Sabtu, 31 Maret 2012

Epilog Antiklimaks Si Tukang Gertak

Tukang gertak itu penakut, demikian tulis David J. Lieberman dalam bukunya. Orang yang menggertak, sebenarnya tidak berani melakukan apa yang digertakannya. Ini mengejutkan. Setidaknya bagi saya.

Tapi pada saat saya membaca buku itu, salah seorang karyawan di perusahaan kakak saya, juga sedang menuntut kenaikan gaji, dengan dalih dia sudah lama bekerja di sana tapi taraf hidupnya masih belum layak.

Sayangnya, dalam penilaian objektif saya, keinginannya untuk naik gaji tidak diimbangi dengan kenaikan disiplin kerja. Dia tetap datang siang, berprilaku indisipliner, dan terkadang berbuat curang. Yang menarik, dia selalu bersikukuh bahwa dia sudah dan selalu melakukan yang terbaik, bekerja jujur, dan lain-lain, dan lain-lain, tapi lantas tak mau tahu hal-hal menyoal keluhan konsumen karena sikap curangnya, keluhan karyawan lain karena arogansinya kalau dapat komisi dari konsumen, dan lain-lain.

Singkat cerita, pada rapat di hari terakhir bekerja sebelum cuti lebaran, si karyawan tersebut mengusulkan kenaikan gaji. Jauh-jauh hari sebelum rapat, semua karyawan sudah dia pengaruhi. Karena dia juga membicarakan ini kepada saya, maka saya tahu apa yang dia pengaruhkan. Kira-kira begini: pokoknya tenang saja, semuanya saya yang urus, saya akan berkorban demi kalian semua.

Sampai di sini, saya memprediksi ke masa depan. Begini prediksinya:
1. Jika usahanya berhasil, dia akan selalu MENGINGATKAN karyawan-karyawan lainnya bahwa kenaikan gaji itu dialah yang paling berjasa, sehingga mereka harus respek dan menghormat penuh kepada dia.
2. Tapi jika usahanya gagal, dan misal, dia dipecat, dia akan MENEROR karyawan-karyawan itu, bilang bahwa DEMI MEREKA-lah dia BERKORBAN. Dan pada akhirnya, secara langsung tidak langsung, dia akan menyuruh mereka juga untuk keluar, untuk resign.

Percakapan di ruang rapat itu lucu. Dia bersikeras ingin tahu nominal kenaikan gaji itu—selepas kakak saya menjanjikan kenaikan gaji—tapi ketika ditanya balik soal, “Boleh naik gaji, tapi datang harus pagi-pagi, harus sesuai jadwal. Istirahat siang jangan telat masuk lagi....”

Dan dia jawab, “Wah, Bos... itu tidak bisa. Saya punya anak....”

Apa yang saya prediksikan, terjadi. Karena kakak saya tak mau memberitahu nominal kenaikan gaji, dia keluar. Dia nyerocos, menumpahkan kekesalannya, kepada semua orang: kakak saya, saya, dan karyawan-karyawan. Awalnya saya tengahi, saya dengarkan, saya ladeni. Lama-lama, karena umpatannya hanya memperlihatkan ketidakdewasaan—bagaimana bisa beberapa hari yang lalu dia masih memaki-maki kakak perempuan saya, sekarang bilang begini: kenapa kakak perempuan kamu tidak membela saya di depan suaminya? Padahal saya sudah berbuat kebaikan kepadanya, saya suka nolong dia.

Sekali lagi, hanya mengingat kebaikan diri sendiri dan bersikap seolah tak pernah berbuat salah. Pandai menyalahkan orang lain dan tak mau introspeksi.

Bagi dia, ini adalah epilog antiklimaks. Tuntutannya untuk naik gaji sekaligus diberi pinjaman untuk membiayai usaha warungnya tanpa mau memantaskan diri untuk mendapatkan semua itu—dengan bekerja lebih disiplin dan datang tepat waktu—berakhir dengan keputusannya resign.

Perusahaan berjalan lebih tenteram. Berhari-hari kemudian, saya baru memahami kenapa Manchester City bisa berkembang selepas kepergian Adebayor yang tempramental itu. Bukan hanya kedatangan pemain-pemain bintang yang baru, melainkan juga kondisi ruang ganti baju yang jauh lebih kondusif.


Demikian. 


[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]


Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar