Kamis, 22 Desember 2011

Kegagalan dan Proses Bertumbuh

Karena hanya orang yang tak pernah mencobalah yang tak pernah gagal. Kita semua pernah mengalami kegagalan. Dan sekarang giliran saya yang curhat kepada Ujang dan Mawar :D
Saya diminta mengisi dua acara saat OSPEK di sebuah universitas. Acara pertama adalah sesi kuliah dimana saya membawakan materi tentang “Menjadi Agent of Change yang Ahsanu Takwim” dan yang kedua adalah acara “Renungan”.

Pada acara pertama saya sukses. Alhamdulillah. Respon yang bagus semenjak mulai sampai akhir. Bahkan sampai ada yang minta nomor handphone. Minta izin share masalah hidup. Tapi di acara kedua, saya kehilangan feel, saya kehilangan ‘sentuhan’. Saya berdiri di tengah orang-orang itu dan merasa bodoh. Tak ada seorangpun yang tersentuh, tentu saja. Karena bagaiamana bisa? Toh saya sendiri tidak merasa ‘in’ dengan apa yang saya sampaikan.

Sepanjang perjalanan pulang saya merenungi kegagalan itu. Ini beberapa alibi saya:
1. Faktor psikologis akibat molor waktu. Ibarat kita kelewat lapar. Saya bersiap untuk acara pukul 5 sore. Tapi panitia ngaret sehingga saya baru mulai ba’da maghrib. Sejak awal saya memang sudah kehilangan ‘semangat’.
2. Ruangan yang terlalu lebar. Lebarnya ruangan itu membuat ‘jarak’ saya dengan ‘audience’ terlalu jauh. Sehingga, saya kehilangan nuansa bercerita, pendengar juga kehilangan nuansa untuk mendengar seksama seperti seorang sahabat.
3. Lampu. Survei membuktikan, renungan lebih bagus kalau dilaksanakan dalam kondisi gelap. Dan hanya mengenakan lilin sebagai penerang. Ini lebih membangkitkan nuansa. Pada saat renungan, panitia tak menyiapkan lilin sehingga membiarkan nyala lampu tetap ada (walau sudah disiasati dengan memadamkan sebagian).
4. Musik pengiring. Saat saya sukses menyentuh hati audience pada acara ‘renungan’ dua tahun silam, selain dibantu ‘ruangan lebih kecil’ dan ‘lilin + lampu padam’ saya juga dibantu akustikan lagu Bunda. Saya jadi dapet nuansanya, audience juga. Pada malam itu hanya menggunakan rekaman dari gadget. Nuansanya kurang ngena.
Namun demikian, saya heran kenapa saya terus-menerus kepikiran soal itu. Dalam hal ini, saya juga menduga beberapa hal:
1. Kesuksesan disesi kuliah membuat saya bahagia sekaligus ‘terbang’. Jadi, ketika ‘jatuh’ di acara kedua, saya merasa lebih sakit.
2. Karena saya terlalu jumawa untuk mengakui bahwa saya hanya manusia biasa yang tak selalu sempurna. Bahwa saya hanya manusia biasa yang kadang salah dan bisa terlihat sangat bodoh.
3. Saya, walaupun selalu merasa diri berani tampil apa adanya, ternyata hanya seorang yang selalu riskan tentang apa yang dipikirkan oranglain tentang dirinya. Jadi mungkin bukan kegagalannya yang membuat saya merasa galau, tapi kenyataan bahwa saya khawatir tentang kemungkinan orang-orang itu menertawakan saya di belakang.
4. Karena saya perfeksionis. Sebetulnya saya masih beruntung karena tidak sampai kehabisan kata-kata, gemetar, atau sampai berlaku bodoh. Alih-alih saya masih bisa tenang, berbicara santai, dan bahkan ikut salam-salaman dahulu. Tapi itu tetap terasa tidak cukup! Orang-orang lain lebih hebat daripada saya, jadi ‘ketenangan’ itu tak bisa dijadikan alasan untuk merasa ‘tidak gagal’.
Nah, dengan itu, saya memutuskan bahwa:
1. Saya harus share ini kepada Ujang dan Mawar agar saya bisa turut mengeluarkan, setidaknya, sebagian unek-unek di hati saya. Agar saya bisa fokus melanjutkan naskah novel saya.
2. Saya harus mencari kesibukan lain, agar pikiran saya tidak berfokus dan melulu memikirkan dan meratapi kegagalan itu.
3. Saya harus menginsafi, bahwa, seperti yang saya sampaikan ketika sesi kuliah, proses bertumbuh itu melibatkan rasa sakit, melibatkan kegagalan. Tapi siapa diantara kita yang tak ingin naik kelas? Setidaknya, dengan kegagalan ini, saya tahu masih harus banyak belajar dan memperbaiki diri, masih harus terus menggali potensi.
4. Bahwa pada akhirnya, mereka semua toh akan melupakannya. Semua tragedi hanya perlu waktu sampai bisa berubah jadi parodi. Lagipula, bukankah bukan hanya sekali ini saya pernah gagal dan terlihat memalukan di depan banyak orang? Tapi bukankah dengan itu saya semakin kuat dan bisa bersikap tenang?
5. Nah, kira-kira begitu. Postingan berikutnya saya akan menjawab dua pertanyaan yang ditanyakan audience di sesi kuliah yah... makasih Ujang, Mawar, dan juga kau! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar