Sabtu, 31 Maret 2012

Laksana Kuda Pacuan

Sebagai mahasiswa ekonomi, kuping saya sudah kebal, sudah fasih, sudah kebas mendengar kata: persaingan. Bahwa gara-gara kebutuhan manusia yang tidak terbatas sedangkan kemampuan dan sumber daya terbatas, maka lahirlah persaingan. Walaupun kemudian disempurnakan oleh salah seorang ekonom dengan: kerjasama. Bahwa keterbatasan sumber daya tak melulu membuat kita bersaing, alih-alih itu justru bekerjasama.

Salah satu tanda bahwa dalam hidup ada persaingan, baik yang sehat maupun yang enggak, adalah adanya motivasi berprestasi (need of achievement) dan motivasi berkuasa (need of power).

Jika boleh bermain analogi, hidup itu laksana kuda pacuan. Dia harus berpacu di lintasan untuk menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Untuk menjadi SANG JUARA. Karena kita adalah kuda pacuan itu, maka jika kita ingin menjadi SANG JUARA, aturannya jelas:

1. Yakin terhadap kemampuan diri. Ini berarti yakin dan teguh untuk mengerahkan kemampuan terbaik. Tidak menyerah sebelum berjuang habis-habisan. Tidak juga menyerah untuk akhirnya berbuat curang kepada kuda pacuan yang lain. Tidak juga menjadi minder dan merasa rendah diri dan merasa terintimadasi oleh kuda pacuan yang lain, yang misalnya, pernah menjadi juara atau dijagokan atau yang menurut banyak orang... lebih baik dari kita.

2. Berfokus pada diri sendiri. Jika ada dua kuda berlari di sebuah arena pacuan. Yang satu fokus pada usaha mengerahkan kemampuan terbaik, sedang yang satu lagi, sibuk memerhatikan posisi kuda lain—sambil takut kalau-kalau dia kesusul atau dia terlalu ketinggalan. Jika posisi kedua kuda itu awalnya sama, saya jamin, kuda yang berfokus pada usahanya sendiri dan tidak memusingkan posisi kuda lain, akan tiba lebih dulu di garis finish. Kenapa? Karena tenaganya terpusat pada usahanya untuk melaju secepat mungkin. Sedangkan kuda yang satu lagi, tenaganya terbuang percuma karena dia kehilangan FOKUS—bahkan kadang-kadang kehilangan KEPERCAYAAN DIRI juga.

3. Berlarilah dengan cara kita sendiri, jika itu bikin kita nyaman dan bisa berlari lebih cepat. Kadang-kadang saya menemukan, termasuk pada diri saya sendiri, ada godaan untuk ‘meniru’ cara lari orang lain hanya karena melihat mereka SUKSES dengan cara mereka itu. Padahal ketika dipikir lagi, ada perbedaan antara kami, dan cara lari itu belum tentu cocok bagi saya. Ibaratnya: atlet sepak bola dan atlet bulu tangkis yang sama-sama ingin SUKSES butuh cara lari yang beda, walaupun filosofinya sama. Kedua, merasa terbentur dengan kelaziman, dengan mainstream. Misalnya, cara kita nggak lazim, cara kita beda dengan kebanyakan. Padahal, banyak yang membuktikan bisa sukses dengan melakukan perubahan, perbedaan, ketaklaziman itu. Kalau bicara soal melawan mainstream, saya selalu ingat bagaimana Pak Tung Dasem Waringin nyawer uang dari helikopter demi promosi bukunya. Nyeleneh, gokil, sekaligus keren!

[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]

Regard,
Irfan L. Sar (Facebook)
@IrfanLSar (Twitter)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar