Kamis, 22 Desember 2011

Sandaran Kebahagiaan

Mawar bilang, “Kebahagiaan ditentukan oleh orang dan waktu yang tepat.” Tapi saya ingin bilang bahwa itu tidaklah terlalu tepat.

Pada tahun 2010-an, ketika kefanatikan saya terhadap Manchester United masih ‘labil dan naif’—tipikal hubungan anak-anak remaja—saya menyandarkan kebahagiaan saya pada Si Iblis Merah tersebut. Jadi, penghiburan saya waktu itu, dari stres di tempat kerja dan mood kurang baik saat menulis, ya, kemenangan dan permainan atraktif Vidic dkk. Tapi, kan yang namanya permainan, ada menang dan ada kalah. Dan MU, kendati sebuah klub besar, tetap saja toh kadang-kadang kalah. Dan menjadikan MU sandaran kebahagiaan itu bikin saya bahagia pas mereka menang, tapi bikin galau sakau saat mereka kalah. Belum lagi ejekan dari orang-orang di sekitar. Wah, ibarat sudah jatuh tertimpa Agnes Monica. #eh

Nah, pada saat itulah saya mengambil sebuah pelajaran. Bahwa kebahagiaan tidak boleh disandarkan pada sesuatu yang sifatnya fana, yang sifatnya bergerak. Karena, jika kebahagiaan disandarkan pada yang fana, maka kita akan kehilangan kebahagiaan itu ketika sandaran itu hilang. Entah misalkan, jika dia manusia, meninggal atau pergi nggak pulang-pulang seperti Bang Toyib. Atau pada sesuatu yang sifatnya bergerak seperti MU tadi. Dia kadang naik, dia kadang turun. Ini bikin kebahagiaan kita diturun-naikkan oleh hal tersebut. Oleh si “moodbuster” itu.

Masalahnya adalah, ini bisa berefek pada kegiatan kita sehari-hari. Kan nggak lucu dong, mau fokus ngerjain sesuatu, eh tiba-tiba moodnya ilang karena (1) pacar nggak ngesms, (2) klub kesayangan kalah, (3) belum bayar utang, (4) dikejar-kejar hansip #loh? Nah,terus bagaimana?

Simpel saja. Bagi saya, sandaran kebahagiaan itu cukuplah Allah dan Rasul-Nya. Ajeg dan tidak fana. Kendati Rasulullah sudah meninggal, kesempurnaannya tak lekang dimakan masa. Tuhan Selalu Ada. Lebih dekat dari urat nadi kita, dari detak jantung kita. Maka, sandaran mana lagi yang lebih baik? Tidak ada.

Saya mencoba menaruh rasa cinta saya pada MU, pada tempatnya yang pas. Agak sulit pada awalnya, tapi akhirnya saya bisa (setidaknya) untuk tetap berbahagia ketika MU menang sekaligus tidak larut dalam kesedihan saat MU kalah. Karena saya mencintai, tapi tidak menjadikan MU sebagai sumber kebahagiaan saya. Kabar baiknya, ini membantu saya untuk tidak bersikap rasis terhadap basis fan fanatik klub lain.

Menyandarkan kebahagiaan kepada Allah akan membantu kamu untuk zuhud, mudah bersyukur, sabar, dan ikhlas. Kualitas apa lagi yang dibutuhkan selain semua itu untuk bahagia? Zuhud mengajari kita untuk tidak merasa memiliki agar tidak merasa kehilangan (catat! Merasa memiliki berbeda dengan memiliki). Bersyukur membantu kita melihat sisi positif dari segala sesuatu. Sabar, membantu kita bertahan pada titik nadir. Ikhlas, membantu kita menerima dengan lapang dada. Berbahagialah, engkau, berbahagialah!

Dalam Luka (2)


Semua luka bisa sembuh, karena sifat semua luka memang tidak ada yang abadi. Jika bukan kesembuhan, maka kematian akan membebaskan luka itu. Jika bukan karena obat, tentu karena ketawakkalan dan kesabaran, sikap penerimaan yang dilandasi rasa syukur dan iman.

Tapi tidak semua luka bisa hilang, karena banyak luka yang selalu meninggalkan jejak, meninggalkan bekas. Seperti bekas-bekas borok. Seperti Billy si Pengidar Schizopernia yang bekasnya luka berasal dari penyiksaan ayah tirinya. Perhatikan: lukanya itu adalah luka anak kecil yang disiksa. Bekas lukanya adalah: perpecahan kepribadian yang membuatnya harus bergantung pada pengobatan-pengobatan medis di rumah sakit jiwa.

Tapi tidak selalu berarti buruk. Bekas luka juga bisa bermakna positif. Seseorang bilang, “Apa yang tidak membunuhmu, akan membuatmu lebih kuat.” Pun demikian juga dengan luka, dan bekas yang ditinggalkannya. Hari engkau terluka karena dikhianati, jika kau tabah dan menerima, rasa sakit yang membekas itu akan membuatmu lebih kuat. Engkau dicampakkan, hari ini, dan menangis meratap-ratap, tapi jika engkau kuat dan memperlakukan luka itu dengan sebuah sikap penerimaan penuh syukur, engkau akan lebih tegar.

Jika engkau hari ini gagal dan dicemooh, kemudian engkau bertahan, percayalah suatu saat kau takkan mudah roboh. Sekalipun badai besar menerjang. Jika engkau hari ini dihantamkan ke tanah, kemudian berbalik menerjang ke angkasa, percayalah kau akan mampu meloncat lebih tinggi.

Luka adalah impuls. Respon kita yang akan menentukan. Ketika kita merespon dengan positif, maka ia akan seumpama imunitas, ia akan seumpama racun dalam obat: bukan membunuhmu, melainkan mengobati kelemahanmu, menguatkan daya tahanmu. Tapi jika engkau merespon negatif, maka ia akan berbalik mencari racun dalam makanan: bukan mengenyangkanmu, malah membuatmu jatuh terkapar.

Berbahagialah yang pernah terluka kemudian bertahan, karena dia sedang dikuatkan!

Dalam Luka (1)

“Semua luka bisa sembuh, tapi tidak semua luka bisa hilang,” tulis Fahd Djibran suatu kali dalam akun facebooknya.

Benar. Mawar yang ini adalah teman seangkatan sewaktu SMA. Bersahabat karib dengan 4 perempuan lain yang juga sahabat saya. Baru saja putus dengan pacarnya padahal hanya hitungan hari ke pertunangan. Apalagi, 3 sahabatnya sudah menikah. Dua sudah hamil. Otomatis, dia merasa tertekan. Bukan hanya karena merasa dicampakkan, tapi juga karena merasa iri—secara tidak sadar—pada teman-temannya yang kisah cintanya happy ending.

Chatting via Blackberry massanger. Pada saya menanyakan menyoal istikharah. Saya jelaskan bahwa ada beberapa metode istikharah, mulai dari yang afdhal, yang menggunakan media yaasin, sampai yang tidak melalui mimpi tapi kurang afdhal. Namun demikian, saya menyarankan begini: shalat hajat saja.

Pada shalat hajat itu, kita minta ditunjukkan sama Allah, bukan hanya mengenai “siapa” tapi juga mengenai jalannya. Jika dia memang yang terbaik, semoga dilapangkan dan diberkahkan jalannya. Jika memang bukan, semoga hati kamu dilapangkan dan diikhlaskan sehingga bisa menerima dengan “mudah”. InsyaAllah, nantinya Allah akan membikin mudah. Mengingatkan kamu untuk syukur ketika bahagia, tapi juga merekatkan dan memeluk hati kamu ketika kamu merasa terluka.

Walaupun jodoh memang di tangan Allah, tapi pilihan hati kita ikut dipertimbangkan kok. Makanya, ajukanlah pilihan hati itu melalui shalat hajat. Jika memang bukan yang terbaik dan bisa dibaikkan agar bisa saling membaikkan kehidupan, maka baikkanlah. Tapi jika memang bukan yang terbaik dan tidak akan bisa saling membaikkan melalui Pengetahuan Allah yang Maha Luas, maka perkenankan dan tentramkan hati untuk menerima. Dan jika memang pilihan kita sesuai dengan apa yang terbaik menurut Allah, semoga pernikhannya membawa keberkahan bagi semesta alam. Sebab dua hati baik yang terikat melantunkan doa dan ucap syukur. Membawa aura positif.

Dan bagaimana soal calon? Bagaimana kalau saya “trauma”? Ingatlah, Rasul berkata, “Firasat (intuisi/kata hati) seorang muslim itu cahaya dari Allah.” Kata hati itu bisa jadi petunjuk dari Allah. Masalahnya adalah, seberapa bersih dan jernih hati kita untuk bisa membahasakan petunjuk Allah yang kadang hanya berupa simbol-simbol. Ibarat air jernih yang dimasukkan ke dalam gelas. Sejernih apapun air itu, jika gelasnya kotor, tetap akan membikin si petunjuk kotor. Singkat kata, jernihkanlah hatimu biar dia sanggup membahasakan petunjuk Tuhan ke dalam bahasa yang sesuai kehendak Tuhan.

Bagaimana caranya? “Hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang.” Bersihkanlah hatimu dengan perbanyak mengingat (berzikir) kepada Allah. Bukan semata bibirmu. Bukan hanya hitung-hitungan 33 dan 100 tasbih. Jika sudah begitu, hatimu akan disyukurkan ketika bahagia, dipelukrekatkan ketika terluka. Percayalah.

Strategi (untuk Membagi) Fokus


Mawar : Saya sedang menulis sebuah buku. Tapi pada saat yang bersamaan, saya juga sedang ikut dalam proyek buku bersama teman-teman saya. Bagaimana saya harus menjaga kefokusannya?

Jawab :
Saya menulis Apologia Latte (draft akhir) ketika saya menyusun skripsi. Dan bagi saya ini merupakan sebuah kemenangan besar, karena Apologia Latte selesai tepat waktu (dan pada akhirnya bisa menjadi karya fiksi terbaik ke-3 pada Nugra Jasadarma Pustaloka Perpusnas 2011) dan sidang kelulusan saya pun bernilai A+.

Banyak penulis yang gagal pada kuliahnya, seperti pula dialami banyak aktivis kampus, karena mereka tidak bisa fokus pada lebih dari satu bidang sekaligus. Padahal letak solusinya adalah pada (1) manajemen waktu. (2) Pengaturan tingkat prioritas. (3) Disiplin. (4) Total.

Manajemen Waktu: kita memiliki 24 jam sehari 7 hari seminggu dan 356 hari selama sebulan. Semuanya sama rata. Tapi kenapa pencapaian masing-masing orang berbeda, kuncinya adalah dalam bagaimana dia mengatur waktunya. Sekarang, aturlah jamnya. Aturlah kegiatan perjamnya. Satu menulis Apologia Latte dari rabu sampai minggu. Dan skripsi dari senin sampai selasa malam. Kenapa begitu? Karena skripsi akan diperiksa pada hari rabu. Ini membantu saya fokus. Dari rabu sampai minggu saya larut dalam novel dan melupakan skripsi. Dari senin sampai selasa malam saya larut dalam skripsi dan melupakan novel. Itu saja.

Pengaturan tingkat prioritas: menjelang waktu sidang, saya menyetop menulis novel dan fokus pada skripsi karena pada saat itu skripsi telah menjadi “penting dan mendesak”. Alhasil, seminggu sebelum sidang saya sudah “tenang” karena skripsi sudah selesai dan terkuasai, sehingga bisa refreshing menyelesaikan novel. Apologia Latte selesai dua hari sebelum sidang. Dua hari itu saya manfaatkan mempelajari kembali skripsi dan alhamdulillah hasilnya lebih dari ekspektasi.

Disiplin: Mengelola waktu saja + pengaturan prioritas saja tidak cukup. Anda harus disiplin. Harus setia pada pengaturan waktu + prioritas yang telah Anda terapkan. Jangan sampai malas + menunda-nunda menyebabkan keberhasilan Anda ikut tertunda.

Total : Jika Anda ingin terlibat dalam sesuatu, libatkanlah diri Anda secara penuh. Sikap setengah-setengah hanya akan membuat Anda ke titik tengah. Sesuatu yang biasa-biasa saja. Kalau memang ingin mengerjakan dua proyek menulis sekaligus, pastikan kamu total pada keduanya. Setia mengatur waktu, prioritas, dan disiplin terhadapnya.

Namun demikian, karena menulis merupakan kegiatan kreatif di mana seluruh gagasan dan diri kita diharapkan melebur ke dalamnya, untuk menghasilkan karya yang baik, maka lebih baik jika kerjakanlah satu proyek terlebih dahulu. Baru lanjut ke proyek berikutnya. Lebih baik mengerjakan SATU pekerjaan dan selesai, daripada 1000 pekerjaan tapi setengah-setengah. Jika lebih mendesak proyek yang barengan, kerjakanlah itu dulu sembari targetkan batas waktu. Jika sudah selesai, pindahlah ke proyek pribadimu.

Salam.

Ngirim Naskah ke Lebih dari Satu Penerbit, Boleh?


Mawar, Pelabuhan Ratu. Saat Ngisi Materi Pelatihan Menulis di sana.

Jawab:

Saya tidak akan menyebut boleh atau tidaknya, tapi mari kita lihat positif dan negatifnya.

Ngirim Naskah ke Satu Penerbit
Positif : Relatif aman dari risiko. Risiko apa? Ini: bayangin kalau kamu ngajuin ke 10 penerbit, terus tanpa disangka semuanya LOLOS. Tentu kamu harus nolak salah 9-nya bukan? Dan perkara ini kan bisa bikin brand image kamu ‘turun’ di mata penerbit. Dengan mengirim ke satu penerbit aja, kamu relatif aman dari risiko ini.
Negatif : Kita harus nunggu (biasanya) sampai tiga bulan sampai ada pengumuman dari Penerbit. Kalau diterima enggak masalah, nah kalau enggak diterima, nah makan waktu lebih lama lagi. Kita harus ngajuin lagi ke satu penerbit, mesti nunggu lagi. Dan seterusnya. Kebayang kan kalau naskah itu baru diterbit di penerbit ke-10 yang kamu ajuin? Mesti nunggunya juga ampe sekitar 30 bulan! Ebuset!

Nah, sekarang ngirim naskah ke lebih dari satu penerbit pada waktu yang bersamaan.
Positif : Kamu bisa ‘mengefisienkan’ waktu sekaligus memperbesar peluang untuk diterima. Bayangkan kamu ngajuin ke 3 penerbit. Dalam sekali nunggu selama 3 bulan itu, peluang kamu nggak hanya adari penerbit 1, tapi dari 2 dan juga 3. Jadi, kesempatannya lebih besar.
Negatif: Tapi ya itu tadi, kalau dari ketiga-tiganya diterima, mesti pinter-pinter kamunya untuk bilang “nggak jadi nerbitin di situ” ke si penerbit, dengan risiko ya itu, brand image kamu turun di mata penerbit yang kamu ‘tolak’ itu. Kecuali, kalau kamu sudah punya nama di bidang kepenulisan. Itu lain lagi ceritanya.

Kompromi:
Kalau begitu, untuk mengambil titik tengah dari kutub postif dan negatifnya, kalau mau ngirim lebih dari ke satu penerbit, pada waktu yang bersamaan, kirimlah ke 2 penerbit saja.  Tapi pada akhirnya semuanya bergantung kepada kamu juga.


Salam.

Ketika Lingkungan Tak Mendukung

Sewaktu saya mengisi pelatihan menulis di Pelabuhan Ratu, ada sekitar enam pertanyaan yang dilontarkan kepada saya. Saya akan mencoba menjawabnya di sini, siapa tahu, ada diantara kawan-kawan semua yang juga mengalami hal serupa.

Ujang : Saya ingin menulis, tapi lingkungan tempat saya tinggal, tidak mendukung. Apa yang harus saya lakukan?

Kita tidak bisa menunggu sampai segala sesuatunya sempurna. Alih-alih kita justru harus menyempurnakan kondisi yang serba tidak sempurna itu. Ada banyak orang yang tidak menulis hanya karena tidak punya komputer, atau tidak ada mesin tik, atau tidak ada waktu, dan hal-hal lain yang mereka keluhkan. Padahal, semua ‘keterbatasan’ itu mestinya disiasati dan bukannya dijadikan alasan untuk menyerah. Untuk mundur.

Jika lingkungan kamu memang tidak mendukung, buatlah diri kamu mendukung untuk apa yang kamu lakukan. Cintailah menulis, sehingga kamu, apapun kondisi lingkunganmu, akan hanyut dan menikmati setiap proses menulis itu, kendati di sekitarmu orang sedang ramai-ramai menertawaimu. Jika lingkungan tidak mendukung, bersikaplah seperti kafilah yang tetap berlalu kendati anjing menggonggong-gonggong.

Selain itu, untuk menyiasatinya, bergabunglah dengan komunitas menulis. Bolehlah lingkungan rumah kamu enggak mendukung, tapi carilah tempat di luar di mana kamu bisa menemukan orang-orang yang mampu mendukungmu. Bolehlah lingkungan sekolahmu enggak mendukung, tapi buatlah kamar kamu sebagai tempat yang mendukung. Gabunglah bersama komunitas menulis. Jika tidak ada, kontaklah pada para penulis, calon penulis, siapa saja! Biar tersemangati. Apalagi sekarang ada social media yang bisa kita gunakan.

Seperti pertarungan. Tak peduli apapun rintangannya—entah pedangmu yang hilang atau kamu yang merasa “belum siap”—toh kalau menang ya menang, kalau kalah ya kalah. Tidak usah mencari-cari kambing hitam.

Belas Kasih vs Waspada


Mawar : Jadi, Kang, ada temen cewek aku yang bilang kalau temennya yang cowok suka sama aku. Nah si cowok itu baru aja kehilangan ceweknya yang meninggal. Jadi masih sedih-sedih gitu. Nah, si cowok itu, Kang, yah, suka merhatiin facebook aku dan dia bilang dia pengen kenalan. Yaudah, kenalan mah kenalan aja. Eh tau-taunya, si cewek itu yah kang, pas dua hari kemudian bilang gini, “Mawar, aku minta tolong ih jadi pacarnya temen aku. Bohongan aja. Buat di facebook doang kok. Kasihan. Dia butuh penyemangat hidup. Dan dia nemuin itu di kamu.” Gimana dong, ya?

Belas kasih adalah salah satu titik lemah manusia. Tapi bukan berarti kelemahan. Kenapa? Karena setiap orang pada dasarnya enggak mau menjadi orang yang enggak “berpri kemanusiaan”, yang “enggak peduli pada orang lain”. Pada dasarnya setiap manusia adalah “putih”, “baik”. Nah, sialnya, kadangkala ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat buruk. Seperti misal orang yang pura-pura kesasar, enggak punya ongkos untuk pulang, terus aja minta sama kita. Nah, di satu sisi, kadang kita curiga kalau dia bohong. Tapi di sisi lain, kadang kita enggak tega, karena kita enggak mau dianggap tidak “membantu”.

Begitupun dalam kasus ini. Kasus yang dialami oleh Mawar (19 tahun). Faktanya: jika memang si cowok suka, kenapa enggak ngajak kenalan secara gentle? Kalau misal, karena dia masih trauma atau malu-malu, mungkin, kenapa mesti “ngotot” ingin berstatus “berpacaran dengan” padahal ketemu aja belum. Makanya, saya bilang begini:

1. Kalau kamu percaya sama orang itu sama seperti kamu percaya sama temen kamu, yo wis, temenanlah. Siapa tahu dia memang lagi down dan butuh penyemangat. Tapi hati-hati, kamu kan udah tahu kalau dia suka sama kamu. Jadi, kalau sekiranya kamu nggak mau ngasih harapan, jangan buka pintu lebar-lebar sejak awal. Bersikaplah kayak ke teman. Kasih jarak biar dia nggak salah pengertian, nggak salah berharap, sehingga nggak ngerasa kecewa lebih besar.
2. Kedua, tetap hati-hati. Bagaimanapun facebook bukannya aman dari masalah. Kan banyak kasus penculikan, pemerkosaan, berawal dari hal-hal “iseng”di facebook? Bukan menyuruh untuk berburuk sangka, tapi waspada itu kewajiban.
3. Soal ajakannya untuk sekedar berstatus dalam facebook, percayalah, jangan diikuti. Barangkali awal-awal dia akan bersikap sopan. Tapi lama-lama bisa jadi ngerasa seolah kalian jadian beneran. Belum lagi kalau kamu mengiyakan, bisa-bisa (dan ini semoga tidak), membuat dia berpikir kamu “gampang”. Dan pada akhirnya memperlakukanmu dengan sikap yang tidak baik.
Sekian. Facebookmu, harimaumu. Jaga dia dengan tali kekang yang baik, agar dia tidak berbalik memangsamu.

Salam.

Boros vs Efisien

Boros vs Efisien

Boros itu berarti:
1. Mengalokasikan uang melebihi pemasukan.
2. Tidak membatasi pengalokasian uang pada pos benda/jasa yang dibutuhkan saja.

Efisien berarti:
1. Mengalokasikan uang disesuaikan dengan pemasukan
2. Mengalokasian uang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat prioritas.
Jadi....
1. Orang yang mengalokasikan uang sebulan 2 juta, belum tentu lebih boros dibandingkan orang yang pengalokasian uang sebulannya 1 juta. Jika misalnya, yang mengalokasikan uang sebulan 2 juta itu ternyata berpenghasilan 10 juta. Sedangkan yang mengalokasikan uang sebulannya 1 juta itu ternyata berpenghasilan 1,5 juta.
2. Orang yang boros tidak (mau) mengerti bahwa dalam setiap hal selalu diharuskan adanya tingkat prioritas. Yang sederhana seperti: primer, sekunder, tersier. Primer yang harus diutamakan. Sekunder: sunnat ab’ad. Tersier: kalau nggak kebeli, nggak usah. Ini banyak anak muda yang uang bulanannya minim tapi maksain beli blackberry hanya demi label “gahoel”, bikin orangtuanya mesti ngejual sapi satu-satunya yang kalau nunggu 3 bulan lagi harganya 2 kali lipat.
3. Nah, karena itulah, setiap orang wajib mengatur aliran keuangannya, agar ‘serba tercukupi’. Kebutuhan sehari-hari, tercukupi. Tabungan, masih bisa diisi. Mau nonton di akhir pekan, ada dananya. Sehatkan kondisi keuangan kamu, biar nggak mesti besar pasak daripada tiang listrik.
4. Alokasikanlah uangmu, pada kebutuhan sesuai dengan tingkat prioritas. (1) Penting dan Mendesak. Ibarat kebelet buang air, laksanakanlah secepat mungkin atau kau mati di tempat! #eeaaa :D (2) Tidak penting mendesak. Ibarat ngupil. Tidak penting sebetulnya, apalagi kalau di depan banyak orang. Tapi kalau mendesak, daripada sesak nafas (tsaaah), ya ngupillah! (3) Penting tidak mendesak. Penting sih. Kayak saya mau beli PC Tablet. Biar bisa nulis + blogging kapanpun di manapun. Tapi karena tidak mendesak, ya sudah nunggu tabungannya terkumpul dulu. (4) tidak penting tidak mendesak. Nah, tingkat yang ini nih yang paling banyak dilakuin orang-orang boros. Misal, tukar motor kreditan ke dealer dengan motor merk sama tapi warna berbeda. Oh my gosh! Tolong! O, please! Biaya cicilannya jadi tambah mahal, tapi kok motornya ya gitu-gitu aja kan rasanya?

Efek
1. Boros membikin kondisi keuangan kamu sakit. Masih mending masih single atau jomblo atau nggak laku. Yang galau ya sendirian saja. Laper ya laper sendirian aja. Ngutang ya tanggung jawab sendiri. Nah, gimana kalau sudah menikah? Akan lebih repot lagi. Banyak berita bilang bahwa salah satu sumber pertengkaran dalam rumah tangga adalah ketidakmampuan si pasangan untuk mengelola uang. Sehingga, si uang menjadi PIHAK KETIGA. Waspadalah! Waspadalah!
2. Boros juga nggak disukai sama Tuhan. Tuhan nggak suka kita “melampaui batas”, “menghambur-hamburkan sesuatu”. Karena pada sikap itu terdapat dua sifat buruk, (1) sombong, (2) kurang bersyukur. Sombong + kurang bersyukur = .... (silakan isi sendiri).
3. Tapi jika kita efisien. Atau dalam kata lainnya “Hemat”. Kita bisa mencukupi semua kebutuhan kita secukup mungkin. Kita terhindar dari mesti ngutang (kecuali mungkin kalau kepepet bener). Kita punya tabungan buat jaga-jaga. Kita bisa melakukan aktivitas kita dengan tenang. Dan lain-lain, dan lain-lain.
4. Efisien juga memperlihatkan kerendahan hati dan kebersyukuran kita. Bahwa segalanya milik Tuhan yang diamanahkan pada kita, yang karenanya wajib kita jaga dan manfaatkan sebaik-baiknya. Sesuai kebutuhan. Sesuai kemampuan yang diamanahkan Tuhan kepada kita.
Cat: yang nggak ngerti caranya ngatur keuangan, googling saja ya! Atau beli buku-bukunya. Sudah banyak kok. 
Salam Curhat.

Topeng Sosial


Kita tak selalu bisa menjadi diri kita sendiri. Kadang, ada momen-momen tertentu yang membuat kita, mau tidak mau, harus mengenakan topeng sosial kita. Misal, seorang yang terbiasa ngomong kasar, mau tidak mau, suka tidak suka, tetap harus berbicara sopan saat acara lamaran ke calon mertua.

Kerangka sosial? Bisa jadi benar. Tapi demi kebaikan yang lebih besar, tak ada salahnya ‘berpura-pura’ terbiasa bicara sopan dan lemah lembut. Siapa tahu jadi kebiasaan betulan.

Coba perhatikan:
Pertama, apa yang dilihat oleh orang lain tentang kita, mula-mula adalah penampilan kita. Walaupun pepatah berteriak, “Don’t judge a book by its cover”, toh tetap saja kita sering memberikan penilaian pertama dari penampilan seseorang.

Kedua, oleh karenanya, fenomena sosial psikologis ini dimanfaatkan oleh banyak perampok, dimana mereka berpakaian sangat rapi (entah itu rampok kelas kakap maupun kelas senayan).

Nah jika demikian, maka apakah salah jika kita menggunakan topeng kita sejenak, untuk maksud baik? Untuk maksud yang benar? Kita ingin meyakinkan orang tentang gagasan baik yang kita miliki, dan apakah salah jika kita mesti berpakaian rapi dan bertutur kata lembut?

Jadi, soal pertanyaan, apakah mengenakan ‘topeng sosial’ itu salah? Tidak selalu. Tergantung tujuannya. Tergantung niatnya. Tergantung kondisinya juga.

Seseorang mengenakan sarung + sorban agar saat dia ceramah, kemungkinan untuk didengarkan lebih banyak, tentu insyaAllah baik, ketimbang orang yang mengenakan sarung + sorban untuk merusak warung orang, untuk mengebom orang yang tak bersalah.

Namun demikian, ketika topeng sosial ini terus-menerus kita pakai, maka kita akan terjebak juga dalam sikap munafik. Murah senyum di permukaan padahal hati penuh dendam. Penuh perhatian di permukaan padahal hati saling membenci. Hanya peduli pada pencitraan. Kita mementingkan apa yang tampak di permukaan mengenai diri kita dan tak pernah mau menjadi sebenar-benarnya manusia.

Dan bagaimana jika kita harus berhadapan dengan orang seperti itu?
1. Jadikan cerminan bagi kita. Pelajaran hidup. Bahan introspeksi.
2. Maklumi bahwa setiap orang pada dasarnya baik, hanya saja ada yang berhasil mengimplementasikan kebaikannya itu, ada pula yang belum berhasil. Barangkali dia termasuk orang seperti itu.
3. Cobalah untuk lebih banyak mengerti ketimbang menuntut untuk dimengerti.
4. Jika memungkinkan, sadarkan dengan cara yang tidak melukai hatinya.
5. Hati-hati. Apalagi jika topeng yang dia gunakan, bisa jadi, sadar ataupun tidak sadar, mencelakakan kamu. Kita banyak mendengar bagaimana seseorang tertipu karena penampilan orang lain. Semoga kamu tidak.
Salam.

Bagaimana Menyikapi Orang Cuek


Sebenarnya aneh, saya materi soal Agent of Change yang Ahsanu Takwim, tapi dua pertanyaan di sesi tanya-jawab malah lebih seperti curhat. Tapi selalu menyenangkan bisa berbagi. Mari kita lihat. Cuek adalah kondisi dimana seseorang tidak menaruh perhatian terhadap sesuatu/seseorang. Dan atau cuek adalah kondisi dimana seseorang merasa tidak diperhatikan oleh seseorang.

Oleh karenanya, clue dari jawaban ini adalah soal: ‘kemerasaaan’ dan ‘perhatian’. Itu berarti, bisa beberapa kemungkinan:
1. Kita yang menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Misal, ketika kita sehari tidak disms temen, kita merasa dia tidak cuek, bukan? Tapi kalau yang tidak nge-sms itu pacar, kan kita langsung memvonis dia cuek? Itu karena terhadap pacar, kita menaruh ekspektasi (harapan) yang lebih. Cenderung menuntut. Bahwa dia harus lebih care, lebih sayang, lebih sering sms, lebih sering anter pulang, dan lain-lain. Hal inilah yang membuat kita selalu merasa kurang diperhatikan, kurang disayangi, kurang dikirimi sms, kurang sering dianter pulang, dan lain-lain.
2. Karena marah. Biasanya ketika marah, ada sebagian orang tertentu, yang secara sadar maupun tidak sadar, menjadi cuek. Entah itu kepada orang yang sedang dia marahi, maupun kepada orang yang tidak dia kenal sekalipun.
3. Karena sedang banyak pikiran. Ada orang yang karena banyak pikiran jadi kebawa melamun. Jadi tidak fokus. Karena itulah disangka cuek.
4. Karena tipikal wajahnya begitu. Ada orang yang memang tipikal wajahnya cuek. Padahal kalau sudah kenal, ternyata bisa lebih gokil daripada Adam Sandler.
5. Karena cinta. Eeeits, jangan salah. Perasaan cinta tak selalu bisa menghasilkan sikap romantis-bombastis-gombal-unyu lho, tapi juga kadang merangsang sikap gugup dan malu, sehingga berbalik menjadi sikap cuek. Itu lho, macem Adit di film Eiffel I’m In Love. :D
Bagaimana menyikapinya?

Tergantung kenapa dia menjadi cuek. Kemudian sesuaikan. Jika karena kamu terlalu menunut dan berharap banyak, itu artinya sudah waktunya kamu menyeimbangkan ekspektasi itu dengan lebih banyak mengerti. Jika karena dia sedang marah, itu artinya kamu harus mau memahami. Jika karena sedang banyak pikiran, itu artinya kamu bisa memberikan dia sedikit waktu untuk sendirian—atau jika dia meminta waktu untuk curhat, kamu harus siap mendengarkan. Jika karena wajahnya sudah begitu, tolong jangan paksa dia operasi plastik. Tolong! Percaya pada saya! Dan jika karena cinta... mungkin sudah waktunya kamu membuka sedikit percakapan. Intensitas percakapan bisa mencairkan kekakuan lho.

Sekian.

Kegagalan dan Proses Bertumbuh

Karena hanya orang yang tak pernah mencobalah yang tak pernah gagal. Kita semua pernah mengalami kegagalan. Dan sekarang giliran saya yang curhat kepada Ujang dan Mawar :D
Saya diminta mengisi dua acara saat OSPEK di sebuah universitas. Acara pertama adalah sesi kuliah dimana saya membawakan materi tentang “Menjadi Agent of Change yang Ahsanu Takwim” dan yang kedua adalah acara “Renungan”.

Pada acara pertama saya sukses. Alhamdulillah. Respon yang bagus semenjak mulai sampai akhir. Bahkan sampai ada yang minta nomor handphone. Minta izin share masalah hidup. Tapi di acara kedua, saya kehilangan feel, saya kehilangan ‘sentuhan’. Saya berdiri di tengah orang-orang itu dan merasa bodoh. Tak ada seorangpun yang tersentuh, tentu saja. Karena bagaiamana bisa? Toh saya sendiri tidak merasa ‘in’ dengan apa yang saya sampaikan.

Sepanjang perjalanan pulang saya merenungi kegagalan itu. Ini beberapa alibi saya:
1. Faktor psikologis akibat molor waktu. Ibarat kita kelewat lapar. Saya bersiap untuk acara pukul 5 sore. Tapi panitia ngaret sehingga saya baru mulai ba’da maghrib. Sejak awal saya memang sudah kehilangan ‘semangat’.
2. Ruangan yang terlalu lebar. Lebarnya ruangan itu membuat ‘jarak’ saya dengan ‘audience’ terlalu jauh. Sehingga, saya kehilangan nuansa bercerita, pendengar juga kehilangan nuansa untuk mendengar seksama seperti seorang sahabat.
3. Lampu. Survei membuktikan, renungan lebih bagus kalau dilaksanakan dalam kondisi gelap. Dan hanya mengenakan lilin sebagai penerang. Ini lebih membangkitkan nuansa. Pada saat renungan, panitia tak menyiapkan lilin sehingga membiarkan nyala lampu tetap ada (walau sudah disiasati dengan memadamkan sebagian).
4. Musik pengiring. Saat saya sukses menyentuh hati audience pada acara ‘renungan’ dua tahun silam, selain dibantu ‘ruangan lebih kecil’ dan ‘lilin + lampu padam’ saya juga dibantu akustikan lagu Bunda. Saya jadi dapet nuansanya, audience juga. Pada malam itu hanya menggunakan rekaman dari gadget. Nuansanya kurang ngena.
Namun demikian, saya heran kenapa saya terus-menerus kepikiran soal itu. Dalam hal ini, saya juga menduga beberapa hal:
1. Kesuksesan disesi kuliah membuat saya bahagia sekaligus ‘terbang’. Jadi, ketika ‘jatuh’ di acara kedua, saya merasa lebih sakit.
2. Karena saya terlalu jumawa untuk mengakui bahwa saya hanya manusia biasa yang tak selalu sempurna. Bahwa saya hanya manusia biasa yang kadang salah dan bisa terlihat sangat bodoh.
3. Saya, walaupun selalu merasa diri berani tampil apa adanya, ternyata hanya seorang yang selalu riskan tentang apa yang dipikirkan oranglain tentang dirinya. Jadi mungkin bukan kegagalannya yang membuat saya merasa galau, tapi kenyataan bahwa saya khawatir tentang kemungkinan orang-orang itu menertawakan saya di belakang.
4. Karena saya perfeksionis. Sebetulnya saya masih beruntung karena tidak sampai kehabisan kata-kata, gemetar, atau sampai berlaku bodoh. Alih-alih saya masih bisa tenang, berbicara santai, dan bahkan ikut salam-salaman dahulu. Tapi itu tetap terasa tidak cukup! Orang-orang lain lebih hebat daripada saya, jadi ‘ketenangan’ itu tak bisa dijadikan alasan untuk merasa ‘tidak gagal’.
Nah, dengan itu, saya memutuskan bahwa:
1. Saya harus share ini kepada Ujang dan Mawar agar saya bisa turut mengeluarkan, setidaknya, sebagian unek-unek di hati saya. Agar saya bisa fokus melanjutkan naskah novel saya.
2. Saya harus mencari kesibukan lain, agar pikiran saya tidak berfokus dan melulu memikirkan dan meratapi kegagalan itu.
3. Saya harus menginsafi, bahwa, seperti yang saya sampaikan ketika sesi kuliah, proses bertumbuh itu melibatkan rasa sakit, melibatkan kegagalan. Tapi siapa diantara kita yang tak ingin naik kelas? Setidaknya, dengan kegagalan ini, saya tahu masih harus banyak belajar dan memperbaiki diri, masih harus terus menggali potensi.
4. Bahwa pada akhirnya, mereka semua toh akan melupakannya. Semua tragedi hanya perlu waktu sampai bisa berubah jadi parodi. Lagipula, bukankah bukan hanya sekali ini saya pernah gagal dan terlihat memalukan di depan banyak orang? Tapi bukankah dengan itu saya semakin kuat dan bisa bersikap tenang?
5. Nah, kira-kira begitu. Postingan berikutnya saya akan menjawab dua pertanyaan yang ditanyakan audience di sesi kuliah yah... makasih Ujang, Mawar, dan juga kau! 