

Kita harus lebih bisa belajar mensyukuri apa yang ada ketimbang memaksa orang lain untuk melakukan apapun yang kita minta (tanpa rasionalitas). Pada akhirnya, kita harus belajar untuk lebih dewasa. Orang lain boleh menyakiti kita, tapi usahakan kita lebih banyak memberikan kebahagiaan kendati kemuramdurjaan. Orang boleh tak jujur dan adil, tapi menjadi orang yang baik—secara moral—selalu menjadi pilar utama kebahagiaan.

Itu!

Salam 

Doa Saya Hanya Ingin Bahagia, Tapi Allah Malah Memberi Saya Lebih Banyak Air Mata

Tuhan berjanji bahwa jika kita berdoa, Dia pasti mengkabulkan. Tapi doa yang bagaimana? Mari kita lihat:

Pertama-tama, mari kita sadari bahwa ketika kita berdoa ingin bahagia, sebetulnya hati kita lebih takut untuk sedih, lebih takut untuk terluka. Akibatnya, yang ‘bergerak’ dengan kekuatan yang lebih hebat bukanlah doa yang kita ucapkan dan pikirkan, melainkan ‘ketakutan’ dalam hati yang kita rasakan. Itulah kenapa ketika kita berdoa ingin juara 1, kita malah kalah sejak babak awal.

Karena itu, berdoa harus diiringi perasaan tulus ikhlas, tawakkal, mangga teh teuing. Kecemasan dan ketegangan, bahwa doa kita jangan-jangan tidak akan dikabulkan, hanya akan membuat kecemasan dan ketegangan itu menjadi kenyataan. Karena itu, kakak saya dulu berkata, “Berdoa itu seperti ini saja, Fan: Ya Allah, aku sudah belajar dan menghafal dengan serius. Kini aku serahkan pada-Mu. Aku berharap bisa mendapat rengking 1, tapi Kau lebih Tahu apa yang Baik untukku. Tapi semoga ya Allah, apa yang baik menurutku, juga baik menurut-Mu. Amiin.”

Emha Ainun Najib, cendekiawan Muslim asal Jogja itu menawarkan sebuah persepsi baru. Doa, yang dalam pemahaman sederhana berarti meminta, memohon, dia tawarkan sebagai sebuah bentuk penyapaan. Memang, salah satu padanan kata dari doa—dawa’a—berarti menyapa. Jadi, ketika kita berdoa, ujarnya, anggaplah kita sedang menyapa Tuhan, dengan demikian Tuhan pun akan balas menyapa kita. Bukankah menyapa berarti ‘memberi sapaan’ sedangkan Allah berjanji bahwa yang memberi ‘satu’ akan dibalas ‘sepuluh kali lipat’?

Senada dengan persepsi ini, Erbe Sentanu berkata bahwa ketika kita berdoa, kondisikanlah hati kita seolah segalanya sudah terjadi. Jika kita ingin bisa masuk UNPAD, kondisikanlah hati kita seolah kita sudah berada di sana, seolah apa yang kita ‘minta’ sudah dikabulkan. Dengan perasaan semacam itu, kita akan menjadi lebih tenang dan yakin (bahwa segalanya akan terwujud) sehingga peluang keterwujudannya pun semakin besar.

Ini sejalan dengan hadist Nabi, bahwa doa-doa akan didengarkan, kecuali doa dari hati yang lalai. Hati yang lalai adalah hati yang tidak khusyu ketika berdoa, atau hati yang justru ‘meminta’ kebalikan dari apa yang kita ucapkan. Contohnya seperti tadi, mulut berkata ingin kaya, tapi hati sangat takut jatuh miskin. Maka, tak heran jika yang kedua yang terjadi.

Atau jika tidak, ketidakdikobulan doa, bisa jadi karena: kita tidak memahami cara berdoa yang baik (misalkan tidak diawali dengan bismillah dan hamdallah dan syahadatain dan shalawat) atau karena terhalang dosa-dosa kita (dan dengan demikianlah Allah menyayangi hamba-hamba-Nya). Memang kadang kita bertanya, “Si Anu melakukan dosa lebih besar daripada saya, tapi kenapa doanya dikabulkan?” Sekarang, anggap jika Si Anu memang melakukan dosa lebih besar daripada kita, walau belum tentu benar. Tapi anggap saja seperti itu, tapi kenapa doanya dikabulkan? Usahanya sukses? Karena Tuhan kadang membiarkan orang-orang yang (akibat ketidakmauannya bertobat) telah disesatkan-Nya untuk lebih sesat lewat kesuksesannya itu. Hal ini yang dinamakan istidraj.

Namun begitu, terkadang pengkabulan Allah terhadap doa-doa kita memang unik. Seperti halnya Mawar kita yang satu ini, yang ingin bahagia. Bukankah seseorang bisa (memaknai) arti bahagia setelah merasakan ‘kedukaan’? Bukankah jika seseorang ingin menjadi tentara yang hebat, dia harus dilatih dalam medan dan latihan yang menguras tenaga secara fisik dan mental? Bukankah untuk menjadi pandai kita harus melewati serangkaian proses belajar yang tidak mengenakkan dan ujian-ujian? Bisa jadi air mata, kekesalan dan kedukaan yang menimpa kita, selepas doa kita hanya untuk bahagia, adalah cara Tuhan membuka mata hati kita, sehingga kita bisa lebih mensyukuri dan merasakan kehadiran-Nya dalam hati kita. Kebahagiaan bukankah sesuatu yang terjadi atau menimpa kita. Kebahagiaan adalah bagaimana kita menyikapi segala sesuatu dengan penuh rasa syukur dan ikhlas.

Apa yang kita pikir ‘nasib buruk’ hari ini, bisa jadi adalah pintu yang disediakan Tuhan untuk ‘nasib baik’ esok hari. Tetaplah berprasangka baik pada Tuhan, karena rahmat-Nya melampaui segala sesuatu.

Depresi Terselubung dan Terapinya

Mawar yang satu ini adalah sahabat saya. Memang sudah sejak beberapa waktu yang lalu dia mengeluhkan kesemakinhilangan antusiasme dan minatnya, kemudahan dia merasa marah dan iri kepada teman-temannya yang lebih dulu bekerja, merasa gagal, dan merasa selalu kalah. Pada akhirnya, dia merasa tidak nyaman karena dia mulai sering merasa suudzan. Perasaan ini kemudian melahirkan semacam ketertekanan baru: merasa dikhianati. Seorang temannya yang bekerja di sebuah bank tempat lamaran Mawar kita ini ditolak, ‘secara misterius’ tak pernah lagi membalas sms dan menjawab telepon si Mawar. Kemudian, seorang temannya yang lain, yang justru memasukkan orang lain alih-alih Mawar ke tempat dia bekerja.

“Menurutmu, aku harus gimana?”

“Mengetahui apa yang terjadi pada kita sudah separuh langkah dari solusi. Jadi, yang perlu kita lakukan adalah mengetahui apa sebetulnya yang menimpamu,” ujar saya. Berdasarkan hasil anamnesis di atas, Mawar kita kemungkinan terserang depresi terselubung. Dari beberapa tekanan batin yang dia rasakan, beberapa diantaranya sangat khas dengan depresi terselubung.

Apa saja memangnya ciri-ciri orang yang terserang depresi terselubung? Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen (2005: 216), ciri-ciri orang yang terserang depresi terselubung adalah: kehilangan antusiasme, penurunan aktivitas fisik dan mental secara perlahan namun pasti, merasa kecil hati dan patah hati, kerja terasa menguras tenaga padahal tidak seberapa, kehilangan minat, alienasi, dan merasa bahwa kegagalan yang dia alami adalah kesalahan di masa lalunya.

Pada kondisi-kondisi tertentu, gejala ini bisa membuat kita mengalami self devaluation. Atau dalam istilah sederhananya: rendah diri. Dan pada pertemuan saya beberapa hari semenjak curhat pertamanya, gejala kerendahdirian itu dapat saya lihat dari sorot matanya. Serius!

Kenapa Mawar kita ini sampai terserang depresi terselubung?

Perhatikan: skripsinya adalah skripsi yang mendapat pujian paling banyak dari dosen paling killer di kampus, bahkan sidangnya hanya berkisar 10 menit saja! Namun kemudian, yang lebih cepat dapat pekerjaan justru yang skripsinya dapat ngorder atau hasil contekan. Mula-mula memang tak terlampau dia pedulikan, tapi lama-lama dia mulai merasa tertekan. Apalagi, beberapa lamaran yang dia layangkan ke bank-bank ditolak.

Tekanan ini mencapai puncaknya ketika kawannya—yang selama ini sama-sama berjuang mencari pekerjaan dengannya—justru mendapat pekerjaan. Ini membuatnya merasa kalah, gagal, sehingga pada akhirnya menghancurkan mentalnya. Apalagi, seperti diungkapkan David J. Lieberman, Ph.D dalam bukunya “Agar Siapa Saja Mau Melakukan Apa Saja Untuk Anda”, bahwa orang menganggur lebih berkemungkinan terserang gejala neurotis. Hal ini disebabkan pikirannya tak terfokus pada pekerjaan atau masalah, sehingga ‘menyerang’ ke dalam dirinya sendiri. (Sebagai catatan: Mawar kita yang satu ini sebetulnya memiliki warung, tapi merasa menganggur karena penghasilannya yang ‘belum seaman’ penghasilan karyawan bank).

Lalu, apa yang mestinya dilakukan?

Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen (dan beberapa penambahan alakadarnya dari saya) yang perlu dilakukan adalah:
1. Joging atau berjalan kaki pada pagi hari. Untuk merilekskan pikiran dan badan. Diperkuat oleh David J. Lieberman, Ph.D bahwa kondisi fisiologis (fisik) yang lentur dan tidak kaku/tegang, bisa ‘melenturkan’ kondisi hati/emosi yang sedang negatif. Jadi, jalan-jalan santai bisa membuat kita lebih segar, baik secara fisik maupun mental.
2. Apalagi kalau jalan-jalan santai itu dilakukan di tempat-tempat yang memiliki lanskap alam yang indah. Menghirup udara pagi yang segar, mendengarkan riak air sungai yang jernih, seperti diungkapkan dalam salah satu postingan Erbe Sentanu (Penulis “Quantum Ikhlas”), bisa membantu kita masuk ke kondisi ikhlas.
3. Mencoba melakukan hobi/sesuatu yang disenangi, agar pikiran kita punya fokus dan sesuatu yang harus dia ‘pikirkan’. Sehingga dia tidak menyerang ke ‘dalam diri kita’. Jika kita tahu harus mengejar sebuah bus, tentu kita tidak akan berkeluh kesah kepanasan seperti orang yang hanya berdiri diam di tengah lapangan, bukan?
4. Sujud syukur. Terapi terakhir ini yang—salah satunya—membantu saya melewati masa-masa sulit saya selama beberapa tahun. Sujud syukur setidaknya melatih kita untuk lebih fasih melihat hal-hal baik ketimbang hal-hal buruk, sehingga apapun yang terjadi, kita bisa tetap merasa penuh berkah dan berkelimpahan.
5. Menulis. Menulis adalah terapi yang baik. Menuliskan apa yang membuat kita merasa tertekan, bisa membantu meredakan ketegangan psikis dari masalah tersebut. Kadang malah bisa membantu kita melihat jalan keluar.
6. Namun demikian, kadang self devaluation, yang terlanjur hadir akibat depresi terselubung itu bisa membuat kita terus ‘terpenjara’ dalam ‘perasaan kegagalan’ kita, sehingga pada akhirnya, secara alamiah membuat kita terus-menerus gagal. Untuk itu, kamu harus membangun kembali mental juara kamu! Mental penaklukkan. Taklukkanlah hal-hal kecil kemudian belajarlah untuk yakin bahwa, jika hal itu bisa ditaklukkan, tentu hal yang lebih besar bisa. Kenapa tidak, bukan?

Salam 

Minggu, 26 Juni 2011

Kang Irfan, Saya Benci dengan Keluarga Saya!

Mawar yang ini berteman dengan saya setelah dia membaca buku saya. Setelah berhasil mendapatkan nomor hape saya lewat sebuah usaha yang cerdik, kami saling bertukar sms. Lama kemudian, dia mulai sering share. Katakanlah, keluarganya broken home, yang membuatnya sering main malam. Suatu hari, kakeknya memukul dia sampai—menurut penuturannya, entah benar entah tidak—seluruh badannya memar-memar. Berkali-kali dia bilang, selain ingin bunuh diri, dia juga ingin kabur.

“Kakek saya mukul hanya karena saya ngebentak dia Kang. Atuda suka kesel kalau lagi nonton TV, disuruh-suruh.”

Saya mengurut dada. Berusaha menjelaskan bahwa sikapnya juga tidak baik, kendati tidak menafikan bahwa—jika memang benar—aksi pemukulan sampai memar-memar itu juga tidaklah terlalu baik. Tapi kemudian, mari kita diskusi soal kebencian ini.

Kekerasan kepada anak, kata Kak Seto dalam sebuah surat kabar, diakibatkan oleh orang tua. Kita juga lebih sering merasa kecewa kepada keluarga dibandingkan kepada teman. Kenapa bisa demikian?

Pertama, kepada keluarga, kita mengharapkan dan menuntut lebih, sehingga kita cenderung mudah kecewa. Kepada kakak misalnya, kita ‘tahu’ bahwa dia kakak kita, dan dengan demikian, secara tidak sadar kita mengharapkan sekaligus menuntut dia selalu lebih dewasa daripada kita, mau mengalah terhadap kita, dan lain-lain, dan lain-lain. Akibatnya, ketika si kakak ‘tidak sedang bersikap dewasa’ kita merasa marah.

Kedua, karena kita merasa ‘memiliki’ keluarga kita. Perasaan memiliki ini membuat kita merasa berhak mengatur-atur keluarga kita. Kasus demikian bisa terlihat dari (1) orangtua yang terlalu memaksa anaknya mengerjakan apa yang dia inginkan, memaksa anaknya jadi imitator dirinya, atau (2) kakak yang terlalu mengekang adiknya untuk mengerjakan ini dan itu, dan (3) seorang adik yang memaksa orang tua dan kakak untuk membiarkan dia melakukan apapun walaupun itu salah.

Ketika semua itu tidak terpenuhi, kita akan menuduh keluarga kita tidak adil, orang tua kita tidak adil, kakak kita tidak asyik, atau jika kamu sudah menjadi orang tua, anak kita keras kepala. Bagi anak-anak seusia remaja, hal ini akan melahirkan perasaan kecewa. Mereka akan merasa kehilangan. Kemudian merasa tidak diperhatikan, merasa sendirian, yang sejatinya akan melahirkan sebentuk kebencian.

Karena itu, komunikasi yang hangat diantara sesama keluarga mutlak diperlukan. Di era teknologi informasi seperti sekarang, dimana tontonan dan game merangsang anak muda berlaku lebih ekspresif sekaligus agresif, peran kehangatan orangtua sangat menunjung terbangunnya keseimbangan.

Dalam acara penganugerahan piala kumon dimana saya menemai keponakan saya yang menjadi 1000 siswa terbaik Kumon diantara 12.000 siswanya, filosofi belajar Lembaga Pendidikan asal Jepang itu satu: bahwa anak-anak jangan dipaksa untuk mengerjakan, tapi didorong, diberi pengertian, dan ditemani.

Pada akhirnya mungkin yang harus ada dalam keluarga adalah cinta. Percaya atau tidak, kehangatan inilah yang akan mula-mula mempengaruhi tumbuh-kembang anak-anak.

Senin, 20 Juni 2011

Kang Irfan, Bantu Saya Milih Fakultas yang Pas dong!

Bagi mereka yang baru lulus, memilih jurusan kuliah adalah momok yang agak menakutkan. Apalagi jika menyangkut masalah SNMPTN beserta segala kemungkinannya. Mawar kita yang satu ini berada dalam kondisi yang demikian: sangat berobsesi masuk fakultas kedokteran, namun agak bimbang setelah tidak lulus SNMPTN Undangan. Guru-guru di bimbelannya menyarankan, jika dia memang ingin masuk fak. Kedokteran, ambil saja pilihan yang di luar pulau Jawa, sehingga passing gradenya kecil.

Saya: Sebentar, jadi untuk pilihan 1, apa saja?
Dia: Fak. Kedokteran Kang sama Fak. Kedokteran gigi. Tapi Fak. Kedokteran gigi sebenarnya tidak terlalu sreg. Pengennya kedokteran. Tapi takut, Kang.
Saya: Terus pilihan kedua?
Dia: Mungkin ngambil STAN, atau Biologi UPI, atau MIPA ITB.
Saya: Nah, menurut saya, lebih baik pilihan 1 adalah memang yang sesuai kehendak hati kita, misalkan Fak. Kedokteran UNPAD. Nah, di pilihan yang kedua baru aja pilihan yang sesuai dengan hati namun passing gradenya agak kecil.
Dia: Tapi bagaimana kalau tidak lulus?
Saya: Daripada maksain diri karena takut nggak lulus terus milih Fak. Kedokteran Gigi. Hayo? Nah, bagaimana kalau ternyata nanti hasil SNPMTN-nya malah lulus? Hayo? Rugi kan? Pasti nyesel kenapa nggak milih kedokteran.
Dia: iya juga sih....
Saya: Kan kamu masih agak ketakutan gara-gara nggak lulus SNPMTN Undangan, makanya jadi nggak yakin. Coba deh kondisikan dulu hatinya. Inget-inget prestasi yang pernah diraih, bagaimana itu semua “MUNGKIN” kemudian yakinin dalam hati bahwa jika semua prestasi itu “MUNGKIN” kenapa masuk ke Kedokteran menjadi “TIDAK MUNGKIN?”
Dia: itu selalu kang, selalu aku lakuin....
Saya: Bagus. Kalau begitu, menurut saya, lebih baik pilihan 1 Fak. Kedokteran. Risiko terburuknya jelas, tidak lulus. Tapi lihat kemungkinan terbaiknya? Daripada maksain di Fak. Kedokteran gigi dengan setengah hati. Toh risiko terburuknya tetap saja sama, tidak lulus. Nah, baru di pilihan dua, kamu harus lebih selektif. Mana diantara semua itu yang kamu inginkan?
Dia: Hmm, biologi UPI atau MIPA ITB.
Saya: Nah, nggak apa-apa, ayo silakan milih.  Lagipula, kalau risiko terburuknya nggak lulus, kan kamu masih bisa ikutan tahun depan, bukan?
Dia: Iiih si Akang mah....
Saya: ahahahaha

Cat: Setiap pilihan mengandung risiko, tapi tidak semua risiko itu bersifat ‘tak terukur’. Beberapa risiko memang ‘terukur’, sehingga kita tidak perlu lantas menjadi takut mengambil risiko yang semacam itu. Konon, kata orang bijak, orang-orang sukses adalah mereka yang berani mengambil risiko (yang terukur). Namun demikian, kesuksesan dalam keberanian mengambil risiko itu disertai pula dengan strategi agar risiko yang besar itu tidak menjadi hambatan, alih-alih justru jembatan kita meraih kesuksesan.  Selamat memilih, selamat menentukan pilihan.

Kang Irfan, Apakah Saya Harus Terus Mengalah?

Mawar: Pacar saya kadang egois, saya selalu terpaksa mengalah, diam saja daripada terjadi pertengkaran. Tapi gara-gara itu, saya sering merasa tertekan, sampai akhirnya menangis dan menangis sendirian.

Hubungan antarmanusia, dalam skala dan jenis apapun, sangat dipengaruhi oleh kualitas komunikasi. Karena itu, barangkali yang diperlukan disini adalah kesalingmengertian. Sikap keterbukaan adalah hal yang mutlak dilakukan. Mengalah memang baik, tapi jika dilakukan dengan keterpaksaan sampai ‘makan hati’, malah akan membuat cinta yang mestinya membahagiakan malah menyengsarakan.

Oleh karenanya, diperlukan sikaf asertif yang memadai. Kamu harus bisa mengkomunikasikan setiap masalah, setiap kesalahpahaman, sehingga kedua pihak bisa saling mengerti. Daripada dipendem malah jadi bumerang, sewaktu-waktu. Memang kadang kita balik bertanya dengan sengit, “Tapi pacar saya egois, dia nggak mungkin bisa ngerti!”

Perhatikan: orang yang pacaran, biasanya ‘mengharapkan’ dan ‘menuntut’ lebih kepada pasangannya, sehingga kita rentan merasa ‘kecewa’. Kita tidak menuntut banyak pada teman, sehingga ketika sikap dia bernilai 7 bagi kita, kita tak merasa kecewa. Tapi berbeda dengan pacar, kita menuntut mereka untuk dapat bernilai 10, nilai sempurna, sehingga sedikit saja salah, kita merasa kecewa, tidak diperhatikan, dicuekin, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Memang ada kalanya kita harus mengalah, bersabar, tapi itu tidak sama artinya dengan membiarkan masalah terpendam dalam hati kita. Yang sewaktu-waktu bisa menjadi bumerang bagi kita dan hubungan kita. Kira-kira begitu.

Kang Irfan, Pacar Saya Posesif!

Mawar: Duuuuh pusing deh, kemana-mana ga boleh, kumpul sama temen harus selalu bareng dia. Pasword facebook juga dia yang pegang, alasannya takut saya macem-macem ceunah?

Saya: hmm, memang cerita yang seperti ini klasik. Tapi coba perhatikan: sikap posesif biasanya lahir (atau timbul) dari perasaan takut kehilangan. Perasaan takut kehilangan biasanya lahir dari perasaan memiliki. Jadi dalam beberapa hal, segalanya memang berjalan alamiah. Karena itu, barangkali, agar kita tidak menjadi posesif, kita harus sadar bahwa cinta adalah menyoal memberi, dan bahwa kekasih kita bukanlah seseorang yang kita miliki, melainkan lebih daripada itu, seseorang yang kita beri kasih sayang. Memang ‘keikhlasan’ semacam ini, bahwa cinta adalah saling memberi dan bukannya saling memaksa, saling merenggut, menjadi agak sulit, bahkan bagi sebagian orang terkesan utopis. Letto bilang dalam salah satu lagunya, “Merasa kehilangan hanya akan ada, bila kau pernah merasa memilikinya.”

Posesif sendiri, akibatnya, bisa digambarkan dalam sebuah percobaan fisika sederhana: menekan mangkuk terbalik ke dalam air. Semakin keras kamu menekan mangkuk itu, semakin keras pula usaha sang mangkuk dalam melawan. Kan begitu? Nah posesif juga demikian: semakin posesif seorang kekasih, semakin mendorong pasangannya untuk ‘melawan’. Perlawanan itu bisa berupa, kemudahan terjadi perselisihan, atau bahkan perselingkuhan.

Apalagi jika dalam hubungan itu terjadi kegiatan-kegiatan yang sebetulnya, baik secara moral agama maupun budaya ketimuran kita, dilarang. Semakin ‘jauh’ batas wilayah itu dilewati, akan semakin rentan pula hadirnya gejala yang lebih buruk dari sekedar posesif, yakni paranoid state. Ketika misalnya, kamu ‘biasa’ berciuman dengan pacar kamu, maka ketika dia bersama teman-teman cowoknya, akan ada pikiran begini: dengan saya saja dia biasa ciuman, bagaimana kalau begitu juga dia dengan kawan-kawannya?

Nah, kamu boleh menganalogikannya ke dalam hal yang lebih jauh.

Apa yang dialami Mawar, dialami juga oleh banyak pasangan belia. Tapi entah dengan yang terjadi padamu. Apa juga begitu?

Kang Irfan, Menurut Ramalan Saya Tidak Akan Berjodoh dengan Pacar Saya. Bagaimana ini?

Dua orang yang curhat kepada saya mengenai masalah ini. Mawar I, dia berkata telah diramal oleh dua orang sekaligus, pertama tukang sol sepatu misterius, dan kedua sahabat neneknya yang sedikit berlabel paranormal. Sedangkan Mawar 2, yang cenderung mudah terpengaruh, merasa kesal, saat seorang lelaki dewasa, sahabat keluarganya, berkata bahwa jika dia menikah dengan pacarnya yang sekarang, dia akan hidup melarat.

Jawaban saya sederhana, (1) ramalan itu bisa disebut prediksi. Dalam beberapa hal ramalan atau dalam bahasa Inggrisnya “Forecasting” memang biasa dilakukan dalam rangka mengantisipasi keserbamungkinan di masa yang akan datang. Perusahaan-perusahaan juga melakukan yang demikian. Dalam taraf kecil, kita juga melakukan. Misalkan, awan mendung, kemudian kita memprediksi bahwa hujan akan turun, dengan demikian kita pergi bekerja membawa payung. Jadi prediksi adalah praduga kita mengenai kemungkinan di masa depan berdasarkan fakta-fakta yang terjadi hari ini. Tapi catat: segalanya belum tentu seratus persen benar, oke?

Nah, kedua, ramalan hanya akan menjadi kenyataan bila kita memilih untuk mempercayainya. Adalah bagus sekaligus menarik pemaparan Deddy Corbuzier dalam bukunya Mantra mengenai pembahasan ramalan seperti ini. Dia bilang, seseorang yang diramalkan akan berjodoh dengan bule, pada akhirnya melalui pilihan-pilihan (baik yang sadar maupun a-sadar) akan cenderung berusaha untuk mewujudkan ramalan tersebut. Jadi ketika dia “percaya” bahwa jodohnya adalah orang bule, maka dia hanya akan “melihat” orang bule dan bukannya produk lokal sebagai incaran jodohnya. Begitulah, maka kemungkinan menjadi kenyataan menjadi besar. Bukan karena ketepatan ramalannya, melainkan karena keyakinan si orang tersebut bahwa jodohnya memang seorang bule. Ini yang harus diperhatikan, oke?

Ketiga, apa yang bisa kita ambil dari kejadian ini? Setidak-tidaknya sebuah hal mendasar mengenai moral: jangan berlebihan dalam menjalin hubungan percintaan itu, karena belum tentu dia memang yang terbaik. Batasan-batasan yang ditetapkan—entah oleh agama maupun norma—memang ditujukan agar tercipta kedamaian dalam diri kita semua. Laki-laki pandai menjanjikan pernikahan, jadi sebelum itu benar-benar terwujud, jangan seratus persen percaya, jangan lantas menyerahkan segala-galanya.

Mawar: tapi bagaimana kalau ternyata benar?

Saya: Setidak-tidaknya begini sajalah, imbangi dengan doa: ya Allah, Engkau Maha Mengetahui mengenai ramalan itu. Sepenuhnya aku berserah. Jika dia memang yang terbaik buatku, aku bersyukur. Tapi jika bukan, lapangkan dan terangkan hatiku agar bisa menerima keputusan-Mu. Karena yang baik menurut-Mu, baik pula menurutku. Dan begitu juga sebaliknya. Namun demikian, jika aku boleh sedikit berharap, tentu akan membahagiakan jika siapa yang terbaik menurut-Mu, adalah yang terbaik pula menurut-Ku. Amien.

Begitulah.

Sabtu, 18 Juni 2011

Kang Irfan, Emang Kalau Nangis itu Cengeng ya?

Kang Irfan, Emang Kalau Nangis itu Cengeng ya?

Mawar: Kang Irfan, emang kalau kita dapet masalah trus nangis, nggak boleh ya? Apalagi kalau cowok. Gitu ya?

Saya: Ah nggak juga. Saya kadang juga suka nangis. Rasulullah saja suka nangis. Kenapa nangis dilarang? Begini: saya selalu berpendapat kalau ketika kita tertimpa masalah, kita sebetulnya menghadapi dua hal. “Masalah” itu sendiri dan “Efek dari Masalah” kita.

Ambil contoh: putus dengan pacar.

Masalah: putus dengan pacar.

Efek: Sedih, Kecewa, Marah.

Nah, nangis memang tidak akan mengubah keadaan, atau tidak akan menyelesaikan masalah. Kita bukan Nobita dan Doraemon juga hanya tokoh khayalan. Jadi satu-satunya cara menyelesaikan masalah adalah menghadapi masalah kita, menyusun strategi agar kita bisa mengalahkannya!

Namun demikian, menangis juga berfungsi dalam hal menetralisir atau paling tidak mengurangi efek dari masalah itu. Misalkan, kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan kita bisa sedikit ternetralisir dengan tangisan itu. Beberapa kali teman perempuan curhat kepada saya mengenai hal-hal semacam ini, dan saya selalu membiarkan mereka menangis. Cenderung menyuruh. Dengan begitu, kadang-kadang setelah lelah menangis, dia berkata, “Yah, mungkin memang belum jodoh....” Dan seterusnya.

Efek masalah itu seperti kabut, membuat kita tidak bisa melihat dengan JELAS masalah kita. Dengan tangis, kabut itu perlahan surut dan masalahpun terlihat JELAS. Hanya saja, sebagai catatan, jangan hanya lantas usaha kita berhenti di prosesi “MENANGIS(I)” saja. Alih-alih, prosesi menangis harus dijadikan tumpuan untuk kita mendapat kekuatan lebih dalam menyelesaikan masalah.

Jeane Webster bilang, “Boleh menangis, tapi tentukan batas waktunya. Jika batas waktu itu telah habis, maka kita harus komit terhadap diri sendiri untuk tidak lagi menangis dan mulai menghadapi masalah kita, apapun itu.” Karena, hidup harus terus berjalan.... Bagaimana menurutmu?

Kang Irfan, Ortu Saya Cerai, Saya Harus Ikut Siapa?

Ujang: Fan, teman saya curhat kalau ortunya cerai. Terus dia tanya sama saya, dia harus ikut siapa?

Saya: Memang selalu agak dilematis. Sebelum membantu memberi saran, saya harus tahu terlebih dahulu, (1) latar belakang penyebab perceraian, (2) kecenderungan hati teman Kang Ujang lebih kepada ayah ataukah ibu, (3) efek kalau temannya itu (mari kita anggap Mawar) memlih ayah atau memilih ibu, apa? Baik bagi salah satu orangtuanya, maupun dia sendiri.

Karena, dengan tahu latar belakang penyebab perceraian, kita akan tahu siapa diantara kedua orang tua Mawar yang lebih siap mengasihi, menyayangi, dan mengayomi Mawar. Jika perceraian diakibatkan suami yang selingkuh atau suka memukuli misalkan, tentu Mawar lebih baik ikut ibunya. Atau kedua, kata hati Mawar. Bagian ini menyangkut hadist Rasul, bahwa firasat seorang mukmin adalah cahaya Allah (Mukhtarol Hadist). Barangkali ‘sejalan’ juga dengan teori Otak Tengah yang sekarang ramai dan kontroversial itu, ataupun mengenai konsep intuisi. Bisa dicek gi google ya tentang keduanya... hehehe

Pada poin ketiga, kita akan melihat mana yang kira-kira bisa menjadi pilihan yang sama-sama menguntungkan. Hal ini bisa dilihat dari efek pemilihan itu. Untuk mengetahui efek atau ‘kemungkinan efek’ itu kita bisa tahu dari cerita mengenai latar belakang perceraian, watak orang tua, budaya keluarga, konteks lingkungan. Dan hal itu saya perlu melakukan anamnesis terlebih dahulu. Ngobrol lebih jauh. Bagaimana?

Setelah menunggu beberapa lama, Kang Ujang membalas sms saya: Kang Irfan, kata dia, lebih baik dia ikut saya ceunah, daripada ikut kedua orang tuanya. Hahahaha.

Saya: beuuuuuuuh, nanti terjadi hal-hal yang diinginkan dong?

Ujang: ahahahaha....

Masalah ini belum terpecahkan. Tapi semoga kawan dapat mengambil manfaat. Salam.

Minggu, 12 Juni 2011

Kang Irfan, Saya Nembak Cewek Tapi Digantung

Ujang: saya sudah menyatakan cinta saya dan kemudian dia tidak menolak juga tidak mengiyakan, hanya bilang masih trauma. Dan hati saya terasa hampa.

Dear Ujang
Pertama, wajar kalau kamu ngerasa hampa, karena bagaimanapun cinta bertepuk sebelah tangan adalah hal yang mengiriskan hati dan perasaan. Kehampaan itu lebih disebabkan oleh ketidakterpenuhinya hasrat hati kamu. Ibarat tepuk tangan, dia hanya akan mengeluarkan suara jika dilakukan oleh lebih dari satu belah tangan. Satu belah tangan menepuk tanpa disambut tangan yang satu lagi tak menghasilkan apa-apa, hanya kekosongan.

Namun begitu, kedua, ini bisa jadi ujian. Perempuan itu ingin diperjuangkan. Mereka ingin dianggap berharga. Mereka ingin dicintai dan dimengerti. Mereka ingin melihat kesungguhan kita. Karena itu, yang harus kamu lakukan adalah bahwa kamu bisa memberikan kesungguhan itu. Bahwa dia tidak akan salah pilih. Cinta dan komitmen harus seiring sejalan. Perselingkuhan atau pelanggaran terhadap komitmen akan menjadi rasa sakit yang bisa jadi tak bisa hilang.

Seorang lelaki haruslah mampu membuktikan komitmennya. Dan bukti cinta dan komitmen seorang lelaki terhadap seorang perempuan, katanya sih, adalah ketika lelaki itu siap menikah dengan si perempuan. :-) Bagaimana menurutmu?

Kang Irfan, Kenapa Sih Hidup Saya Kayak Gini?

Dear Mawar,

Yang harus kita sadari bahwa sifat hidup itu sederhana: kita tidak bisa mengubah skenario dasar kehidupan kita, namun soal bagaimana skenario itu berkembang dan berakhir, kita punya 'kekuasaan' untuk mengubahnya. Dalam beberapa hal, kita cenderung menjadi tidak arif. Kita hanya 'melihat' hal-hal yang kelihatan 'baik' dan 'bagus' dan 'hebat' pada kehidupan orang lain, sehingga kita cenderung iri dan tidak mensyukuri skenario dasar kehidupan kita.

Ah ya, lupa, yang termasuk skenario dasar itu adalah: siapa orang tua kita, apa jenis kelamin kita, bagaimana bentuk wajah kita, sifat dasar kita, bakat alami kita, lingkungan kita, dan seterusnya. Dalam penentuan skenario dasar itu kita tidak memiliki kekuasaan memilih. Namun demikian, satu hal yang pasti, bahwa ketika Tuhan memilihkan satu skenario kehidupan untuk salah seorang hamba-Nya, itu sudah melalui perhitungan yang Maha Matang: Dia menentukan 'kita' sebagai 'kita' karena kita hanya akan mampu hidup sebagai 'kita'.

Karena setiap hidup adalah tantangan, maka keharusan kita hanyalah menjawab dan mengalahkan tantangan itu. Selalu meratapi apa yang 'tidak sesuai menurut kita' dalam hidup kita hanya akan membuat kita jalan di tempat, bahkan cenderung mundur. Perhatikan, setiap pemenang, setiap juara berhasil mengalahkan 'tantangan' dan 'lawan' mereka, tak peduli seperti apapun tantangan itu.

Seorang santri pernah curhat sama saya: aduh Kang, saya mah susah ngapalin alfiah karena harus ngurus keponakan saya. Dalam hati, saya bilang: saya juga harus bekerja setiap hari dan nyuri-nyuri waktu untuk mengaji di sela kesibukan saya juga menulis buku. Tapi saya bisa, karena saya mau, karena saya ngotot. Jadi bukankah daripada terus mempermasalahkan 'kenapa sih masalah ini harus terjadi sama saya?' atau 'kenapa sih hidup saya kayak gini?' bukankah lebih baik, 'Nah, apa yang harus saya lakukan agar saya bisa mengalahkan tantangan ini?' Dua pertanyaan pertama hanya menimbulkan keluh kesah. Pertanyaan terakhir mendorong kamu menemukan cara, menemukan strategi, menemukan jalan. :-)

Semangat menghidupi kehidupan!

Jumat, 10 Juni 2011

Kang Irfan, Setelah Menikah Saya Jadi Punya Banyak Hutang.

Dear Ujang,

Memang pernikahan bukanlah semata mengenai menyatukan dua sejoli. Tapi lebih dari itu, juga menyatukan dua kepribadian, dua dunia, dua karakter, dua kebiasaan, persamaan dan perbedaan. Bahkan, jika dirunut lebih jauh juga menyangkut perbedaan karakter keluarga, karakter masyarakat tempat tinggal, dan seterusnya. Dari semua masalah yang biasa terjadi dalam pernikahan, masalah yang dimulai dari makhluk bernama UANG, memang tidak kalah memusingkan.

Buktinya, banyak orang yang bercerai karena masalah ekonomi. Entah karena lupa diri gara-gara kebanyakan uang ataupun tak kuat sabar karena keserbakurangan uang. Karena itu, penting untuk mengkomunikasikan masalah uang dengan baik antara pasangan suami istri. Keterbukaan dan kejujuran serta kerjasama pengelolaan uang memang mutlak diperlukan.

Pada kasus Kang Ujang yang satu ini, dia menggunakan seluruh penghasilannya untuk membiayai keluarga, sedangkan penghasilan istri tidak disentuh sama sekali. Selain itu, pengelolaan uang juga tidak menggunakan prinsip pengelolaan uang yang sehat, sehingga wajar apabila Kang Ujang sampai harus gali lubang dan kesulitan menutupnya.

Beberapa saran yang bisa disampaikan adalah:
1. Komunikasikan dengan istri, bagaimana sebaiknya pengelolaan uang bersama. Sehingga tidak timbul perselisihan gara-gara penghasilan suami yang dipakai habis, sedangkan penghasilan istri tidak bisa disentuh sama sekali. Kesepakatan dari poin ini bisa sangat mempengaruhi. Entah apakah kesepakatan itu berupa (1) penghasilan suami saja yang digunakan dan penghasilan istri tidak boleh, (2) penghasilan bersama dikelola bersama secara terbuka, ataukah (3) penghasilan istri saja yang dipakai dan yang suami tidak boleh, yang penting kesepakatan itu harus dirasa adil oleh kedua belah pihak (win win solution).

2. Kelolalah uang dalam rumah tangga dengan menggunakan prinsip keuangan yang sehat. Normalnya, hanya 80% saja dari total penghasilan yang 'boleh' digunakan untuk keperluan sehari-hari dan cicilan-cicilan. Sisa 20% ditabung atau diinvestasikan sesuai kebutuhan. Kamu bisa menggunakan jasa perencana keuangan jika kamu merasa tidak mampu mengaturnya sendirian. Atau bisa juga dengan membeli buku-buku perencanaan keuangan (saat ini banyak yang beredar dengan menggunakan bahasa populer sehingga mudah dimengerti), atau bisa cek di beberapa website seperti: www.perencanakeuangan.com atau www.danareksaonline.com atau keuangankeluarga.blogspot.com.

3. Kamu harus cerdas memilih kebutuhan dan keperluan hidup. Karena kebutuhan itu terbagi ke dalam empat jenis:
(1) Penting dan Mendesak seperti kebutuhan makan dan minum
(2) Tidak Penting tapi Mendesak seperti membeli boneka  untuk kado ulang tahun.
(3) Penting dan Tidak Mendesak seperti kebutahan dana pendidikan anak.
(4) Tidak Penting Tidak Mendesak seperti ganti motor.

Lebih jelas bisa tengok di http://books.google.co.id/books?id=Gu290Clg6G8C&pg=PA12&lpg=PA12&dq=kebutuhan+tidak+penting+mendesak&source=bl&ots=09U0_nC7J7&sig=W_u_dCoQOW3tHYMnIyZiKRh24oM&hl=id&ei=aizyTeurF4j4rQeDrZX6Bw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CDsQ6AEwBg#v=onepage&q=kebutuhan%20tidak%20penting%20mendesak&f=false

Nah, bagaimana menurut kamu? :-)