Jumat, 02 Maret 2012

Melawan Nasib Buruk

Nasib buruk itu seperi ruangan yang gelap. Untuk bisa keluar dari sana, kita perlu lebih dari sekedar berdoa, kita perlu lebih dari sekedar meratap. Kita harus melangkahkan kaki kita harus mencari pintu keluar, harus menyalakan sebatang lilin--atau apapun.

Naib buruk itu seperti candu, ia menjebak ita dalam sikap mengasihani diri dan perasaan negatif, dan piiran negatif. Akibatnya kita selamanya terjeba di dalam nasib buruk karena segala yang negatif hanya menarik yang negatif.

Nyatanya, seperti halnya Mawar, banyak orang yang tidak/belum bisa keluar atau memperbaiki nasib 'buruk'nya, bukan karena Tuhan menginginkan demikian, melainkan karena dia terlanjur:

1. Menikmati rasa sakit dan galau dan sakit hati dan ketidakbahagiannya itu. Menjadi melodramatis, sentimental. Dalam bahasa gaulnya: belum move on.
2. Menerima nasib buruk itu sebagai bagian dari takdir yang seolah tak bisa diubah. Mereka lebih bisa menerima dengan sabar, ketimbang melawan untuk mengubah nasib menjad baik, menjadi penuh syukur. Seolah-olah mereka tidak berhak!

Saya sering menemui banyak orang miskin yang yakin sepenuhnya bahwa dia tidak bisa kaya. Saya sering menemukan orang yang yakin bahwa bahagia bukanlah haknya. Tapi di sisi lain, ia meratap, ia mengeluh, ia berdoa agar kaya, agar bahagia. Tapi Tuhan kok seperti tidak mau mendengar?

Kembali lagi ke dalam keyakinan. Apa yyang kita yakini, akan menjadi doa, akn menjadi penarik dari kenyataan yang kita dapatkan. Bukan menyoal situasi yang kita hadapi, melainkan cahaya harapan yang kita tumbuhkan dalam hati kita. Sehingga segelap apapun ruangan yang melingkupi kita, kita masih akan tetap bisa melihat.

Jangan biarkan nasib buruk menjadikan Anda seperti pecandu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar