Sabtu, 18 Juni 2011

Kang Irfan, Emang Kalau Nangis itu Cengeng ya?

Kang Irfan, Emang Kalau Nangis itu Cengeng ya?

Mawar: Kang Irfan, emang kalau kita dapet masalah trus nangis, nggak boleh ya? Apalagi kalau cowok. Gitu ya?

Saya: Ah nggak juga. Saya kadang juga suka nangis. Rasulullah saja suka nangis. Kenapa nangis dilarang? Begini: saya selalu berpendapat kalau ketika kita tertimpa masalah, kita sebetulnya menghadapi dua hal. “Masalah” itu sendiri dan “Efek dari Masalah” kita.

Ambil contoh: putus dengan pacar.

Masalah: putus dengan pacar.

Efek: Sedih, Kecewa, Marah.

Nah, nangis memang tidak akan mengubah keadaan, atau tidak akan menyelesaikan masalah. Kita bukan Nobita dan Doraemon juga hanya tokoh khayalan. Jadi satu-satunya cara menyelesaikan masalah adalah menghadapi masalah kita, menyusun strategi agar kita bisa mengalahkannya!

Namun demikian, menangis juga berfungsi dalam hal menetralisir atau paling tidak mengurangi efek dari masalah itu. Misalkan, kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan kita bisa sedikit ternetralisir dengan tangisan itu. Beberapa kali teman perempuan curhat kepada saya mengenai hal-hal semacam ini, dan saya selalu membiarkan mereka menangis. Cenderung menyuruh. Dengan begitu, kadang-kadang setelah lelah menangis, dia berkata, “Yah, mungkin memang belum jodoh....” Dan seterusnya.

Efek masalah itu seperti kabut, membuat kita tidak bisa melihat dengan JELAS masalah kita. Dengan tangis, kabut itu perlahan surut dan masalahpun terlihat JELAS. Hanya saja, sebagai catatan, jangan hanya lantas usaha kita berhenti di prosesi “MENANGIS(I)” saja. Alih-alih, prosesi menangis harus dijadikan tumpuan untuk kita mendapat kekuatan lebih dalam menyelesaikan masalah.

Jeane Webster bilang, “Boleh menangis, tapi tentukan batas waktunya. Jika batas waktu itu telah habis, maka kita harus komit terhadap diri sendiri untuk tidak lagi menangis dan mulai menghadapi masalah kita, apapun itu.” Karena, hidup harus terus berjalan.... Bagaimana menurutmu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar