Sabtu, 31 Maret 2012

Kena Getahnya

Kena Getahnya

Kali ini curhat Mawar agak mellow. Begini: Mawar dengan Ujang terlibat dalam sebuah kepanitiaan. Nah, selama proses pemersiapan acara, si Ujang sering nggak ikut kumpul. Apalagi bantu-bantu. Padahal jabatan si Ujang lumayan penting. Tapi eh dasar, Pak Ketua Panitia malah lebih sering memarahi Mawar daripada Ujang. Memang Ujang juga sering kena damprat, tapi Mawar yang lebih ditekan. Nah bagaimana?

Begini ya Mbak Mawar. Ini menurut saya lho yah:
1. Kita tidak bisa memaksa orang untuk bersikap ‘benar’ dan ‘tepat’ karena setidaknya tiga hal: (1) setiap orang punya hak untuk bersikap, (2) kewajiban kita hanya saling mengingatkan, (3) karena tolok ukur benar dan tepat itu kadang-kadang jadi subjektif berdasarkan penilaian kita sendiri. Poin yang ketiga ini bisa digambarkan dalam contoh begini: menurut saya sih, seharusnya dia tidak pake kemeja, melainkan kaos oblong.

Nah, menurut si “saya” sikap si “dia” dalam mengenakan kameja adalah salah, padahal belum tentu demikian. Barangkali si “dia” punya pemahaman dan pertimbangan yang lain sehingga menurut dia ini sudah benar. Nah, dalam kasus si Ketua Panitia ini, ada dua kemungkinan: (1) dia kurang arif dalam memandang persoalan sehingga marah tidak pada tempatnya, tidak tepat sasaran, sehingga tidak efektif. Atau (2) karena dia punya pemahaman dan pertimbangan lain.

Misalnya: dengan memarahi Mawar dia berharap Mawar akan membantu dia ‘menyadarkan’ si Ujang, sehingga si Ujang akan merasa ‘bersalah’ pada Mawar dan akan memacunya untuk lebih rajin.

2. Karena itulah, sikap kita sebaiknya tidak berhenti pada tahap mengeluhkan. Tapi lebih dari itu, menjadikannya lahan untuk kita mematangkan, mendewasakan diri kita. Kena getahnya? Barangkali benar. Tapi tak apa.

Jadikanlah ajang belajar. Misalnya dengan: (1) menarik pelajaran bahwa kemarahan tidak tepat sasaran itu salah besar. Jadi kita harus pandai mengatur emosi dan memainkan tugas untuk memberi reward dan punishment. (2) Mendorong kita untuk belajar berani berpendapat. Pada dua hal, yaitu, satu, menyuarakan bahwa sikap ketua panitia itu salah—jika kita memang meyakini itu.

Dan utarakan pendapat kamu dengan sebaik mungkin, sehingga dapat diterima dengan jembar hati dan kendur saraf. Kedua, melatih diri dalam mengkomunikasikan ‘dampratan itu’ kepada Ujang agar dia, tidak hanya mau mendengarkan dengan hati, tapi juga bereaksi untuk memperbaiki kerusakan yang telah dia perbuat.

3. Saat paskibra, saya dan kawan-kawan sering dihukum saat latihan gara-gara mereka yang nggak ikut latihan. Akibatnya sering saya bertanya: kok kami yang rajin yang dihukum, yang nggak pada latihan malah enak-enakan.

Tapi kemudian terilhami dari penjelasan Ibu Rita—guru konseling sekaligus pembina kami waktu itu—saya berpikir bahwa alasan dibalik semua itu adalah agar korsa dan kebersamaan dan persatuan kami terjaga. Jika kami tidak dibegitukan, barangkali kami akan saling tak acuh, jadi egois, jadi mementingkan diri sendiri—yang penting saya benar, nggak peduli yang lain salah. Di paskibra, satu salah, semua kena hukuman.

Lebih jauh saya berpikir, dalam Islam bukankah gitu juga? Jika di satu tempat terdapat orang yang berbuat dosa, dan orang-orang di tempat itu tidak ‘mengingatkannya’ atau paling tidak ‘mengingkarinya dalam hati’, maka dia juga kecipratan dosa. Apakah Allah curang? Tidak. Justru Allah mendidik kita untuk saling peduli, saling memerhatikan, saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.

Demikian kira-kira. 
[Yang mau share soal apapun, silakan kirim email ke kcurhat@rocketmail.com . Curhatannya akan dibahas di blog ini. Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar