Minggu, 26 Juni 2011

Kang Irfan, Saya Benci dengan Keluarga Saya!

Mawar yang ini berteman dengan saya setelah dia membaca buku saya. Setelah berhasil mendapatkan nomor hape saya lewat sebuah usaha yang cerdik, kami saling bertukar sms. Lama kemudian, dia mulai sering share. Katakanlah, keluarganya broken home, yang membuatnya sering main malam. Suatu hari, kakeknya memukul dia sampai—menurut penuturannya, entah benar entah tidak—seluruh badannya memar-memar. Berkali-kali dia bilang, selain ingin bunuh diri, dia juga ingin kabur.

“Kakek saya mukul hanya karena saya ngebentak dia Kang. Atuda suka kesel kalau lagi nonton TV, disuruh-suruh.”

Saya mengurut dada. Berusaha menjelaskan bahwa sikapnya juga tidak baik, kendati tidak menafikan bahwa—jika memang benar—aksi pemukulan sampai memar-memar itu juga tidaklah terlalu baik. Tapi kemudian, mari kita diskusi soal kebencian ini.

Kekerasan kepada anak, kata Kak Seto dalam sebuah surat kabar, diakibatkan oleh orang tua. Kita juga lebih sering merasa kecewa kepada keluarga dibandingkan kepada teman. Kenapa bisa demikian?

Pertama, kepada keluarga, kita mengharapkan dan menuntut lebih, sehingga kita cenderung mudah kecewa. Kepada kakak misalnya, kita ‘tahu’ bahwa dia kakak kita, dan dengan demikian, secara tidak sadar kita mengharapkan sekaligus menuntut dia selalu lebih dewasa daripada kita, mau mengalah terhadap kita, dan lain-lain, dan lain-lain. Akibatnya, ketika si kakak ‘tidak sedang bersikap dewasa’ kita merasa marah.

Kedua, karena kita merasa ‘memiliki’ keluarga kita. Perasaan memiliki ini membuat kita merasa berhak mengatur-atur keluarga kita. Kasus demikian bisa terlihat dari (1) orangtua yang terlalu memaksa anaknya mengerjakan apa yang dia inginkan, memaksa anaknya jadi imitator dirinya, atau (2) kakak yang terlalu mengekang adiknya untuk mengerjakan ini dan itu, dan (3) seorang adik yang memaksa orang tua dan kakak untuk membiarkan dia melakukan apapun walaupun itu salah.

Ketika semua itu tidak terpenuhi, kita akan menuduh keluarga kita tidak adil, orang tua kita tidak adil, kakak kita tidak asyik, atau jika kamu sudah menjadi orang tua, anak kita keras kepala. Bagi anak-anak seusia remaja, hal ini akan melahirkan perasaan kecewa. Mereka akan merasa kehilangan. Kemudian merasa tidak diperhatikan, merasa sendirian, yang sejatinya akan melahirkan sebentuk kebencian.

Karena itu, komunikasi yang hangat diantara sesama keluarga mutlak diperlukan. Di era teknologi informasi seperti sekarang, dimana tontonan dan game merangsang anak muda berlaku lebih ekspresif sekaligus agresif, peran kehangatan orangtua sangat menunjung terbangunnya keseimbangan.

Dalam acara penganugerahan piala kumon dimana saya menemai keponakan saya yang menjadi 1000 siswa terbaik Kumon diantara 12.000 siswanya, filosofi belajar Lembaga Pendidikan asal Jepang itu satu: bahwa anak-anak jangan dipaksa untuk mengerjakan, tapi didorong, diberi pengertian, dan ditemani.

Pada akhirnya mungkin yang harus ada dalam keluarga adalah cinta. Percaya atau tidak, kehangatan inilah yang akan mula-mula mempengaruhi tumbuh-kembang anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar