Kamis, 22 Desember 2011

Topeng Sosial


Kita tak selalu bisa menjadi diri kita sendiri. Kadang, ada momen-momen tertentu yang membuat kita, mau tidak mau, harus mengenakan topeng sosial kita. Misal, seorang yang terbiasa ngomong kasar, mau tidak mau, suka tidak suka, tetap harus berbicara sopan saat acara lamaran ke calon mertua.

Kerangka sosial? Bisa jadi benar. Tapi demi kebaikan yang lebih besar, tak ada salahnya ‘berpura-pura’ terbiasa bicara sopan dan lemah lembut. Siapa tahu jadi kebiasaan betulan.

Coba perhatikan:
Pertama, apa yang dilihat oleh orang lain tentang kita, mula-mula adalah penampilan kita. Walaupun pepatah berteriak, “Don’t judge a book by its cover”, toh tetap saja kita sering memberikan penilaian pertama dari penampilan seseorang.

Kedua, oleh karenanya, fenomena sosial psikologis ini dimanfaatkan oleh banyak perampok, dimana mereka berpakaian sangat rapi (entah itu rampok kelas kakap maupun kelas senayan).

Nah jika demikian, maka apakah salah jika kita menggunakan topeng kita sejenak, untuk maksud baik? Untuk maksud yang benar? Kita ingin meyakinkan orang tentang gagasan baik yang kita miliki, dan apakah salah jika kita mesti berpakaian rapi dan bertutur kata lembut?

Jadi, soal pertanyaan, apakah mengenakan ‘topeng sosial’ itu salah? Tidak selalu. Tergantung tujuannya. Tergantung niatnya. Tergantung kondisinya juga.

Seseorang mengenakan sarung + sorban agar saat dia ceramah, kemungkinan untuk didengarkan lebih banyak, tentu insyaAllah baik, ketimbang orang yang mengenakan sarung + sorban untuk merusak warung orang, untuk mengebom orang yang tak bersalah.

Namun demikian, ketika topeng sosial ini terus-menerus kita pakai, maka kita akan terjebak juga dalam sikap munafik. Murah senyum di permukaan padahal hati penuh dendam. Penuh perhatian di permukaan padahal hati saling membenci. Hanya peduli pada pencitraan. Kita mementingkan apa yang tampak di permukaan mengenai diri kita dan tak pernah mau menjadi sebenar-benarnya manusia.

Dan bagaimana jika kita harus berhadapan dengan orang seperti itu?
1. Jadikan cerminan bagi kita. Pelajaran hidup. Bahan introspeksi.
2. Maklumi bahwa setiap orang pada dasarnya baik, hanya saja ada yang berhasil mengimplementasikan kebaikannya itu, ada pula yang belum berhasil. Barangkali dia termasuk orang seperti itu.
3. Cobalah untuk lebih banyak mengerti ketimbang menuntut untuk dimengerti.
4. Jika memungkinkan, sadarkan dengan cara yang tidak melukai hatinya.
5. Hati-hati. Apalagi jika topeng yang dia gunakan, bisa jadi, sadar ataupun tidak sadar, mencelakakan kamu. Kita banyak mendengar bagaimana seseorang tertipu karena penampilan orang lain. Semoga kamu tidak.
Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar