Rabu, 06 Juli 2011

Depresi Terselubung dan Terapinya

Mawar yang satu ini adalah sahabat saya. Memang sudah sejak beberapa waktu yang lalu dia mengeluhkan kesemakinhilangan antusiasme dan minatnya, kemudahan dia merasa marah dan iri kepada teman-temannya yang lebih dulu bekerja, merasa gagal, dan merasa selalu kalah. Pada akhirnya, dia merasa tidak nyaman karena dia mulai sering merasa suudzan. Perasaan ini kemudian melahirkan semacam ketertekanan baru: merasa dikhianati. Seorang temannya yang bekerja di sebuah bank tempat lamaran Mawar kita ini ditolak, ‘secara misterius’ tak pernah lagi membalas sms dan menjawab telepon si Mawar. Kemudian, seorang temannya yang lain, yang justru memasukkan orang lain alih-alih Mawar ke tempat dia bekerja.

“Menurutmu, aku harus gimana?”

“Mengetahui apa yang terjadi pada kita sudah separuh langkah dari solusi. Jadi, yang perlu kita lakukan adalah mengetahui apa sebetulnya yang menimpamu,” ujar saya. Berdasarkan hasil anamnesis di atas, Mawar kita kemungkinan terserang depresi terselubung. Dari beberapa tekanan batin yang dia rasakan, beberapa diantaranya sangat khas dengan depresi terselubung.

Apa saja memangnya ciri-ciri orang yang terserang depresi terselubung? Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen (2005: 216), ciri-ciri orang yang terserang depresi terselubung adalah: kehilangan antusiasme, penurunan aktivitas fisik dan mental secara perlahan namun pasti, merasa kecil hati dan patah hati, kerja terasa menguras tenaga padahal tidak seberapa, kehilangan minat, alienasi, dan merasa bahwa kegagalan yang dia alami adalah kesalahan di masa lalunya.

Pada kondisi-kondisi tertentu, gejala ini bisa membuat kita mengalami self devaluation. Atau dalam istilah sederhananya: rendah diri. Dan pada pertemuan saya beberapa hari semenjak curhat pertamanya, gejala kerendahdirian itu dapat saya lihat dari sorot matanya. Serius!

Kenapa Mawar kita ini sampai terserang depresi terselubung?

Perhatikan: skripsinya adalah skripsi yang mendapat pujian paling banyak dari dosen paling killer di kampus, bahkan sidangnya hanya berkisar 10 menit saja! Namun kemudian, yang lebih cepat dapat pekerjaan justru yang skripsinya dapat ngorder atau hasil contekan. Mula-mula memang tak terlampau dia pedulikan, tapi lama-lama dia mulai merasa tertekan. Apalagi, beberapa lamaran yang dia layangkan ke bank-bank ditolak.

Tekanan ini mencapai puncaknya ketika kawannya—yang selama ini sama-sama berjuang mencari pekerjaan dengannya—justru mendapat pekerjaan. Ini membuatnya merasa kalah, gagal, sehingga pada akhirnya menghancurkan mentalnya. Apalagi, seperti diungkapkan David J. Lieberman, Ph.D dalam bukunya “Agar Siapa Saja Mau Melakukan Apa Saja Untuk Anda”, bahwa orang menganggur lebih berkemungkinan terserang gejala neurotis. Hal ini disebabkan pikirannya tak terfokus pada pekerjaan atau masalah, sehingga ‘menyerang’ ke dalam dirinya sendiri. (Sebagai catatan: Mawar kita yang satu ini sebetulnya memiliki warung, tapi merasa menganggur karena penghasilannya yang ‘belum seaman’ penghasilan karyawan bank).

Lalu, apa yang mestinya dilakukan?

Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen (dan beberapa penambahan alakadarnya dari saya) yang perlu dilakukan adalah:
1. Joging atau berjalan kaki pada pagi hari. Untuk merilekskan pikiran dan badan. Diperkuat oleh David J. Lieberman, Ph.D bahwa kondisi fisiologis (fisik) yang lentur dan tidak kaku/tegang, bisa ‘melenturkan’ kondisi hati/emosi yang sedang negatif. Jadi, jalan-jalan santai bisa membuat kita lebih segar, baik secara fisik maupun mental.
2. Apalagi kalau jalan-jalan santai itu dilakukan di tempat-tempat yang memiliki lanskap alam yang indah. Menghirup udara pagi yang segar, mendengarkan riak air sungai yang jernih, seperti diungkapkan dalam salah satu postingan Erbe Sentanu (Penulis “Quantum Ikhlas”), bisa membantu kita masuk ke kondisi ikhlas.
3. Mencoba melakukan hobi/sesuatu yang disenangi, agar pikiran kita punya fokus dan sesuatu yang harus dia ‘pikirkan’. Sehingga dia tidak menyerang ke ‘dalam diri kita’. Jika kita tahu harus mengejar sebuah bus, tentu kita tidak akan berkeluh kesah kepanasan seperti orang yang hanya berdiri diam di tengah lapangan, bukan?
4. Sujud syukur. Terapi terakhir ini yang—salah satunya—membantu saya melewati masa-masa sulit saya selama beberapa tahun. Sujud syukur setidaknya melatih kita untuk lebih fasih melihat hal-hal baik ketimbang hal-hal buruk, sehingga apapun yang terjadi, kita bisa tetap merasa penuh berkah dan berkelimpahan.
5. Menulis. Menulis adalah terapi yang baik. Menuliskan apa yang membuat kita merasa tertekan, bisa membantu meredakan ketegangan psikis dari masalah tersebut. Kadang malah bisa membantu kita melihat jalan keluar.
6. Namun demikian, kadang self devaluation, yang terlanjur hadir akibat depresi terselubung itu bisa membuat kita terus ‘terpenjara’ dalam ‘perasaan kegagalan’ kita, sehingga pada akhirnya, secara alamiah membuat kita terus-menerus gagal. Untuk itu, kamu harus membangun kembali mental juara kamu! Mental penaklukkan. Taklukkanlah hal-hal kecil kemudian belajarlah untuk yakin bahwa, jika hal itu bisa ditaklukkan, tentu hal yang lebih besar bisa. Kenapa tidak, bukan?

Salam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar