Kamis, 22 Desember 2011

Sandaran Kebahagiaan

Mawar bilang, “Kebahagiaan ditentukan oleh orang dan waktu yang tepat.” Tapi saya ingin bilang bahwa itu tidaklah terlalu tepat.

Pada tahun 2010-an, ketika kefanatikan saya terhadap Manchester United masih ‘labil dan naif’—tipikal hubungan anak-anak remaja—saya menyandarkan kebahagiaan saya pada Si Iblis Merah tersebut. Jadi, penghiburan saya waktu itu, dari stres di tempat kerja dan mood kurang baik saat menulis, ya, kemenangan dan permainan atraktif Vidic dkk. Tapi, kan yang namanya permainan, ada menang dan ada kalah. Dan MU, kendati sebuah klub besar, tetap saja toh kadang-kadang kalah. Dan menjadikan MU sandaran kebahagiaan itu bikin saya bahagia pas mereka menang, tapi bikin galau sakau saat mereka kalah. Belum lagi ejekan dari orang-orang di sekitar. Wah, ibarat sudah jatuh tertimpa Agnes Monica. #eh

Nah, pada saat itulah saya mengambil sebuah pelajaran. Bahwa kebahagiaan tidak boleh disandarkan pada sesuatu yang sifatnya fana, yang sifatnya bergerak. Karena, jika kebahagiaan disandarkan pada yang fana, maka kita akan kehilangan kebahagiaan itu ketika sandaran itu hilang. Entah misalkan, jika dia manusia, meninggal atau pergi nggak pulang-pulang seperti Bang Toyib. Atau pada sesuatu yang sifatnya bergerak seperti MU tadi. Dia kadang naik, dia kadang turun. Ini bikin kebahagiaan kita diturun-naikkan oleh hal tersebut. Oleh si “moodbuster” itu.

Masalahnya adalah, ini bisa berefek pada kegiatan kita sehari-hari. Kan nggak lucu dong, mau fokus ngerjain sesuatu, eh tiba-tiba moodnya ilang karena (1) pacar nggak ngesms, (2) klub kesayangan kalah, (3) belum bayar utang, (4) dikejar-kejar hansip #loh? Nah,terus bagaimana?

Simpel saja. Bagi saya, sandaran kebahagiaan itu cukuplah Allah dan Rasul-Nya. Ajeg dan tidak fana. Kendati Rasulullah sudah meninggal, kesempurnaannya tak lekang dimakan masa. Tuhan Selalu Ada. Lebih dekat dari urat nadi kita, dari detak jantung kita. Maka, sandaran mana lagi yang lebih baik? Tidak ada.

Saya mencoba menaruh rasa cinta saya pada MU, pada tempatnya yang pas. Agak sulit pada awalnya, tapi akhirnya saya bisa (setidaknya) untuk tetap berbahagia ketika MU menang sekaligus tidak larut dalam kesedihan saat MU kalah. Karena saya mencintai, tapi tidak menjadikan MU sebagai sumber kebahagiaan saya. Kabar baiknya, ini membantu saya untuk tidak bersikap rasis terhadap basis fan fanatik klub lain.

Menyandarkan kebahagiaan kepada Allah akan membantu kamu untuk zuhud, mudah bersyukur, sabar, dan ikhlas. Kualitas apa lagi yang dibutuhkan selain semua itu untuk bahagia? Zuhud mengajari kita untuk tidak merasa memiliki agar tidak merasa kehilangan (catat! Merasa memiliki berbeda dengan memiliki). Bersyukur membantu kita melihat sisi positif dari segala sesuatu. Sabar, membantu kita bertahan pada titik nadir. Ikhlas, membantu kita menerima dengan lapang dada. Berbahagialah, engkau, berbahagialah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar