Kamis, 22 Desember 2011

Dalam Luka (2)


Semua luka bisa sembuh, karena sifat semua luka memang tidak ada yang abadi. Jika bukan kesembuhan, maka kematian akan membebaskan luka itu. Jika bukan karena obat, tentu karena ketawakkalan dan kesabaran, sikap penerimaan yang dilandasi rasa syukur dan iman.

Tapi tidak semua luka bisa hilang, karena banyak luka yang selalu meninggalkan jejak, meninggalkan bekas. Seperti bekas-bekas borok. Seperti Billy si Pengidar Schizopernia yang bekasnya luka berasal dari penyiksaan ayah tirinya. Perhatikan: lukanya itu adalah luka anak kecil yang disiksa. Bekas lukanya adalah: perpecahan kepribadian yang membuatnya harus bergantung pada pengobatan-pengobatan medis di rumah sakit jiwa.

Tapi tidak selalu berarti buruk. Bekas luka juga bisa bermakna positif. Seseorang bilang, “Apa yang tidak membunuhmu, akan membuatmu lebih kuat.” Pun demikian juga dengan luka, dan bekas yang ditinggalkannya. Hari engkau terluka karena dikhianati, jika kau tabah dan menerima, rasa sakit yang membekas itu akan membuatmu lebih kuat. Engkau dicampakkan, hari ini, dan menangis meratap-ratap, tapi jika engkau kuat dan memperlakukan luka itu dengan sebuah sikap penerimaan penuh syukur, engkau akan lebih tegar.

Jika engkau hari ini gagal dan dicemooh, kemudian engkau bertahan, percayalah suatu saat kau takkan mudah roboh. Sekalipun badai besar menerjang. Jika engkau hari ini dihantamkan ke tanah, kemudian berbalik menerjang ke angkasa, percayalah kau akan mampu meloncat lebih tinggi.

Luka adalah impuls. Respon kita yang akan menentukan. Ketika kita merespon dengan positif, maka ia akan seumpama imunitas, ia akan seumpama racun dalam obat: bukan membunuhmu, melainkan mengobati kelemahanmu, menguatkan daya tahanmu. Tapi jika engkau merespon negatif, maka ia akan berbalik mencari racun dalam makanan: bukan mengenyangkanmu, malah membuatmu jatuh terkapar.

Berbahagialah yang pernah terluka kemudian bertahan, karena dia sedang dikuatkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar